LMKN menegaskan bahwa penggunaan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” untuk tujuan komersial tetap dikenakan royalti, meski hak cipta ekonominya telah berakhir. (iStockphoto/Hiob)

Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” kembali menjadi sorotan setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa penggunaannya untuk tujuan komersial tetap wajib dikenai royalti.

Komisioner LMKN Bidang Kolekting dan Lisensi, Yessi Kurniawan, menyampaikan bahwa meskipun lagu tersebut telah masuk ke dalam domain publik, bukan berarti bisa digunakan sembarangan. 

Penggunaan untuk pertunjukan musik, iklan produk, atau kegiatan berbayar lainnya tetap harus melalui perizinan dan pembayaran royalti.

“Kalau dipakai untuk tujuan komersial seperti pertunjukan musik, orkestra, atau diiklankan dalam produk berbayar, maka tetap harus bayar royalti,” ujar Yessi dalam pernyataan resmi, Kamis (7/8/2025), seperti dikutip dari Medcomid.

Dasar hukum dari kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. 

Dalam pasal tersebut, penggunaan lagu kebangsaan untuk iklan atau tujuan komersial dilarang dan dapat dikenai pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda hingga Rp100 juta.

Lebih dari itu, bila penggunaannya melanggar kesucian lagu, misalnya mengubah lirik atau nada dengan tidak pantas, pelaku bisa dikenai sanksi penjara hingga 5 tahun atau denda Rp500 juta.

Lagu “Indonesia Raya” diciptakan oleh W.R. Soepratman, yang meninggal pada 17 Agustus 1938. Berdasarkan aturan hukum hak cipta di Indonesia, hak ekonomi atas karya cipta berakhir 70 tahun setelah pencipta wafat. Artinya, sejak tahun 2008, lagu ini telah masuk ke domain publik.

Namun demikian, LMKN menegaskan bahwa hak moral pencipta tetap melekat, artinya siapa pun yang menggunakan lagu ini wajib mencantumkan nama W.R. Soepratman sebagai bentuk penghormatan.

“Yang harus tetap dihormati adalah hak moral pencipta. Nama W.R. Soepratman wajib dicantumkan,” jelas LMKN dalam klarifikasinya.

Walau status hak cipta ekonominya telah berakhir, ahli waris W.R. Soepratman memberikan kuasa kepada Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) untuk mengelola dan menerima royalti dari pemakaian komersial. Dalam praktiknya, LMKN bertugas menghimpun dan menyalurkan royalti kepada YKCI, sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Dengan demikian, setiap penggunaan lagu untuk kegiatan yang menghasilkan keuntungan (komersial) tetap perlu melakukan pelaporan dan pembayaran melalui LMKN.

LMKN menyebutkan bahwa penggunaan oleh instansi negara, seperti untuk kepentingan kenegaraan atau pendidikan, tidak diwajibkan mengajukan izin formal. 

Namun, pemerintah tetap diimbau untuk memberikan imbalan wajar kepada pihak pengelola sebagai bentuk penghargaan atas karya cipta nasional tersebut.

Sementara itu, bagi pelaku usaha kecil atau UMKM, tersedia mekanisme keringanan atau pembebasan royalti, bergantung pada jenis usaha, luas tempat, serta skala pemutaran musik.

LMKN juga mengingatkan bahwa lagu nasional lainnya dan lagu daerah seperti “Bagimu Negeri” atau “Rayuan Pulau Kelapa” juga memiliki perlindungan yang serupa. Penggunaan secara komersial tetap harus tunduk pada ketentuan perizinan dan pembayaran royalti melalui LMKN.