 |
| Foto ilustrasi: Gotong royong warga memperbaiki jalan rusak di Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana (Foto: Putu Adi Budiastrawan/detikBali) |
Suara cangkul dan sapu pada Minggu pagi sudah jarang terdengar di gang-gang kecil perumahan Jakarta. Dulu, kerja bakti bulanan menjadi ajang warga membersihkan selokan, merapikan taman, atau sekadar bercengkerama.
Kini, banyak warga yang sibuk bekerja atau memilih menghabiskan akhir pekan di pusat perbelanjaan, sementara tukang kebersihan berbayar menggantikan tangan-tangan sukarela.
Pertanyaannya, apakah gotong royong nilai budaya yang kerap disebut sebagai jati diri bangsa masih relevan di tengah hiruk-pikuk kota modern?
Urbanisasi yang Menggerus Interaksi Sosial
Urbanisasi menjadi salah satu faktor utama yang mengubah wajah interaksi sosial Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2020, 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini diproyeksikan mencapai 70 persen atau sekitar 220 juta orang pada 2045. Pertumbuhan kota yang cepat bukan hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga tatanan sosial.
“Urbanisasi membuat hubungan antarindividu menjadi lebih transaksional. Masyarakat kota cenderung mengutamakan privasi dan efisiensi dibanding keterlibatan sosial,” kata Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia.
Menurutnya, kerja bakti dan interaksi komunal yang dahulu lekat dengan masyarakat desa kini kerap digantikan oleh jasa berbayar dan interaksi digital.
Di Jakarta, fenomena ini nyata terlihat di banyak kompleks perumahan dan apartemen. Kerja bakti RT atau RW sering berjalan dengan partisipasi minim.
Banyak warga lebih memilih membayar iuran tambahan untuk menggaji petugas kebersihan ketimbang ikut turun tangan.
Hal serupa terjadi di Surabaya, di mana pengurus lingkungan mengaku sulit melibatkan generasi muda dalam kegiatan bersama.
Gotong Royong yang Bertransformasi
Meski interaksi tatap muka menurun, semangat gotong royong belum benar-benar hilang. Ia justru bertransformasi. Di kota-kota besar, solidaritas muncul melalui cara-cara baru, seperti komunitas urban farming, bank sampah, atau gerakan donasi digital.
Di Bandung, misalnya, sekelompok warga RW di kawasan Antapani berhasil mengubah lahan kosong milik pemerintah menjadi kebun komunitas. Hasil panen sayuran dibagi gratis untuk warga lanjut usia dan dijual sebagian untuk membiayai kegiatan sosial.
“Banyak warga yang tak punya waktu ikut berkebun, tapi mereka ikut menyumbang bibit atau uang. Bentuk gotong royongnya tidak sama seperti dulu, tapi esensinya ada,” kata Dedi, koordinator komunitas tersebut.
Sementara di dunia digital, platform donasi Kitabisa menjadi simbol gotong royong era baru. Sepanjang 2021, lebih dari 3 juta orang Indonesia berdonasi melalui platform tersebut, dengan 82 persen di antaranya memilih anonim dan mayoritas berdonasi di bawah Rp10.000 per transaksi.
Menurut laporan Gopay Digital Donation Outlook 2020, jumlah donatur online naik 9 persen dan total donasi tumbuh 72 persen dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan solidaritas tetap mengakar meski lewat layar ponsel.
Namun, ada catatan kritis. Beberapa pengguna mempertanyakan potongan biaya administrasi platform. “Gue dulu seneng make Kitabisa, tapi setelah tahu mereka ambil potongan 5 persen, gue pilih transfer langsung,” tulis seorang warganet di forum Reddit Indonesia.
Meski begitu, mayoritas pengguna menganggap platform seperti ini memperluas akses untuk membantu sesama, terutama saat bencana.
Multi-Kota: Wajah Beragam Gotong Royong
Kondisi gotong royong di kota tidak seragam. Di Jakarta, kerja bakti fisik memang berkurang, tetapi pemerintah daerah mencoba menghidupkannya kembali lewat program Kampung Deret dan revitalisasi ruang publik.
Di Bandung, gerakan komunitas menjadi kunci, mulai dari pengelolaan sampah terpadu hingga kelompok sepeda yang menggalang donasi untuk fasilitas umum.
Di Surabaya, tradisi kerja bakti masih bertahan di beberapa kampung kota, namun lebih terstruktur dengan dukungan dana RT.
Pengamat perkotaan Nirwono Joga menilai keberagaman ini wajar. “Setiap kota punya tantangan dan peluang. Yang penting bukan sekadar bentuknya, tapi apakah gotong royong itu berfungsi menjaga kohesi sosial,” ujarnya.
Gotong Royong: Dari Nilai Tradisi ke Kekuatan Ekonomi
Gotong royong tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga ekonomi. Menurut studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, kegiatan komunal seperti kerja bakti dapat menghemat biaya pengelolaan lingkungan hingga 30 persen dibanding jika semuanya dilakukan pihak ketiga.
Crowdfunding sosial juga mampu menjadi sumber dana alternatif yang signifikan: pada 2023, donasi daring di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,5 triliun per tahun, berdasarkan data internal beberapa platform.
Indonesia bahkan berturut-turut menduduki peringkat negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index (2021–2024), karena tingginya proporsi warga yang menyumbang uang, membantu orang asing, dan menjadi sukarelawan.
“Gotong royong adalah modal sosial yang tidak bisa digantikan oleh mekanisme pasar. Ia bisa bertransformasi, tapi tidak boleh hilang,” tegas Imam Prasodjo.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Meski relevan, gotong royong di kota menghadapi tantangan besar. Privatisasi ruang publik, kesibukan warga, dan kecenderungan individualisme dapat mengikis solidaritas.
Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendorong interaksi sosial misalnya dengan membangun lebih banyak ruang terbuka hijau, mendukung komunitas lokal, dan mempermudah mekanisme donasi publik.
Bagi masyarakat, tantangannya adalah mengadaptasi gotong royong tanpa kehilangan esensi. Tidak semua orang bisa ikut kerja bakti, tetapi kontribusi bisa berupa dana, ide, atau dukungan digital.
Gotong royong di perkotaan Indonesia tidak lagi identik dengan sapu dan cangkul di Minggu pagi, tetapi juga klik di layar ponsel, kebun komunitas di lahan kosong, atau kampanye donasi bencana. Nilai kebersamaan itu tetap relevan, meski bentuknya berubah mengikuti zaman.
“Esensinya bukan soal cara, tapi soal kepedulian. Selama kepedulian itu ada, gotong royong akan selalu hidup, meski wajahnya berbeda,” ujar Nirwono Joga.
Di tengah kota yang kian sibuk dan individualistis, gotong royong kini menjadi pengingat bahwa solidaritas sosial baik di jalanan maupun di dunia digital masih menjadi jantung masyarakat Indonesia.
0Komentar