Korea Selatan dan Utara menghentikan perang propaganda di perbatasan Zona Demiliterisasi (DMZ) sebagai langkah meredakan ketegangan dan membuka peluang diplomasi baru di Semenanjung Korea. (EPA)


Dentuman lagu K-pop dan raungan hewan liar yang selama puluhan tahun menjadi senjata perang psikologis di Zona Demiliterisasi Korea (DMZ) kini mulai mereda. Korea Selatan, di bawah kepemimpinan Presiden Lee Jae Myung yang baru menjabat Juni lalu, memulai pembongkaran pengeras suara propaganda anti-Korea Utara pada awal Agustus. Tak lama berselang, Pyongyang merespons dengan langkah serupa. 

Militer Korea Selatan mengonfirmasi pada 8 Agustus bahwa pasukan Korea Utara membongkar pengeras suara di sejumlah titik garis depan sejak pagi. “Masih harus dipastikan apakah semua perangkat sudah dicabut, dan militer akan terus memantau,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan. 

Langkah tersebut datang setelah Seoul lebih dulu menghentikan siaran propaganda termasuk lagu K-pop dan laporan berita yang terdengar hingga 10 kilometer di siang hari dan 24 kilometer di malam hari, kerap mengganggu warga perbatasan.

Perubahan kebijakan ini menjadi penanda arah baru di bawah Lee Jae Myung. Berbeda dengan pendahulunya, Yoon Suk Yeol, yang dimakzulkan Desember 2024 akibat kebijakan garis keras, Lee mengedepankan dialog dan koeksistensi. 

Ia melarang penyebaran selebaran anti-Pyongyang oleh aktivis dan berupaya membuka kembali saluran komunikasi antar-Korea. “Perdamaian lebih baik daripada perang,” tegasnya saat pelantikan, menggemakan semangat rekonsiliasi ala Moon Jae-in.

Militer Republik Korea pada tanggal 4 Agustus 2025 mulai membongkar pengeras suara yang dipasang di garis depan perbatasan Korea Utara. Foto di atas menunjukkan proses pembongkaran pengeras suara yang mengarah ke Korea Utara pada hari itu. (Kementerian Pertahanan Nasional)

Namun, kebijakan ini menuai kritik. Human Rights Watch menilai penghentian siaran justru melemahkan tekanan non-militer terhadap rezim otoriter Korea Utara. 

“Siaran ini adalah satu dari sedikit jalur informasi ke rakyat Korea Utara yang terisolasi,” ujar seorang aktivis HAM di Seoul. Di sisi lain, warga perbatasan menyambut tenang, mengaku terganggu kebisingan propaganda, terutama pada malam hari.


Sejarah “Perang Suara” di DMZ

Perang pengeras suara dimulai pada 1963, ketika Seoul menyiarkan pesan demokrasi dan musik populer. Pyongyang membalas dengan pujian untuk pemimpinnya dan efek suara mengganggu.

Pengeras suara penyiar propaganda milik Korea Selatan yang terpasang di Garis Demarkasi perbatasan Korea Utara (Lee Jin-man, File / AP PHOTO via The Washington Post)

 Pada era Perang Korea (1950–1953), AS juga memakai taktik serupa untuk melemahkan moral tentara Korea Utara. Siaran ini sempat dihentikan pada 2004 demi kesepakatan damai, namun kembali hidup pada 2015 dan 2024 menyusul insiden ranjau darat dan kampanye balon sampah berisi kotoran yang diluncurkan Korea Utara.

Juni 2024, Korea Selatan kembali mengaktifkan siaran setelah Pyongyang mengirim 1.000 balon sampah. Tapi, kebijakan itu hanya bertahan singkat. Setelah Lee berkuasa, pengeras suara kembali dibungkam, menandai pergeseran menuju diplomasi lunak.


Strategi Lee Jae Myung

Kebijakan Lee bertumpu pada tiga pilar yaitu meredakan ketegangan militer, membuka dialog lintas batas, dan menjaga aliansi strategis dengan AS. Ia juga mempererat hubungan dengan China dan Rusia mitra utama Korea Utara yang menyumbang 90% perdagangan eksternal Pyongyang pada 2024. 

Strategi ini bertujuan menciptakan stabilitas regional tanpa mengorbankan kekuatan pertahanan Seoul, yang tetap ditopang 30.000 tentara AS.

Meski begitu, hambatan besar membayangi. Januari 2024, Kim Jong Un secara resmi meninggalkan gagasan reunifikasi, menyebut Korea Selatan “musuh utama” dan “koloni Amerika.” 

Ia membubarkan tiga lembaga hubungan antar-Korea serta menghancurkan Monumen Panji Tiga-Poin Reunifikasi, simbol penyatuan sejak 2001. “Hubungan antar-Korea kini adalah hubungan dua negara yang bermusuhan,” tegas Kim.

Respons global pun beragam. AS di bawah Presiden Donald Trump menyambut langkah Seoul, namun tetap menuntut denuklirisasi total sebagai syarat dialog sesuatu yang ditolak Pyongyang. 

Jepang mendukung koordinasi regional, sementara China, meski frustrasi dengan sikap keras Kim, berkomitmen membawa Pyongyang kembali ke meja perundingan multilateral.


Dampak Ekonomi dan Regional

Redanya “perang suara” berpotensi meredam risiko ekonomi. Ketegangan di Semenanjung Korea sebelumnya menekan perdagangan dan investasi. Pada 2024, ekspor Korea Selatan ke China mitra dagang terbesarnya turun 3,7% akibat ketidakpastian geopolitik. 

Sebuah truk kembali dari Korea Utara ke Tiongkok melalui Jembatan Persahabatan di kota perbatasan Tiongkok, Dandong. Foto: AFP

Sanksi internasional yang membatasi 95% perdagangan Korea Utara juga membekukan proyek ekonomi lintas batas seperti Zona Industri Kaesong (2004–2016).

Normalisasi komunikasi antar-Korea bisa membuka jalan bagi proyek kereta lintas perbatasan Seoul–Pyongyang, yang menurut Korea Development Institute berpotensi menambah perdagangan regional hingga US$2 miliar per tahun. Namun, tanpa perjanjian damai resmi untuk mengakhiri status perang sejak 1953, semua peluang ini masih rapuh.

Pendekatan Lee memicu perdebatan. Kelompok HAM menilai ia mengorbankan tekanan politik demi dialog, sementara analis seperti Park Won-gon dari Universitas Ewha memperingatkan Pyongyang bisa memanfaatkannya untuk memperkuat posisi militer. 

Pendukung Lee berargumen sebaliknya bahwa diplomasi adalah satu-satunya cara mencegah eskalasi yang bisa menggerus pertumbuhan ekonomi, yang diproyeksikan hanya 2,1% pada 2025.

Pembongkaran pengeras suara di DMZ adalah simbol harapan sekaligus pengingat betapa rumitnya hubungan antar-Korea. Dengan Pyongyang menolak reunifikasi dan mempertahankan ambisi nuklir, jalan diplomasi Lee terjal. 

“Jika dialog gagal, kita bisa kembali ke siklus provokasi,” kata Victor Cha dari Center for Strategic and International Studies.