![]() |
| Hamas di Gaza berada di bawah tekanan militer dan politik yang meningkat, sementara kondisi kemanusiaan memburuk di tengah perubahan sikap negara-negara kawasan. (EPA-EFE/REX/Shutterstock) |
Rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menguasai seluruh Jalur Gaza memicu reaksi keras dari dunia internasional. Meski ia menegaskan tidak berniat menduduki wilayah itu secara permanen, kebijakan ini menempatkan Hamas pada posisi paling terdesak dalam sejarahnya.
Tekanan global meningkat, dukungan negara Arab menipis, dan krisis kemanusiaan kian menghimpit, membuat masa depan kelompok itu dipertanyakan.
Netanyahu memicu kontroversi ketika mengatakan bahwa Israel akan menguasai seluruh Gaza untuk menghancurkan Hamas. “Kami tidak ingin terus mendudukinya,” ujarnya.
Pernyataan itu disambut peringatan keras dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengenai potensi “eskalasi berbahaya” yang bisa memicu pengungsian massal.
Prancis, Inggris, Tiongkok, dan Arab Saudi termasuk di antara negara-negara yang mengkritik rencana ini. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya akan memperparah krisis tanpa menyelesaikan masalah utama yaitu pembebasan sandera dan pelucutan senjata Hamas.
![]() |
| Foto ilustrasi: Keluarga sandera duduk di balik kawat berduri, memajang foto orang tercinta sebagai simbol tuntutan pembebasan dan kemanusiaan yang terlupakan. (Getty Images) |
Tekanan terhadap Netanyahu tidak hanya datang dari luar negeri. Di dalam negeri, keluarga 251 sandera yang ditawan Hamas sejak 7 Oktober 2023 menuntut pembebasan segera, sementara kabinetnya yang berhaluan keras menolak kompromi. Mantan PM Ehud Olmert menuding rencana ini “mengorbankan nyawa sandera dan warga sipil demi menjaga koalisi pemerintahan.”
Hamas tetap teguh pada sikapnya dengan tidak akan menyerahkan “bahkan peluru bekas sekalipun” sebelum negara Palestina berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibu kota berdiri.
Posisi ini bertolak belakang dengan syarat Israel dan Amerika Serikat yang menjadikan pelucutan senjata sebagai prasyarat gencatan senjata. Kebuntuan diplomasi yang terjadi berulang kali membuat jalur perdamaian nyaris tertutup.
Deklarasi New York dan Perubahan Arah Liga Arab
Pertengahan 2025, konferensi PBB di New York yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi melahirkan Deklarasi New York. Yang isinya 17 negara, Uni Eropa, dan 22 anggota Liga Arab mendesak Hamas melucuti senjata dan menyerahkan kendali Gaza kepada Otoritas Palestina.
Mesir dan Qatar, yang selama ini dikenal dekat dengan Hamas, ikut menandatangani. Namun Israel dan AS tidak hadir. Washington menyebutnya “aksi publisitas,” sementara Tel Aviv tetap pada pendirian bahwa Hamas harus dimusnahkan secara militer.
Pergeseran sikap Liga Arab menjadi pukulan serius. Negara-negara seperti Yordania dan Arab Saudi, yang dulu bersimpati, kini melihat Hamas sebagai penghalang kemerdekaan Palestina dan stabilitas regional.
Analis Chatham House, Yossi Mekelberg, menilai tekanan ini dapat membuat Hamas semakin terisolasi, meski pelaksanaan deklarasi tetap sulit tanpa dukungan Israel dan AS.
Krisis Rakyat Gaza
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Sebanyak 1,9 juta warga mengungsi, dan hampir 500 ribu menghadapi ancaman kelaparan.
Kasus kematian anak akibat kekurangan gizi mulai terlapor, sementara bantuan pangan yang masuk sangat terbatas dan sering diserbu massa putus asa atau kelompok bersenjata.
Sebagian warga menuding Hamas menimbun bantuan untuk kepentingan internal. “Semua bantuan masuk ke bawah tanah, ke rumah-rumah Hamas,” kata seorang warga kepada media lokal.
Protes warga dibalas dengan kekerasan oleh Unit Panah satuan keamanan berpakaian preman yang dibentuk pada Maret 2024 untuk menjaga ketertiban, mencegah penjarahan, dan membatasi kerja sama dengan Israel. Laporan pemukulan dan eksekusi di luar hukum semakin memicu kemarahan publik.
Wilayah Menyusut, Persenjataan Hasil Daur Ulang
Meski kehilangan 75–80% wilayah akibat operasi militer Israel, Hamas tetap mengoperasikan administrasi sipil dan polisi kota. Namun, persenjataan mereka menipis.
Brigade Al-Qassam kini memanfaatkan bom rakitan dari ribuan bom Israel yang gagal meledak, dengan nilai material diperkirakan mencapai puluhan juta dolar meski prosesnya penuh risiko.
Iran, sekutu utama Hamas, terpukul keras setelah perang 12 hari melawan Israel pada Juni 2025 yang menghancurkan gudang rudal balistiknya.
Hizbullah di Lebanon juga mengalami kemunduran besar dengan kepemimpinan mereka terkikis, persenjataan rusak, dan jalur suplai terganggu setelah runtuhnya rezim Assad di Suriah.
Tekanan dari Amerika Serikat kini mendorong pemerintah Lebanon mempertimbangkan pelucutan senjata Hizbullah, yang memicu protes di Beirut.
Kehilangan dukungan penuh dari kedua sekutu membuat Hamas semakin mengandalkan penyelundupan dari Mesir dan produksi lokal untuk mempertahankan kekuatan.
Sandera sebagai Alat Tekanan Politik
Hamas masih menahan sekitar 50 sandera dari total 251 yang ditangkap pada 7 Oktober 2023, dengan “kurang dari separuh” diyakini masih hidup. Video yang dirilis seperti Evatar David yang tampak kurus dan lemah dimanfaatkan untuk menekan Netanyahu melalui keluarga korban.
![]() |
| Foto ilustrasi: Keluarga sandera menuding Netanyahu memanfaatkan krisis untuk kepentingan politik, di tengah kebuntuan pembicaraan dengan Hamas. (AP Photo) |
Keluarga sandera menuntut perang dihentikan, menuding Netanyahu menggunakan penderitaan mereka untuk keuntungan politik. Permintaan Netanyahu kepada Palang Merah untuk mengirim bantuan makanan dan obat-obatan ditolak Hamas, melanggar hukum humaniter internasional.
Hamas kehilangan dua pemimpin utama dalam dua tahun terakhir yaitu Ismail Haniyeh tewas di Teheran pada Juli 2024, dan Yahya Sinwar terbunuh di Rafah pada Oktober 2024. Meski kehilangan ini dianggap pukulan besar, Hamas mengklaim kematian mereka justru memicu solidaritas baru.
Namun, perbedaan agenda antara faksi di Gaza yang fokus pada konfrontasi militer dan faksi luar negeri yang condong ke diplomasi semakin terlihat. Struktur kepemimpinan yang terdesentralisasi membuat kelompok ini sulit dilumpuhkan secara total.
Masa Depan Hamas
Hamas menyatakan bersedia melucuti senjata jika negara Palestina berdaulat berdiri, namun di bawah Netanyahu peluang itu hampir nol.
![]() |
| Hamas mengisyaratkan kesiapan melucuti senjata jika negara Palestina berdaulat terbentuk, namun di bawah pemerintahan Netanyahu peluang itu nyaris tak ada. (UNRWA/Ashraf Amra) |
Beberapa pejabat Israel bahkan menyebut keberadaan Hamas sebagai “aset” untuk melemahkan Otoritas Palestina dan menggagalkan solusi dua negara.
Yossi Mekelberg memperkirakan, selama Otoritas Palestina tidak melakukan reformasi dan proses menuju negara merdeka tidak berjalan, Hamas atau kelompok serupa akan tetap memiliki ruang untuk bangkit.
Ironisnya, serangan 7 Oktober yang memicu perang justru menghidupkan kembali wacana global soal solusi dua negara, meski realisasinya semakin jauh.
Gaza kini berada di titik kritis, terjepit antara tekanan militer Israel, kemarahan warga, dan tuntutan internasional. Tanpa terobosan diplomatik, konflik ini berpotensi berlarut, meninggalkan Gaza dalam kehancuran dan membuka jalan bagi siklus kekerasan yang baru.







0Komentar