Pemerintah Iran kembali mengetatkan langkah keamanannya. Dua pria dieksekusi pada Rabu (6/8), masing-masing dituduh menjadi mata-mata untuk badan intelijen Israel, Mossad, dan anggota kelompok teroris Islamic State (ISIS).
Eksekusi ini menambah daftar panjang hukuman mati atas nama keamanan nasional yang dilakukan Teheran selama tahun 2025.
Rouzbeh Vadi, pria berusia 40 tahun yang merupakan ahli nuklir di salah satu badan sensitif Iran, dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah menjadi informan Mossad.
Ia dieksekusi bersama Mehdi Asgharzadeh, warga 35 tahun asal Javanroud yang disebut sebagai anggota ISIS, setelah keduanya menjalani proses peradilan hingga tingkat Mahkamah Agung.
Lokasi eksekusi tidak diumumkan secara resmi, namun laporan menyebut hukuman dilaksanakan di Penjara Ghezelhesar.
Kantor berita Mizan yang berafiliasi dengan badan peradilan Iran menyatakan bahwa Vadi direkrut oleh agen Mossad melalui perantara dunia maya.
Setelah melewati sejumlah tes loyalitas, ia bertemu dengan perwakilan intelijen Israel sebanyak lima kali di Wina, Austria. Pembayaran atas aktivitas spionasenya dilakukan menggunakan aset kripto guna menghindari pelacakan transaksi.
Vadi disebut memiliki akses langsung ke informasi terkait ilmuwan nuklir Iran yang dibunuh dalam serangan Israel pada Juni lalu.
Dalam perang intelijen yang semakin terbuka antara Tel Aviv dan Teheran, nama Vadi menjadi salah satu simbol penetrasi Mossad ke dalam sistem dalam negeri Iran. Informasi yang ia berikan kepada Israel dinilai berkontribusi pada penargetan salah satu ilmuwan strategis Iran.
Hingga saat ini, Israel belum memberikan pernyataan resmi soal identitas Vadi. Namun, Duta Besar Israel untuk Prancis, Joshua Zarka, dalam pernyataan terpisah bulan lalu mengakui bahwa negaranya "secara aktif melemahkan kemampuan nuklir Iran melalui berbagai cara yang sah dan diperlukan."
Sementara itu, Mehdi Asgharzadeh dieksekusi atas tuduhan keterlibatan dalam jaringan terorisme lintas negara. Laporan otoritas Iran menyebut Asgharzadeh menjalani pelatihan militer di Irak dan Suriah bersama ISIS. Ia kembali ke Iran pada 2016 dan diduga merancang operasi teror di tempat-tempat suci keagamaan.
Pasukan keamanan Iran menangkap Asgharzadeh sebelum serangan dijalankan. Tiga anggota kelompoknya dilaporkan tewas dalam baku tembak saat penggerebekan berlangsung.
Selama proses tahanan, ia menjalani isolasi dua tahun di Tehran sebelum dipindahkan ke penjara Kermanshah untuk menghadapi proses hukum. Pengadilan menguatkan vonis mati dengan alasan bahwa rencana serangan yang disusun Asgharzadeh dapat mengancam stabilitas nasional.
Tujuh Spion Israel Dieksekusi Sejak Juni
Eksekusi terhadap Vadi dan Asgharzadeh bukanlah peristiwa terpisah. Sejak pecahnya konflik bersenjata 12 hari antara Iran dan Israel pada Juni 2025, pemerintah Iran dilaporkan mengeksekusi setidaknya tujuh warga negaranya atas tuduhan menjadi kolaborator Mossad.
Kebijakan keras ini merupakan bagian dari respons Iran terhadap meningkatnya serangan yang menyasar infrastruktur nuklir dan teknologi strategis negara itu. Pemerintah mempercepat investigasi terhadap individu yang bekerja di sektor-sektor sensitif, termasuk riset pertahanan dan energi.
Otoritas intelijen Iran disebut memperketat pengawasan internal terhadap seluruh institusi strategis negara. Akses ke informasi klasifikasi tinggi kini hanya diberikan setelah serangkaian verifikasi ulang terhadap latar belakang personel.
Meski Iran menyebut semua eksekusi dilakukan sesuai proses hukum, sejumlah organisasi hak asasi manusia menyatakan kekhawatiran mendalam atas peningkatan jumlah hukuman mati di negara itu.
Amnesty International mencatat hampir 700 eksekusi dilakukan Iran sepanjang tahun 2025, termasuk terhadap tahanan politik dan pelaku kejahatan yang divonis tanpa proses peradilan yang transparan. Vonis kerap dijatuhkan berdasarkan pengakuan yang disebut diperoleh melalui penyiksaan.
Iran Human Rights (IHRNGO), organisasi HAM berbasis di Norwegia, menyebut eksekusi terhadap Vadi dan Asgharzadeh sebagai contoh bagaimana negara menggunakan ketegangan geopolitik untuk membungkam oposisi dan menjustifikasi kekerasan negara.
“Dalam banyak kasus, terdakwa tidak diberikan akses hukum memadai, dan prosesnya dilakukan tertutup dari pemantauan internasional,” ungkap IHRNGO dalam laporan terbarunya.
Tren Hukuman Mati Tertinggi Sejak 2015
Menurut data PBB, Iran mencatat lonjakan eksekusi pada 2024 yang mencapai 901 kasus, tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Badan Dunia itu telah menyerukan Iran untuk segera memberlakukan moratorium hukuman mati dan memperbaiki sistem peradilannya agar selaras dengan hukum internasional.
Namun, pemerintah Iran menolak tekanan internasional tersebut. Dalam berbagai forum, perwakilan Teheran menegaskan bahwa hukuman mati merupakan instrumen sah dalam menjaga kedaulatan hukum dan stabilitas nasional.
Eksekusi terhadap dua tokoh dengan afiliasi keamanan tinggi ini menjadi bagian dari strategi domestik Iran dalam memperkuat pertahanan internal di tengah tekanan geopolitik yang meningkat.
Sejak konflik terbuka dengan Israel pada pertengahan tahun ini, Iran terus memperkuat narasi ancaman eksternal untuk menggalang dukungan nasional.
Dalam konteks kebijakan dalam negeri, penguatan terhadap lembaga keamanan dan badan intelijen telah menjadi prioritas. Selain untuk menangkal infiltrasi asing, langkah ini juga digunakan untuk mengamankan struktur kekuasaan dari potensi disrupsi sosial dan politik menjelang pemilihan presiden tahun depan.
Hingga saat ini, Iran belum mengindikasikan akan mengubah pendekatan hukumnya terhadap kasus-kasus serupa. Justru, sejumlah laporan menyebut masih ada puluhan kasus lain yang sedang menunggu putusan pengadilan dalam tuduhan yang berkaitan dengan spionase dan terorisme lintas negara.

0Komentar