Kantor Bank Dagang Belanda di Mataram pada awal abad ke-20 menjadi pusat penyimpanan harta bagi kalangan pribumi kaya, bangsawan, dan pedagang besar di Lombok. (Wikimedia Commons)

Pada awal abad ke-20, Kantor Bank Dagang Belanda (Nederlandsch-Indische Handelsbank) di Mataram menjadi pusat penyimpanan kekayaan bagi kalangan pribumi kaya, bangsawan, dan pedagang besar di Lombok. 

Lembaga keuangan ini memainkan peran penting dalam menghubungkan ekonomi lokal dengan pusat perdagangan di Hindia Belanda dan luar negeri.

Bank ini tidak hanya menjadi tempat menabung uang tunai, tetapi juga menyimpan emas batangan, perhiasan, dan dokumen penting milik nasabah. Lokasinya berada di pusat kota Mataram lama, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan Pulau Lombok.


Awal Kehadiran Bank di Mataram

Nederlandsch-Indische Handelsbank didirikan di Batavia pada tahun 1863 dan berkembang menjadi salah satu bank terbesar di wilayah Hindia Belanda. Cabang di Mataram dibuka sekitar dekade 1910-an sebagai bagian dari ekspansi ke daerah penghasil komoditas penting.

Dokumen arsip kolonial yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mencatat bahwa pembukaan cabang ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya perdagangan hasil bumi Lombok seperti kapas, kopi, dan tembakau. Keberadaan bank memudahkan transaksi antara pedagang lokal dan pembeli dari Singapura serta Eropa.

Sejarawan Universitas Mataram, Dr. Lalu Wira Kusuma, menjelaskan bahwa keputusan membuka cabang di Mataram juga berkaitan dengan perkembangan politik dan ekonomi lokal.

“Setelah Perang Lombok pada 1894, pemerintah kolonial berusaha memperkuat kontrol ekonomi. Bank Dagang Belanda menjadi salah satu instrumen untuk mengintegrasikan Lombok ke dalam jaringan perdagangan kolonial,” ujar Lalu.


Nasabah dari Kalangan Terbatas

Meskipun membawa konsep perbankan modern, layanan bank ini tidak terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Akses perbankan pada masa itu sangat terbatas, umumnya hanya untuk kalangan bangsawan, pedagang besar, dan kelompok masyarakat yang memiliki modal besar.

Kelompok bangsawan Sasak dan pedagang keturunan Arab serta Tionghoa menjadi nasabah utama. Mereka menyimpan kekayaan berupa uang tunai, emas batangan, bahkan sertifikat tanah di brankas bank yang dijaga ketat.

“Bagi kalangan berada, menyimpan harta di bank dianggap lebih aman dibanding menyimpannya di rumah atau di gudang. Ancaman perampokan dan kebakaran menjadi alasan utama,” kata Lalu.

Selain layanan simpanan, bank juga menyediakan fasilitas kredit untuk perdagangan, termasuk pembiayaan impor barang mewah dari Singapura dan Eropa. Namun, persyaratan kredit sangat ketat dan sering kali berbasis hubungan personal antara nasabah dan pihak bank.

Bangunan kantor Bank Dagang Belanda di Mataram dirancang mengikuti standar keamanan kolonial. Dindingnya tebal, pintunya terbuat dari baja, dan terdapat ruang brankas dengan kunci ganda. Penjagaan dilakukan oleh pegawai khusus dan dibantu petugas keamanan pemerintah kolonial.

Arsitekturnya menggabungkan gaya Indische Empire dengan sentuhan modern awal abad ke-20. Ruang nasabah dipisahkan dari area administrasi dengan pintu besi, sementara jendela dilengkapi teralis. Hal ini mencerminkan prioritas pada keamanan dan kepercayaan nasabah.

Sejarawan arsitektur kolonial, Ir. Bagus Wibawa, menjelaskan bahwa desain kantor bank pada masa itu juga menjadi simbol status.

“Gedung bank tidak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi, tetapi juga menunjukkan citra kekuatan ekonomi kolonial. Kehadirannya di Mataram memberi pesan bahwa wilayah ini penting dalam peta perdagangan Hindia Belanda,” ujarnya.


Hubungan dengan Perdagangan Komoditas

Lombok pada masa itu dikenal sebagai penghasil kapas berkualitas tinggi, yang diekspor ke Jepang dan Eropa. Selain itu, hasil bumi seperti kopi, padi, dan tembakau juga menjadi komoditas penting. Bank Dagang Belanda memfasilitasi pembayaran ekspor dan mengatur transfer dana antarwilayah.

Para pedagang yang memiliki hubungan dagang dengan Batavia, Surabaya, dan Singapura menggunakan layanan bank ini untuk mengirim atau menerima pembayaran dalam jumlah besar. Transaksi dilakukan melalui sistem wesel dan surat kredit yang diakui secara internasional.

Menurut catatan ANRI tahun 1925, volume transaksi di kantor Mataram meningkat pesat, terutama pada musim panen kapas dan kopi. Peningkatan ini turut mendorong pertumbuhan sektor pelayaran dan jasa keuangan di pelabuhan Ampenan.

Meski menjadi pusat perputaran uang di Mataram, keberadaan bank juga mencerminkan kesenjangan sosial pada masa itu. Sebagian besar masyarakat petani tidak memiliki akses langsung ke layanan perbankan. Mereka tetap mengandalkan sistem simpan pinjam tradisional di lingkup desa atau jaringan saudagar lokal.

“Perbankan modern pada masa kolonial memang berorientasi pada kelompok elite. Hal ini membuat peran bank lebih condong sebagai penggerak perdagangan besar daripada penyedia layanan keuangan untuk masyarakat umum,” kata Lalu Wira Kusuma.

Kondisi ini baru berubah perlahan setelah kemerdekaan, ketika pemerintah Indonesia mulai memperluas jaringan bank nasional hingga ke daerah-daerah.


Penurunan Peran dan Nasionalisasi

Perubahan besar terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Meskipun bank sempat tetap beroperasi di bawah kendali Belanda selama masa revolusi, posisinya semakin terdesak. Pada awal 1960-an, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan dan aset Belanda, termasuk Nederlandsch-Indische Handelsbank.

Cabang Mataram kemudian diintegrasikan ke dalam sistem perbankan nasional. Bangunannya sempat digunakan oleh bank milik negara sebelum akhirnya beralih fungsi menjadi perkantoran dan sebagian menjadi ruang komersial.

Ekonom Universitas Indonesia, Dr. Nurul Fadilah, menilai nasionalisasi bank Belanda menjadi momen penting dalam sejarah ekonomi Indonesia.

“Ini menandai peralihan kontrol keuangan dari pihak asing ke tangan pemerintah Indonesia, meskipun tantangan dalam membangun sistem perbankan nasional yang inklusif tetap besar,” kata Nurul.

Hingga kini, bangunan bekas kantor Bank Dagang Belanda di Mataram masih berdiri, meski sebagian telah mengalami renovasi. Beberapa bagian asli seperti pintu baja brankas dan jendela berteralis masih dapat ditemukan.

Pemerhati cagar budaya di Lombok, Made Arya, mengatakan bangunan ini memiliki nilai sejarah yang tinggi.

“Ini bukan sekadar gedung tua, tetapi saksi sejarah perputaran ekonomi Lombok pada masa kolonial. Pelestarian fisik dan dokumentasi sejarahnya penting agar generasi muda memahami dinamika ekonomi masa lalu,” ujarnya.

Upaya pelestarian menghadapi tantangan seperti keterbatasan dana dan tekanan alih fungsi lahan di pusat kota. Namun, sejumlah komunitas sejarah dan akademisi mendorong agar bangunan ini didaftarkan sebagai cagar budaya resmi.

Kisah Bank Dagang Belanda di Mataram mencerminkan pola ekonomi kolonial di Indonesia. Bank-bank Eropa pada masa itu berperan sebagai penghubung perdagangan internasional, namun layanan mereka terbatas bagi kalangan tertentu. Akses yang sempit memperkuat struktur sosial yang hierarkis.