![]() |
| Bagaimana tiga negara berhasil menjadi kekuatan ekonomi dunia lewat pendidikan, sementara Indonesia masih mencari formula suksesnya. (Getty Images) |
Singapura resmi berpisah dari Malaysia pada 9 Agustus 1965. Keputusan itu mengundang keraguan global. Negara mungil ini tidak memiliki sumber daya alam melimpah, luas wilayahnya hanya 728 kilometer persegi, dan penduduknya saat itu tak sampai dua juta jiwa. Namun, pemerintahnya memilih satu jalur strategis: pendidikan.
Melalui perencanaan yang terukur, disiplin, dan berorientasi masa depan, Singapura menata sistem pendidikan yang ketat namun adaptif. Hanya dalam beberapa dekade, negara ini masuk jajaran ekonomi maju. Data PISA 2018 menunjukkan siswa Singapura berada di peringkat teratas dunia dalam matematika, sains, dan membaca.
Lebih dari 58,3% penduduk usia 25 tahun ke atas menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan, sekitar 10% siswa dari latar belakang ekonomi rendah berhasil masuk kelompok berprestasi tertinggi.
Pemerintah Singapura menerapkan pendidikan bilingual, mengajarkan bahasa Inggris dan bahasa ibu sejak dini. Sistem ini bukan hanya meningkatkan daya saing global, tetapi juga menjaga identitas budaya.
Pendidikan anak usia dini mendapat perhatian serius, dengan subsidi bagi keluarga berpenghasilan rendah. Guru diseleksi secara ketat, menerima pelatihan intensif, dan memiliki rasio ideal dengan siswa, sekitar 1:12, yang memungkinkan interaksi personal.
Kebijakan pendidikan Singapura konsisten lintas pemerintahan. Kolaborasi erat antara pemerintah, industri, dan sekolah memastikan kurikulum selaras dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Teknologi dan kecerdasan buatan diintegrasikan dalam pembelajaran, menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan ekonomi global.
![]() |
| Sejak reformasi 1978, Tiongkok menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. (Getty Images) |
Kisah lain datang dari Tiongkok. Pada awal 1970-an, produk domestik bruto (PDB) per kapita negara ini masih lebih rendah dari Indonesia. Namun, titik balik terjadi pada 1978 ketika Deng Xiaoping meluncurkan kebijakan reformasi dan keterbukaan. Pendidikan menjadi salah satu sektor prioritas.
Pemerintah Tiongkok menerapkan pendidikan dasar wajib sembilan tahun secara gratis. Untuk mengurangi kesenjangan kualitas antara kota dan desa, guru diberi insentif khusus untuk mengajar di daerah terpencil.
Kurikulum diperbarui agar relevan dengan perkembangan global, dengan penekanan pada bahasa Inggris, teknologi informasi, dan keterampilan abad 21 seperti kreativitas dan pemecahan masalah.
Data Bank Dunia menunjukkan lonjakan literasi, riset, dan inovasi yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Pendidikan vokasional diperkuat untuk memenuhi kebutuhan industri yang berkembang pesat. Pendekatan meritokrasi memastikan siswa berprestasi mendapatkan akses pendidikan terbaik tanpa memandang latar belakang ekonomi.
Kini, Tiongkok bukan hanya pusat manufaktur dunia, tetapi juga kekuatan teknologi yang bersaing ketat dengan Amerika Serikat dalam kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan telekomunikasi. Transformasi ini berakar pada kebijakan pendidikan yang masif dan terstruktur.
Pelajaran serupa juga terlihat di Jepang. Pasca kekalahan pada Perang Dunia II, Jepang berada dalam kondisi hancur. Infrastruktur luluh lantak, ekonomi terpuruk, dan masyarakat diliputi trauma. Namun, pemerintah bersama Sekutu segera meluncurkan reformasi pendidikan besar-besaran.
Pendidikan militer dan propaganda ultra-nasionalisme dihapus dari kurikulum. Buku pelajaran direvisi untuk mengedepankan ilmu pengetahuan, teknologi, demokrasi, dan nilai-nilai moral positif.
![]() |
| Reformasi pendidikan pasca-Perang Dunia II menjadi kunci kebangkitan Jepang dari kehancuran ekonomi dan sosial. (iStock) |
Guru yang sebelumnya terpapar doktrin militer diberi pelatihan ulang untuk mengajarkan pemikiran kritis dan prinsip kemanusiaan.
Sistem pendidikan didesentralisasi, memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan materi dengan kebutuhan lokal. Pendidikan dasar wajib sembilan tahun diterapkan, dengan prinsip kesetaraan gender.
Transformasi ini menekankan pembentukan warga yang disiplin, pekerja keras, dan inovatif. Pendidikan luar sekolah, seperti perpustakaan umum dan pusat kebudayaan, berkembang pesat untuk memperluas wawasan masyarakat. Strategi ini membentuk fondasi kebangkitan Jepang sebagai pusat teknologi dunia pada paruh kedua abad ke-20.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, langkah kita masih pincang. Meski angka melek huruf tinggi, kualitas literasi dan numerasi masih tertinggal dibanding negara tetangga.
Laporan PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains. Meskipun posisi naik 5-6 peringkat dibanding 2018, skor rata-rata masih di bawah standar global.
Konsistensi kebijakan menjadi persoalan. Setiap pergantian menteri sering disertai perubahan kurikulum. Dari Ujian Nasional, kini beralih ke Kurikulum Merdeka. Isu seputar ijazah palsu, sekolah abal-abal, hingga kesenjangan kualitas antara sekolah elit dan daerah terpencil masih terjadi.
![]() |
| Perubahan kurikulum yang sering terjadi, dari Ujian Nasional hingga Kurikulum Merdeka, mencerminkan tantangan konsistensi pendidikan di Indonesia. (AFP) |
Biaya pendidikan juga menjadi beban berat bagi sebagian keluarga. Sementara itu, sekolah dengan fasilitas mewah kadang minim konten berkualitas. Fenomena sekolah scam sempat mencuat, menyoroti lemahnya pengawasan.
Menurut UNESCO 2023, tantangan utama Indonesia meliputi pemerataan akses, kualitas, dan efisiensi pendidikan. Digitalisasi diharapkan menjadi solusi, dengan strategi nasional kecerdasan buatan yang salah satu fokusnya adalah pendidikan. Namun, realisasi di lapangan masih menghadapi hambatan distribusi infrastruktur dan kompetensi guru.
Untuk bidang pendidikan inklusif, Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura dan Jepang. Meski sudah mengadopsi prinsip Deklarasi Salamanca melalui Permendiknas No. 70 Tahun 2009, tantangan besar masih ada.
Guru terlatih menangani anak berkebutuhan khusus (ABK) jumlahnya terbatas. Fasilitas ramah disabilitas belum merata, dan kurikulum belum dimodifikasi secara khusus untuk ABK.
Di Singapura, pendidikan inklusif sudah diterapkan sejak 1980-an. Guru mendapatkan pelatihan khusus, fasilitas memadai disediakan, dan teknologi dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran.
Jepang menerapkan Special Needs Education dengan dukungan kebijakan dan fasilitas, meski masih perlu pengembangan pelatihan guru.
Indonesia menghadapi hambatan pemahaman konsep inklusif di kalangan masyarakat, stigma terhadap ABK, dan kurangnya kolaborasi lintas sektor. Perbedaan fasilitas antara sekolah di kota besar dan daerah memperparah kesenjangan.
Pengalaman Singapura, Tiongkok, dan Jepang menunjukkan bahwa pendidikan bisa menjadi motor penggerak ekonomi dan kekuatan nasional jika dikelola dengan konsisten, terukur, dan berorientasi jangka panjang.
Di Indonesia, sosiolog pendidikan Universitas Indonesia, Prof. Anita Lie, menegaskan perubahan sistem pendidikan ibarat menanam pohon. "Hasilnya tidak bisa dilihat dalam lima tahun, apalagi satu tahun," ujarnya dalam sebuah seminar.
Dalam konteks global, pendidikan bukan sekadar urusan kelas dan kurikulum, tetapi juga investasi strategis. Keberhasilan di sektor ini akan menentukan posisi sebuah negara dalam peta persaingan ekonomi dan teknologi dunia.




0Komentar