![]() |
Menaker Yassierli membantah isu krisis lapangan kerja nasional. Ia menilai narasi darurat hanya memperburuk persepsi dan tidak mencerminkan data riil. (Dok. Kemnaker) |
Fenomena ribuan orang berebut satu lowongan kerja kembali memicu kekhawatiran publik soal kondisi ketenagakerjaan nasional. Namun, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menepis anggapan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis lapangan kerja.
Ia menilai, narasi darurat kerja justru berbahaya jika terus dibesar-besarkan tanpa melihat data dan konteks secara utuh.
Pernyataan Yassierli muncul setelah viralnya antrean panjang pelamar kerja di sejumlah daerah. Salah satu yang paling disorot terjadi di Cianjur, Jawa Barat.
Sebuah toko ritel lokal membuka hanya 50 posisi, tetapi diserbu ribuan pelamar yang rela mengantre sejak pagi. Gambar dan video yang merekam kepadatan tersebut langsung menyebar luas di media sosial dan memunculkan perdebatan soal potensi krisis kerja.
“Nggak sih, nggak. Optimis. Optimis kita ya,” tegas Yassierli di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Ia meminta masyarakat tidak terjebak pada narasi “fear” yang menurutnya bisa memperkeruh situasi. “Semakin kita sampaikan fear, tadi buka lowongan 50, yang datang 1.000. Semakin fear nanti datang 100 ribu. Padahal kita punya labor market information system, SIAPkerja.”
Menurut Menaker, antrean seperti di Cianjur bukan cerminan kehancuran sistem kerja, melainkan dampak dari kesenjangan informasi antar pelamar, perusahaan, dan pemerintah daerah.
Ia juga menyoroti masih rendahnya pelaporan lowongan oleh perusahaan ke dinas tenaga kerja, yang menyebabkan proses rekrutmen acap kali berlangsung secara manual dan rawan overcapacity.
Kementerian Ketenagakerjaan saat ini mendorong optimalisasi sistem SIAPkerja, platform digital yang dirancang untuk menyatukan informasi lowongan kerja, pelatihan, hingga kebutuhan industri secara real-time.
Selain itu, pemerintah terus merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dengan pendekatan project-based learning dan kurikulum berbasis teknologi masa depan, seperti kecerdasan buatan dan Internet of Things (IoT).
Namun demikian, suara dari kalangan dunia usaha tetap menyiratkan kekhawatiran. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan kondisi saat ini bukan krisis, tetapi merupakan sinyal kuat bagi pemerintah untuk mempercepat reformasi struktural ketenagakerjaan.
“Kami lebih menyebutnya sebagai wake-up call. Ini sinyal keras bahwa kita harus menata ulang ekosistem investasi dan memperkuat employability tenaga kerja,” ujarnya.
Apindo mencatat tiga tantangan utama penyebab kesenjangan ini: turunnya indeks PMI manufaktur ke level kontraksi 46,9 per Juni 2025, masifnya otomasi industri, serta regulasi investasi yang belum sepenuhnya pro-growth.
Dunia usaha, kata Shinta, memiliki komitmen menyerap tenaga kerja. Namun, tanpa dukungan iklim investasi yang kondusif, ekspansi usaha akan stagnan.
Di sisi lain, investasi dalam negeri tercatat tumbuh 15,9% pada kuartal I-2025 dengan serapan tenaga kerja mencapai 594.104 orang.
Sayangnya, mayoritas berasal dari sektor padat modal seperti hilirisasi logam, yang kurang banyak menyerap tenaga kerja dibanding sektor padat karya.
Ini memperkuat indikasi mismatch antara pertumbuhan ekonomi dan daya serap tenaga kerja. Pemerintah juga menghadapi tarik ulur dengan serikat pekerja terkait formula penyesuaian upah minimum 2025.
Ketegangan ini memperumit atmosfer hubungan industrial yang seharusnya menjadi jembatan antara pertumbuhan usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja.
Menaker menambahkan bahwa upaya memperluas akses kerja juga dilakukan melalui regulasi anti-diskriminasi. Salah satunya melalui Surat Edaran No. M/6/HK.04/V/2025 yang menegaskan larangan diskriminasi dalam proses rekrutmen kerja, baik berbasis gender, usia, maupun latar belakang pendidikan.
Kondisi lapangan kerja Indonesia saat ini tidak bisa disederhanakan hanya lewat potret viral. Tantangan struktural, mulai dari kualitas sumber daya manusia, kesenjangan kompetensi, hingga arah investasi, perlu ditangani secara sistemik.
Pemerintah meminta masyarakat untuk tetap tenang, namun waspada, karena agenda reformasi pasar kerja masih panjang dan kompleks.
“Ini bukan darurat, tapi alarm,” kata Shinta. “Kalau kita abaikan, ke depan bisa berdampak pada daya saing nasional
0Komentar