Ekonomi Indonesia terus digaungkan tumbuh positif, tapi di balik itu tersimpan bom waktu: 1,01 juta sarjana menganggur per Juli 2025. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm nyaring bahwa krisis pendidikan dan ketimpangan pasar kerja tengah menggerogoti fondasi Indonesia Emas 2045.
Dari peringkat ke-74 di PISA 2019 hingga produktivitas tenaga kerja yang hanya US$14 per jam, data menunjukkan masalah ini bukan cuma soal kurangnya lapangan kerja, melainkan kegagalan sistemik dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) yang kompetitif.
Pendidikan Kita Tertinggal Jauh
Bayangkan sebuah lomba lari antarnegara. Indonesia, dengan populasi 270 juta jiwa, tertatih-tatih di posisi ke-74 dari 79 peserta dalam survei PISA 2019. Skor literasi, matematika, dan sains kita memang sedikit membaik di PISA 2022, tapi trennya stagnan selama dua dekade.
Di Asia Tenggara, kita kalah telak dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. OECD mencatat tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia hanya 31,5%, jauh di bawah Thailand (51,2%) dan Malaysia (36%).
Kualitas perguruan tinggi juga jadi sorotan. Dari 4.500 universitas dengan 8,6 juta mahasiswa, hanya lima yang masuk 500 besar dunia versi QS World Ranking 2025: Universitas Indonesia (UI) di posisi 206, UGM (239), dan ITB (256).
Bandingkan dengan National University of Singapore di peringkat 8 atau University of Malaya di posisi 65. Lebih memprihatinkan, hanya 7% universitas swasta di Indonesia yang terakreditasi A.
“Lulusan perguruan tinggi Indonesia dinilai tidak memenuhi kebutuhan industri, baik secara hard skill maupun soft skill,” ujar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam laporan terbarunya.
Mengapa ini terjadi? Taufikmoch, dalam analisisnya di Medium (2025), menuding tiga biang kerok: metode pengajaran kuno berbasis hafalan, kesenjangan sumber daya antarwilayah, dan intervensi politik dalam kebijakan pendidikan.
Di Jawa Barat, misalnya, 70% kepala dinas pendidikan periode 2019-2024 berlatar belakang politikus, bukan ahli pendidikan. Rasio guru-murid kita 17:1, kalah dari Singapura yang 12:1. Lebih parah lagi, 6 dari 10 siswa Indonesia tak bisa membedakan fakta dan opini, menurut PISA.
Produktivitas US$14 per Jam: Kita Kalah di Kandang Sendiri
Rendahnya kualitas pendidikan berdampak langsung pada produktivitas tenaga kerja. Tahun 2023, produktivitas pekerja Indonesia hanya US$14 per jam, jauh tertinggal dari Singapura (US$74), Brunei (US$49), Malaysia (US$26), bahkan Thailand (US$15).
![]() |
Pekerja Produktif Masih Jadi PR Besar Tanpa peningkatan kualitas SDM, Indonesia berisiko tertinggal dalam kompetisi ekonomi kawasan. (Foto: Dok. Bisnis.com) |
International Labour Organization (ILO) menempatkan kita di peringkat 110 dari 189 negara berdasarkan PDB per jam kerja. World Economic Forum (WEF) 2018 menyebut daya saing Indonesia mentok di peringkat 37 dari 57 negara, dan posisi ini tak banyak berubah hingga kini.
“Lulusan kita tidak siap kerja,” tegas laporan Bank Dunia 2010, yang menyebut hanya 19% lulusan perguruan tinggi Indonesia yang employable.
McKinsey dan Asian Development Bank (ADB) memperkuat temuan ini: lulusan kita kekurangan hard skills seperti pemrograman atau analisis data, serta soft skills seperti komunikasi dan kolaborasi.
Survei Apindo (2025) mengungkap 80% perusahaan mengeluhkan lulusan yang tak mampu bekerja dalam tim atau beradaptasi dengan dinamika industri.
Link and Match: Janji Manis yang Tak Kunjung Nyata
Sejak 1993, program link and match digagas oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menaker Abdul Latief untuk menjembatani dunia pendidikan dengan industri. Lewat dosen praktisi, pendidikan vokasi, dan magang industri, program ini diharapkan mencetak lulusan siap kerja.
Tapi, nyatanya? “Program ini masih jauh dari harapan,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (2025). Kegagalan ini terlihat jelas dari kurikulum yang tak adaptif hanya 12% mata kuliah di perguruan tinggi terintegrasi dengan kasus riil industri, menurut BPS (2024).
Ambil contoh jurusan teknik: lulusan lebih hafal fisika klasik ketimbang teknologi IoT atau AI yang dibutuhkan manufaktur modern. Permintaan talenta AI melonjak 300% sejak 2022, tapi hanya 8% perguruan tinggi memasukkan AI ke kurikulum inti.
Akibatnya, 65% lulusan teknologi informasi tak menguasai Python atau SQL, dua bahasa pemrograman yang jadi standar industri.
1,01 Juta Sarjana Menganggur: Krisis yang Tak Bisa Diabaikan
Dari 7,28 juta pengangguran nasional per Juli 2025, 1,01 juta di antaranya adalah sarjana, menurut Kementerian Ketenagakerjaan. Angka ini mencerminkan ketimpangan struktural pasar kerja.
![]() |
Ijazah Tinggi, Peluang Kerja RendahKrisis lapangan kerja terampil membuat banyak lulusan perguruan tinggi terjebak dalam pengangguran terselubung. (Foto: Dok. Tempo/Fahmi) |
Sebanyak 63% sarjana penganggur berasal dari jurusan sosial-humaniora, yang kurikulumnya dinilai paling tak adaptif.
Sementara itu, 85% tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SMA/SMK yang terserap di sektor informal. Sektor formal, yang idealnya menyerap sarjana, justru tumbuh lebih lambat dibandingkan lonjakan jumlah lulusan.
Ada tiga faktor utama pengangguran sarjana: kurikulum yang tak relevan, minimnya soft skills, dan lemahnya keterampilan praktis.
Survei Kemendikbud (2023) menunjukkan hanya 12% guru memahami esensi perubahan kurikulum, sehingga pendidikan tinggi tetap teoritis.
“Pendidikan kita terlalu fokus pada ijazah, bukan kompetensi,” kata Taufikmoch. Sementara itu, sektor informal mendominasi karena industri maju yang mampu menyerap sarjana masih terbatas.
Namun, ada secercah harapan dari pendidikan vokasi. Pengangguran lulusan diploma turun dari 305.261 pada 2020 menjadi 170.527 pada 2024.
“Lulusan diploma lebih siap kerja karena pendidikan vokasi berorientasi praktis,” ujar Menaker Yassierli. Program pelatihan berbasis potensi lokal, seperti di Papua yang fokus pada maritime tech, mulai menunjukkan hasil positif.
Middle-Income Trap: Ancaman Nyata Indonesia Emas 2045
Rendahnya kualitas SDM mengancam Indonesia terjebak dalam middle-income trap. Human Capital Index (HCI) Bank Dunia 2020 menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 173 negara dengan skor 0,54, jauh di bawah Singapura (0,88) dan Malaysia (0,61).
Artinya, anak yang lahir tahun 2020 hanya punya 54% potensi produktivitas optimal saat dewasa. Jika tak diatasi, pertumbuhan ekonomi akan terus stagnan di kisaran 5%, kelas menengah menyusut dari 57,33 juta (2019) menjadi 47,85 juta (2024), dan ketimpangan memburuk dengan Gini Ratio 0,381.
![]() |
Peluang Emas yang Bisa TerbuangTanpa investasi serius pada kualitas pendidikan dan pelatihan, momentum bonus demografi berpotensi lewat begitu saja. (iStock Domepitipat) |
Bonus demografi, yang seharusnya jadi peluang, malah berisiko jadi bencana. Bappenas memperingatkan, 60% penduduk usia produktif tak akan maksimal tanpa kompetensi memadai.
Hanya 18% siswa Indonesia mencapai level kemahiran dasar PISA level 2 dalam matematika. “Bonus demografi bisa jadi pisau bermata dua,” kata Bappenas.
Literasi digital juga jadi masalah serius. Survei Microsoft 2020 menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara dalam Digital Civility Index.
Lemahnya literasi ini berkontribusi pada maraknya hoaks dan penipuan investasi yang menargetkan generasi muda. “60% siswa tak bisa bedakan fakta dan opini,” ungkap PISA, menunjukkan krisis berpikir kritis yang mengancam stabilitas sosial.
Indonesia mengalokasikan 20% APBN atau Rp612 triliun untuk pendidikan pada 2023. Tapi, audit BPK menemukan 40% anggaran ini tak memenuhi standar pedagogis.
“Bukan soal besarnya anggaran, tapi bagaimana kita memastikan setiap rupiah berdampak pada kualitas pembelajaran,” ujar laporan Bank Dunia (2013).
Sebagai perbandingan, Finlandia sukses dengan kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang selama 15 tahun sebelum diterapkan.
Reformasi Holistik untuk Selamatkan Generasi
1. Revolusi Cara Mengajar: Dari Hafalan ke Kreativitas
Pendidikan Indonesia harus beralih dari hafalan ke pembelajaran berbasis proyek yang mengasah berpikir kritis. Finlandia jadi contoh, kurikulum mereka menekankan kolaborasi dan kreativitas.
Indonesia perlu memangkas muatan hafalan, hanya 12% guru paham kurikulum baru, menurut Kemendikbud (2023). Program guru penggerak dan pelatihan berbasis industri harus diperluas, dengan insentif khusus untuk daerah tertinggal (3T), yang kini hanya mendapat 55% alokasi anggaran pendidikan.
2. Kurikulum Dinamis Berbasis Industri
Kurikulum harus fleksibel dan terintegrasi dengan kebutuhan industri. Program Kedaireka Kemendikbudristek, yang menggandeng industri seperti Bukalapak, menunjukkan hasil: 75% peserta magang MSIB terserap kerja.
Wajibkan mahasiswa mengambil sertifikasi profesi seperti Google Analytics atau AWS Cloud sebelum lulus. Pola “8+1” di SMK Pusat Keunggulan, satu semester magang intensif bisa diadopsi perguruan tinggi.
3. Link and Match 4.0: Kolaborasi Nyata dengan Industri
Revitalisasi link and match perlu pendekatan konkret. Pertama, kembangkan sertifikasi kompetensi nasional yang diakui ASEAN, seperti model Singapore’s SkillsFuture.Kedua, wajibkan rasio magang:vokasi 1:1 dengan insentif pajak untuk perusahaan. Ketiga, tingkatkan kualitas Balai Latihan Kerja (BLK), seperti di Papua yang fokus pada teknologi maritim.
“Kurikulum harus seperti startup—cepat beradaptasi atau punah,” kata Achmad Zaky, pendiri Bukalapak.
4. Digitalisasi dan Kewirausahaan
Platform seperti Merdeka Mengajar harus diperluas ke perguruan tinggi, menyediakan modul AI dan pelatihan digital. Virtual internship dengan perusahaan global, seperti yang dilakukan Microsoft Indonesia dengan UI, bisa jadi solusi. Selain itu, masukkan kewirausahaan ke kurikulum dan bangun inkubator bisnis di kampus untuk menyerap lulusan.
5. Benahi Anggaran dan Desentralisasi
Alokasikan 20% anggaran perguruan tinggi untuk pelatihan dosen berbasis industri. Permendikbudristek No. 12/2024 tentang Kurikulum Merdeka perlu diperluas ke perguruan tinggi dengan evaluasi tahunan.
Desentralisasi pendidikan juga krusial: beri daerah otonomi untuk mengelola pendidikan sesuai kebutuhan lokal, seperti program BOS-KITA yang didanai Bank Dunia.
Kita masih punya waktu 20 tahun menuju Indonesia Emas 2045. Tapi waktunya bukan untuk berjalan santai kita harus berlari kencang. Targetnya pun tak main-main: menaikkan Human Capital Index dari 0,54 ke 0,65, melipatgandakan produktivitas tenaga kerja dari US$14 ke US$25 per jam, dan menurunkan tingkat pengangguran lulusan pendidikan tinggi di bawah 5%.
Kolaborasi antara pemerintah, industri, kampus, dan masyarakat bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Seperti yang diingatkan Taufikmoch, “Kita harus berhenti menjadikan pendidikan sebagai eksperimen, dan mulai melihatnya sebagai investasi peradaban.”
Jika reformasi tak dilakukan sekarang, impian besar Indonesia Emas bisa jadi tinggal slogan. Alarmnya sudah berbunyi—tinggal kita mau bergerak atau tidak.
0Komentar