![]() |
| Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menilai wacana pengambilalihan saham BCA oleh pemerintah berpotensi merusak kepercayaan pasar. (REUTERS) |
Isu nasionalisasi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kembali menyeruak ke ruang publik. Wacana agar pemerintah mengambil alih mayoritas saham BCA dari Grup Djarum sempat mengguncang pasar modal, membuat saham bank terbesar di Indonesia ini tertekan hingga 6% dalam sepekan.
Narasi tersebut dinilai bukan hanya mengada-ada, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Akademisi hingga pelaku pasar memperingatkan risiko besar jika isu semacam ini terus digulirkan tanpa dasar yang kuat.
Risiko Ganggu Stabilitas Perbankan
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyebut wacana nasionalisasi BCA tidak relevan dengan kondisi perbankan saat ini. Ia menilai, justru bisa merusak kepercayaan investor yang selama ini melihat BCA sebagai bank dengan tata kelola terbaik.
“Semestinya ide tersebut tidak perlu diindahkan oleh presiden karena akan merusak tatanan perbankan,” kata Didik.
Ia mengingatkan bahwa sektor perbankan Indonesia telah melalui restrukturisasi panjang pasca-krisis 1998 dan kini berdiri cukup kuat. Membuka ruang bagi intervensi politik dengan alasan nasionalisasi, menurutnya, hanya akan menimbulkan ketidakpastian baru.
“Bank tidak akan dipercaya dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi,” tegas Didik.
Pemerintah & Danantara Luruskan
Kepala Danantara Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani, menegaskan bahwa pemerintah maupun sovereign wealth fund (SWF) yang dipimpinnya tidak pernah memiliki rencana mengambil alih saham BCA.
“Tidak ada rencana, baik dari pemerintah maupun Danantara, untuk akuisisi saham BCA,” ujarnya.
Bagi Didik, klarifikasi ini penting untuk menepis narasi para “pemburu rente” yang mencoba mendorong isu pengambilalihan. Tanpa bantahan resmi, rumor semacam itu bisa mengikis kredibilitas pemerintah di mata pasar.
BCA Angkat Bicara
Pihak BCA juga akhirnya buka suara. Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, meluruskan tudingan adanya rekayasa transaksi saat Grup Djarum mengakuisisi saham mayoritas pada 2002.
Menurutnya, banyak pihak keliru menafsirkan angka Rp117 triliun sebagai kapitalisasi pasar BCA kala itu. Faktanya, angka tersebut merujuk pada total aset, bukan nilai pasar.
Kapitalisasi pasar BCA saat itu hanya sekitar Rp10 triliun, dan pembelian 51% saham senilai Rp5 triliun sudah sesuai mekanisme pasar pasca-IPO tahun 2000.
“Isu itu tidak benar,” tegas Ketut.
Ia juga membantah tudingan BCA masih menanggung beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurutnya, aset berupa obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun telah diselesaikan seluruhnya pada 2009 sesuai ketentuan. Dengan kata lain, tidak ada lagi beban BLBI yang melekat pada neraca BCA.
Dampak ke Pasar Saham
Terlepas dari bantahan tersebut, isu nasionalisasi terbukti memukul saham BBCA. Pada pekan ketiga Agustus, saham bank ini terkoreksi sekitar 6%, sementara saham bank besar lain justru menguat.
Bahkan pada salah satu sesi perdagangan, BBCA turun 1,47% ke level Rp8.300 ketika rumor akuisisi oleh Danantara merebak.
Analis pasar modal, Hendra Wardana, menilai sentimen negatif ini wajar karena investor cenderung menghindari ketidakpastian politik. Namun, ia meyakini tekanan tersebut bersifat jangka pendek.
“Meski sempat terkoreksi, BBCA masih berpotensi rebound ke level Rp9.000, karena fundamentalnya tetap kuat,” ujarnya.
BCA sendiri selama ini menjadi salah satu saham blue chip dengan kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI), menyumbang bobot besar terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Setiap gejolak di BBCA hampir pasti berdampak pada keseluruhan pasar.
Isu ini mencuat setelah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui Ketua DPP Ahmad Iman Syukri menyuarakan dukungan agar pemerintah mengambil alih 51% saham BCA. Menurutnya, langkah itu demi menyelamatkan keuangan negara yang disebut masih dibayangi skandal BLBI.
“PKB mendukung Presiden Prabowo mengambil alih 51% saham BCA dari Grup Djarum untuk kepentingan negara,” kata Ahmad.
Namun, argumen ini segera dimentahkan oleh klarifikasi BCA dan pemerintah. Dari perspektif hukum maupun ekonomi, tidak ada dasar kuat untuk melakukan nasionalisasi.
Sebaliknya, justru bisa memberi sinyal buruk ke investor bahwa kepemilikan swasta atas aset strategis sewaktu-waktu bisa diganggu.
Sebagai bank swasta terbesar, kontribusi BCA terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Bank ini konsisten mencatat pertumbuhan kredit yang menopang dunia usaha, setoran pajak dalam jumlah besar, serta layanan perbankan digital yang mendukung inklusi keuangan.
Secara profitabilitas, BCA juga unggul dibanding bank-bank lain. Hingga semester I-2025, laba bersih BCA tercatat tumbuh dua digit, menegaskan posisinya sebagai tulang punggung sektor perbankan Indonesia.
Fakta-fakta tersebut menjadi alasan mengapa narasi nasionalisasi dinilai kontraproduktif. Alih-alih memperkuat posisi negara, wacana itu bisa melemahkan bank yang justru paling sehat dan paling dipercaya pasar.
Politik vs Stabilitas
Isu nasionalisasi BCA mencerminkan bagaimana kepentingan politik bisa berbenturan dengan logika pasar. Dari kacamata ekonomi, alasan BLBI sudah tidak relevan karena kewajiban telah tuntas.
Dari sisi pasar, rumor semacam itu hanya menambah volatilitas dan berisiko menggerus kepercayaan investor asing.
“Bukan sebaliknya masuk ke dalam pasar, ikut campur tangan secara tidak bermutu, yang kemudian merusaknya,” kata Didik J. Rachbini mengingatkan.
Dalam konteks diplomasi ekonomi, Indonesia sedang gencar menarik investasi asing. Stabilitas sektor keuangan adalah syarat mutlak.
Jika isu nasionalisasi bank swasta besar terus dihembuskan, pesan yang sampai ke luar negeri justru sebaliknya: bahwa iklim bisnis di Indonesia tidak ramah investor.
Klarifikasi dari BCA, pemerintah, dan Danantara setidaknya telah meredakan gejolak jangka pendek. Namun, isu ini menjadi pengingat bahwa sektor keuangan sangat sensitif terhadap narasi politik.
Dengan aset lebih dari Rp1.400 triliun dan jutaan nasabah, BCA bukan sekadar bank swasta, melainkan institusi sistemik yang menopang perekonomian nasional.
Wacana nasionalisasi tanpa dasar yang kuat tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga berpotensi merusak pondasi stabilitas yang sudah susah payah dibangun pasca-krisis 1998.

0Komentar