Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, mengusulkan pemangkasan anggaran hingga US$700 juta atau sekitar Rp11,5 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 20 persen dari total anggaran rutin tahunan organisasi yang saat ini berada di kisaran US$3,7 miliar.
Pemotongan ini akan membuat anggaran PBB turun ke titik terendah sejak 2018 dan diperkirakan berdampak langsung pada sekitar 3.000 posisi kerja di berbagai bagian lembaga tersebut.
Inisiatif pemangkasan ini merupakan bagian dari program reformasi besar bertajuk UN80, yang mulai dijalankan sejak Maret 2025.
Program tersebut dirancang untuk menyederhanakan struktur organisasi, menekan biaya, dan meningkatkan efisiensi birokrasi PBB menjelang peringatan ulang tahun ke-80 tahun depan.
Guterres menyebut langkah ini sebagai strategi memperkuat fondasi PBB ke depan, bukan sekadar respons terhadap tekanan politik saat ini.
Namun di balik reformasi struktural tersebut, krisis likuiditas yang menekan keuangan PBB menjadi faktor kunci pendorong kebijakan ini.
Sejumlah negara anggota utama, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok, diketahui menunggak kontribusi tahunan. AS bahkan tercatat belum membayar sekitar US$1,5 miliar untuk anggaran rutin dan US$1,2 miliar untuk misi perdamaian.
Sementara kontribusi Tiongkok mencapai sekitar 20 persen dari keseluruhan anggaran. Bersama-sama, dua negara tersebut menyumbang hampir 42 persen dana operasional PBB.
Situasi menjadi semakin kompleks sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2025. Pemerintahannya kembali menghentikan pendanaan terhadap sejumlah badan PBB seperti UNESCO dan Dewan HAM, dan belum melanjutkan kontribusi untuk misi perdamaian.
Bahkan muncul usulan internal untuk memotong total kontribusi AS terhadap anggaran rutin dan kegiatan penjaga perdamaian, langkah yang bila terealisasi akan semakin memperdalam krisis keuangan organisasi internasional tersebut.
Dampak dari tekanan fiskal ini juga mulai terlihat di berbagai lembaga kemanusiaan di bawah naungan PBB.
Sejumlah unit vital seperti World Food Programme (WFP), UNHCR, UNICEF, dan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dilaporkan telah memangkas jumlah pegawainya antara 20 hingga 30 persen.
OCHA misalnya menghadapi defisit sebesar US$58 juta yang memaksa dilakukan pemutusan kontrak dan penyesuaian program.
Di saat yang sama, UNHCR dan UNICEF menjalankan langkah efisiensi internal untuk menjaga keberlanjutan operasional di lapangan.
Meski Guterres menegaskan bahwa restrukturisasi ini dilakukan demi menjadikan PBB lebih relevan dan tanggap terhadap tantangan global, banyak analis melihatnya sebagai sinyal waspada menghadapi kemungkinan penurunan tajam kontribusi dari Washington.
Dalam kondisi geopolitik yang penuh ketidakpastian, beban keberlangsungan operasional PBB kini sangat bergantung pada kemauan politik negara-negara donor utama.
Jika ketergantungan ini tak segera ditanggulangi, kemampuan PBB untuk menjalankan mandat kemanusiaan dan perdamaian di berbagai kawasan rawan konflik dikhawatirkan akan semakin terbatas.

0Komentar