![]() |
| Perbandingan mendalam strategi China dan Amerika Serikat dalam mengelola utang pemerintah yang terus meningkat pada 2025. Analisis dampak dan pelajaran untuk ekonomi global dan Indonesia. (AP Photo) |
Dua raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat (AS), menghadapi tantangan besar dalam menangani utang yang semakin menggunung seiring melambatnya ekonomi global. Pada 2025, utang pemerintah AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 122,46%, jauh lebih tinggi dibanding China yang berada di angka 96,31%.
Namun, cara kedua negara menangani beban fiskal ini sangat berbeda—China fokus pada restrukturisasi utang tersembunyi di pemerintah daerah, sementara AS mengandalkan perpanjangan utang federal dan pengenaan tarif impor.
Siapa yang lebih berhasil mengelola "bom utang" ini, dan bagaimana Indonesia, dengan rasio utang 40-41% terhadap PDB, bisa mengambil pelajaran dari kedua negara tersebut?
China menghadapi persoalan utang tersembunyi yang mencapai 14,3 triliun yuan pada akhir 2023, mayoritas berada pada instrumen pembiayaan pemerintah daerah (Local Government Financing Vehicles/LGFV).
Sejak 2018, Beijing gencar mengendalikan beban ini dengan target penyelesaian dalam 5-10 tahun. Dampak positif mulai terlihat—laporan dari Jepang pada 2022 menyebut utang tersembunyi China telah berkurang lebih dari sepertiga, dan pada September 2023, 12 provinsi dengan beban utang berat berhasil merestrukturisasi kewajiban mereka dalam dua tahun terakhir.
Langkah terbaru berupa program pertukaran utang (debt swap) senilai 12 triliun yuan pada akhir 2024 memperpanjang jatuh tempo utang dari rata-rata 3,18 tahun menjadi 15,88 tahun pada paruh pertama 2025.
“Setelah bertahun-tahun berupaya, risiko utang pemerintah daerah di Tiongkok secara keseluruhan kini sudah lebih terkendali dan perlahan bisa teratasi,” ujar Zhao Xijun, profesor keuangan Universitas Renmin, dalam wawancara dengan South China Morning Post pada 9 Agustus 2025.
Pendekatan ini didukung oleh kebijakan moneter yang terukur, seperti penurunan suku bunga acuan dan rasio cadangan wajib bank, serta kuota utang khusus sebesar 6 triliun yuan untuk tiga tahun ke depan.
Dengan ruang fiskal yang masih tersedia di pemerintah pusat, China mampu menahan risiko gagal bayar lokal tanpa memicu krisis sistemik. Meski begitu, utang non-finansial yang besar dan potensi utang tersembunyi yang belum terungkap masih menjadi ancaman yang harus diwaspadai.
Sementara itu, AS menghadapi situasi yang lebih kompleks. Utang federal AS telah mencapai 36 triliun dolar pada 2025, dengan pagu utang resmi di angka 36,1 triliun dolar.
Sekitar 20% dari utang tersebut harus diperpanjang pada tahun fiskal 2025, dan 61% akan jatuh tempo pada akhir 2028. Dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, peningkatan pendapatan negara menjadi tantangan.
“Pertumbuhan ekonomi yang melambat menyulitkan upaya meningkatkan pendapatan, sehingga AS sangat bergantung pada perpanjangan utang untuk memenuhi kewajibannya, yang justru menambah beban dan meningkatkan risiko gagal bayar,” kata Zhao Xijun.
Kebijakan Presiden Donald Trump yang menaikkan pagu utang sebesar 5 triliun dolar memunculkan kekhawatiran soal "bom utang". Untuk menambah pemasukan, AS juga memberlakukan tarif impor kepada mitra dagang, yang disebut Zhao sebagai upaya memungut “biaya perlindungan”.
Namun, kebijakan ini bukan tanpa dampak—tarif tersebut mendorong kenaikan harga konsumen sebesar 1,8% dan menurunkan pertumbuhan PDB hingga 0,5 poin persentase per tahun selama 2025-2026. Selain itu, kebijakan ini diperkirakan menghilangkan 505.000 lapangan kerja hingga akhir 2025, menambah tekanan pada ekonomi domestik.
Dari sisi risiko, AS berhadapan dengan ancaman "fiscal dominance", di mana Federal Reserve terpaksa menjaga suku bunga tetap rendah atau membeli utang pemerintah untuk mencegah krisis. Kondisi ini meningkatkan risiko inflasi tinggi dan penurunan peringkat kredit negara, yang bisa mengguncang pasar keuangan global.
Di sisi lain, China dengan pendekatan restrukturisasi yang lebih sistematis lebih mampu menjaga stabilitas domestik, walaupun reformasi struktural yang lebih mendalam masih diperlukan untuk keberlanjutan jangka panjang.
Bagaimana posisi Indonesia dalam konteks ini? Dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 40-41% pada 2025, Indonesia berada dalam posisi yang jauh lebih aman dibandingkan China dan AS.
Utang Indonesia didominasi oleh utang jangka panjang, dengan utang luar negeri hanya sekitar 30% dari PDB, di mana lebih dari 80% bersifat jangka panjang. Pendekatan ini memberikan stabilitas fiskal dan ruang untuk pembiayaan pembangunan tanpa tekanan jatuh tempo yang besar.
Meski begitu, Indonesia tetap harus waspada terhadap dinamika global, terutama dampak kebijakan tarif AS yang bisa mengganggu ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
Secara global, total utang dunia telah menembus rekor 324 triliun dolar pada awal 2025, dengan rasio utang terhadap PDB global di atas 325%.
Negara-negara maju seperti AS menyumbang porsi terbesar, sementara negara berkembang seperti China menghadapi tekanan dari utang yang meningkat tajam, mencapai lebih dari 106 triliun dolar.
Indonesia, dengan manajemen utang yang relatif hati-hati, berada dalam posisi yang lebih baik, tetapi tetap rentan terhadap gejolak ekonomi global yang dipicu ketidakpastian fiskal di AS dan China.
Perbandingan strategi kedua raksasa ini memperlihatkan kontras yang jelas. China, dengan kendali terpusat dan kebijakan proaktif, mampu meredam risiko jangka pendek sekaligus membangun fondasi stabilitas jangka panjang.
Sebaliknya, AS terjebak pada ketergantungan utang baru dan kebijakan proteksionis yang justru menambah tekanan ekonomi. Bagi Indonesia, pelajaran utama adalah pentingnya menjaga rasio utang yang sehat dan struktur utang jangka panjang, sambil tetap responsif terhadap dinamika global.
Lantas apakah China dapat menyelesaikan reformasi utangnya tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi? Dan bisakah AS menghindari krisis fiskal tanpa memicu inflasi atau resesi global?
“Jika tren ini berlanjut, dunia berpotensi menghadapi risiko sistemik yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Zhao Xijun, memberikan peringatan bagi pasar global.

0Komentar