Pemerintah buka peluang blokir game Roblox dan konten digital kekerasan jika terbukti berdampak buruk pada anak. Komdigi siap ambil langkah tegas. (Dok. Roblox)

Pemerintah buka kemungkinan memblokir permainan digital yang mengandung unsur kekerasan jika terbukti berdampak negatif terhadap perilaku generasi muda. Respons ini muncul setelah pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang melarang siswa memainkan gim Roblox karena dinilai tidak sesuai untuk anak usia sekolah dasar.

"Kalau memang kita merasa sudah melewati batas, apa yang ditampilkan di situ mempengaruhi perilaku dari adik-adik kita, ya tidak menutup kemungkinan (diblokir). Kita mau melindungi generasi kita, enggak ragu-ragu juga kita. Kalau memang itu mengandung unsur-unsur kekerasan, ya kita tutup, enggak ada masalah," ujar Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, kepada media.

Pernyataan Prasetyo menegaskan posisi pemerintah dalam menyikapi kekhawatiran atas konten digital yang dianggap bisa memicu perilaku menyimpang. 

Menurutnya, perhatian tidak hanya tertuju pada satu platform seperti Roblox, tetapi juga pada berbagai bentuk konten lain yang mengalir melalui media sosial, televisi, hingga media arus utama.

"Unsur-unsur yang mengandung kekerasan, apa pun bentuknya; mau games, siaran di televisi, pemberitaan, media arus utama, maupun media sosial—ini menjadi keresahan," lanjut Prasetyo.

Evaluasi terhadap konten digital dilakukan melalui koordinasi antara pemerintah dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pemerintah menyiapkan langkah tegas apabila konten ditemukan berdampak buruk terhadap psikologis anak dan remaja, termasuk penutupan akses.

Prasetyo juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap meningkatnya laporan kasus kekerasan yang diduga terinspirasi dari konten gim. Ia menyinggung insiden yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang anak dilaporkan melakukan tindakan agresif terhadap orang tuanya.

"Kalau kita memperhatikan, banyak sekali kejadian yang di luar nalar kita. Misalnya yang baru-baru saja terjadi, bagaimana seorang anak sampai melakukan sesuatu tindakan yang di luar batas-batas nalar kepada orang tuanya,” kata dia.

Ia menegaskan, permasalahan bukan sekadar soal Roblox, melainkan soal paparan kekerasan yang tidak bisa dianggap sepele dalam pembentukan karakter anak.

“Tapi intinya begini, bukan masalah Roblox-nya ya, tapi kita perlu memahami sebagai sebuah bangsa bahwa ada unsur-unsur tertentu yang memang harus kita pikirkan betul supaya tidak mempengaruhi generasi-generasi muda kita di depannya.”

Roblox menjadi pusat perhatian karena popularitasnya yang tinggi di kalangan anak usia sekolah dasar. Namun di saat bersamaan, gim ini disebut-sebut memuat adegan-adegan kekerasan yang dapat dengan mudah ditiru.

Abdul Mu’ti menyatakan secara terbuka bahwa Roblox tidak cocok untuk anak-anak usia SD. Menurutnya, pada usia tersebut, anak belum memiliki kemampuan untuk membedakan antara dunia nyata dan dunia rekayasa digital.

“Game ini menampilkan adegan kekerasan yang tidak cocok untuk anak SD. Anak-anak pada usia ini belum mampu membedakan antara dunia nyata dan dunia rekayasa dalam game,” kata Abdul Mu’ti saat kunjungan ke SDN Cideng 02, Gambir.

Ia mencontohkan aksi seperti membanting karakter dalam gim, yang bagi anak bisa terlihat normal. Namun jika ditiru dalam kehidupan nyata, bisa berujung pada kekerasan fisik yang membahayakan.

“Adegan seperti ‘membanting’ dalam game mungkin terlihat biasa, tetapi jika dilakukan di dunia nyata, bisa menyebabkan masalah,” tambahnya.

Pemerintah menyampaikan bahwa langkah-langkah pemantauan dan penindakan terhadap konten digital yang tidak sesuai usia akan diperketat. Tidak menutup kemungkinan, bila terbukti melewati batas toleransi sosial, maka blokir akses akan dilakukan tanpa kompromi.

Dalam konteks ini, Roblox hanya menjadi contoh awal dari perhatian lebih luas terhadap ekosistem digital. Pemerintah menyebut bahwa upaya perlindungan terhadap anak tidak akan hanya menyasar satu aplikasi, tetapi mencakup seluruh kanal yang terhubung langsung dengan keseharian anak-anak.

“Kalau memang itu mengandung unsur-unsur kekerasan, ya kita tutup. Enggak ada masalah,” tegas Prasetyo.

Langkah ini menjadi peringatan dini bagi pengembang platform digital, produsen konten, dan lembaga penyiaran agar lebih bertanggung jawab dalam menayangkan materi yang dikonsumsi oleh generasi muda. 

Pemerintah, lewat kerja sama lintas kementerian, menegaskan komitmennya untuk melindungi anak dari konten yang dinilai berbahaya secara psikologis dan sosial.