![]() |
| Netanyahu kembali melontarkan gagasan "Israel Raya" yang memicu respons keras dari Mesir dan Yordania. (AP/Richard Drew) |
Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menghebohkan kawasan. Dalam wawancara dengan saluran i24, Selasa (12/8), ia menyebut memiliki “kewajiban historis dan spiritual” untuk mewujudkan Israel Raya.
Konsep itu berakar dari ide Zionisme politik abad ke-19, yang membayangkan Israel dengan wilayah lebih luas, dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak.
Ucapan itu datang di tengah perang Gaza yang masih berkecamuk dan segera menuai kecaman dari negara-negara tetangga.
Mesir dan Yordania, dua mitra damai Israel, langsung bereaksi keras. Bagi mereka, gagasan Netanyahu bukan sekadar retorika, melainkan ancaman nyata terhadap kedaulatan dan stabilitas kawasan.
Respons Mesir terhadap visi Israel Raya
Kairo menjadi pihak pertama yang menanggapi. Kementerian Luar Negeri Mesir menilai ucapan Netanyahu “merusak stabilitas regional” dan berlawanan dengan upaya internasional menjaga perdamaian.
Ironisnya, hanya beberapa hari sebelumnya Mesir dan Israel menandatangani kontrak impor gas senilai USD 35 miliar, kerja sama energi terbesar sejak 2020. Kontradiksi ini memicu gelombang kemarahan publik.
Media sosial Mesir dipenuhi kritik yang menyebut pemerintah tak konsisten—menolak agresi Israel di Gaza, tetapi tetap menjalin kesepakatan bisnis besar.
Presiden Abdel Fattah al-Sisi sebelumnya sudah melabeli operasi Israel di Gaza sebagai “genosida sistematis.” Parlemen Mesir menambah nada keras dengan menyatakan, “tidak ada yang akan membiarkan Netanyahu mewujudkan ambisinya.” Kepala Komite Pertahanan Parlemen menegaskan Mesir siap mempertahankan diri bila visinya dipaksakan.
Militer pun mengambil langkah nyata. Pasukan ditambah di Semenanjung Sinai, wilayah yang belakangan santer disebut sebagai opsi pemindahan warga Gaza secara paksa.
Al-Sisi menolak mentah-mentah rencana itu. “Mesir tidak akan menerima Gaza dipindahkan ke Sinai,” tegasnya dalam pernyataan publik.
Sikap Yordania yang semakin keras
Reaksi keras juga datang dari Amman. Kementerian Luar Negeri Yordania menyebut pernyataan Netanyahu sebagai “eskalasi berbahaya dan provokatif” sekaligus pelanggaran terhadap hukum internasional.
“Gagasan absurd itu tidak akan mempengaruhi Yordania dan hak rakyat Palestina,” kata pernyataan resmi yang dikutip media setempat. Pemerintah menyerukan dunia internasional untuk segera menahan retorika Israel yang dianggap semakin mengacaukan situasi kawasan.
Hubungan Yordania dengan Israel memang penuh paradoks. Secara formal ada perjanjian damai sejak 1994, tetapi penolakan publik terhadap Israel begitu kuat. Sekitar seperlima populasi Yordania berlatar Palestina, termasuk Ratu Rania.
Di sisi lain, Yordania juga pernah mengambil langkah yang menimbulkan kontroversi. Pada April lalu, militernya menembak jatuh rudal Iran yang melintas ke arah Israel.
Pemerintah menjelaskan keputusan itu murni untuk melindungi wilayah berpenduduk, bukan karena ingin membantu Israel. Meski begitu, langkah itu tetap menuai kritik dari rakyatnya sendiri.
Sejarah gagasan Israel Raya
Gagasan Israel Raya bukan temuan baru Netanyahu. Ide itu sudah muncul sejak awal kebangkitan Zionisme di Eropa, lalu menguat pasca Perang Enam Hari 1967 ketika Israel memperluas wilayahnya.
Netanyahu hanya memberi nafas baru pada gagasan lama tersebut. Dalam wawancaranya, ia menegaskan visi itu sebagai “misi lintas generasi” yang tak hanya politis, tapi juga spiritual.
Bagi kalangan sayap kanan di Israel, ucapan ini menjadi konfirmasi bahwa agenda ekspansionis tetap berjalan meski tekanan internasional semakin besar.
Pakar politik di Kairo menilai langkah Netanyahu konsisten dengan garis ekspansi yang ia tulis dalam bukunya A Place Among the Nations tiga dekade lalu. “Netanyahu tidak pernah keluar dari kerangka itu,” ujar seorang analis Timur Tengah.
Dunia Arab kompak mengecam
Tak hanya Mesir dan Yordania, kecaman juga datang dari dunia Arab dan Islam. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Arab, dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) secara kolektif menyebut gagasan Netanyahu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.
“Pernyataan agresif ini bertujuan menghindari kewajiban internasional Israel sebagai pendudukan dan terus melanggar hak-hak sah rakyat Palestina,” bunyi pernyataan resmi OKI.
Qatar menilai ucapan itu sebagai wujud “arogansi pendudukan” yang bisa memicu kekacauan baru. Arab Saudi menyebutnya provokasi berbahaya, sementara Indonesia menganggapnya ancaman langsung bagi perdamaian dunia.
Liga Arab bahkan mendesak Dewan Keamanan PBB segera mengambil langkah menghadapi “ekstremisme pemimpin Israel.”
Situasi terbaru di Gaza dan Tepi Barat
Pernyataan Netanyahu muncul di tengah perang Gaza yang semakin mematikan. Hingga Agustus 2025, lebih dari 39 ribu warga sipil dilaporkan tewas. Blokade ketat Israel membuat akses bantuan kemanusiaan sangat terbatas.
Di Tepi Barat, Israel memperluas permukiman Yahudi di kawasan strategis E1 yang bisa memutus jalur antara Yerusalem Timur dan sisa wilayah Palestina. Jerman bahkan memperingatkan langkah itu dapat “menghancurkan prospek dua negara.”
Beberapa pengamat melihat perluasan permukiman dan operasi militer ini sebagai implementasi nyata dari visi Israel Raya. Dengan kata lain, ide yang diucapkan Netanyahu bukan sekadar retorika, tapi selaras dengan kebijakan di lapangan.
Jurang Perdamaian Kian Terbuka
Kontroversi ini membuat hubungan Israel dengan dua mitra damainya, Mesir dan Yordania, semakin tertekan. Kedua negara yang dulu dianggap penyangga stabilitas kini justru berada di garis depan kritik.
Bagi Netanyahu, retorika Israel Raya mungkin berfungsi sebagai alat konsolidasi politik di dalam negeri, sekaligus sinyal kepada lawan bahwa Israel tetap teguh dengan agenda ekspansi.
Namun di mata dunia Arab, ucapan itu semakin memperlebar jarak, memperkuat sentimen anti-Israel, dan menambah isolasi diplomatik Tel Aviv.
Kementerian Luar Negeri Yordania merangkum kekhawatiran itu dengan satu kalimat tegas— “Gagasan absurd yang diungkap pejabat Israel tidak akan mengubah kenyataan, tetapi cukup untuk mengancam stabilitas kawasan.”
Dengan perang Gaza yang belum berakhir, blokade yang semakin mencekik, serta retorika politik yang kian ekstrem, Timur Tengah kembali berada di tepi jurang ketidakstabilan.

0Komentar