![]() |
Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal ancaman kampus menjadi "pabrik pengangguran intelektual" jika hilirisasi industri tak segera dijalankan. (MNC Media) |
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, melontarkan peringatan keras soal masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda ke-54 Politeknik Energi dan Mineral Akamigas, 17 Juli 2025, ia menyatakan bahwa tanpa penyediaan lapangan kerja yang memadai, kampus hanya akan menjadi "pabrik pembuat pengangguran intelektual".
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Setiap tahun, Indonesia menambah sekitar 7 juta angkatan kerja baru, namun hanya sekitar 1 juta di antaranya yang bisa tertampung di sektor formal.
Sementara itu, ribuan kampus terus mencetak sarjana tanpa kepastian nasib setelah kelulusan. Bahlil menilai, jika tidak ada intervensi konkret, lulusan perguruan tinggi hanya akan menambah deret panjang pengangguran terdidik.
"Kalau tidak ada lapangan pekerjaan disiapkan, saya takut suatu saat kampus akan menjadi pabrik pembuat pengangguran intelektual," ujar Bahlil.
Untuk menghindari situasi tersebut, Bahlil menekankan pentingnya pembangunan industri nasional berbasis hilirisasi.
Menurutnya, kunci membuka jutaan lapangan kerja terletak pada kemampuan Indonesia mengolah sendiri kekayaan alamnya. Bukan lagi sekadar mengekspor bahan mentah, tetapi menciptakan rantai produksi bernilai tambah dari hulu hingga hilir.
Hilirisasi, terutama di sektor mineral dan batu bara (minerba), kini ditangani langsung oleh Kementerian ESDM. Bahlil menyebut, pengelolaan sektor ini adalah salah satu instrumen utama negara untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan menyerap tenaga kerja secara masif.
"Maka hilirisasi harus kita bangun, industri harus kita bangun supaya menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan menciptakan lapangan pekerjaan, itu sama dengan ketika seluruh perguruan tinggi yang mahasiswanya siap untuk bekerja, maka keluar itu ada lapangan pekerjaan yang disiapkan," tegasnya.
Dalam pandangannya, pembangunan industri tidak bisa ditunda. Sektor-sektor strategis seperti minerba, migas, perikanan, kehutanan, pertanian, dan perkebunan harus segera dikembangkan dengan orientasi ekspansi tenaga kerja.
Hal ini juga selaras dengan mandat konstitusi, yang menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikelola negara untuk kemakmuran rakyat.
"Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, kekayaan alam harus dikuasai oleh negara, dikelola dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat," kata Bahlil.
Lebih dari sekadar membuka pabrik atau smelter, hilirisasi juga diarahkan untuk membentuk ekosistem ekonomi baru.
Misalnya, pembangunan kawasan industri berbasis nikel di Sulawesi atau pengembangan kawasan energi di Kalimantan. Di kawasan-kawasan tersebut, bukan hanya teknisi dan insinyur yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga logistik, keuangan, hingga sektor pendukung lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Menariknya, Bahlil memuji Politeknik Akamigas karena lulusannya langsung diserap pasar kerja. Fenomena ini menjadi bukti bahwa jika pendidikan tinggi terhubung dengan kebutuhan industri, maka pengangguran bisa ditekan drastis.
Namun ia menekankan, kasus sukses seperti Akamigas belum cukup—Indonesia butuh ratusan kampus yang bisa melahirkan lulusan siap kerja, bukan sekadar siap ijazah.
Dalam konteks yang lebih luas, peringatan Bahlil juga menjadi kritik tersirat terhadap sistem pendidikan nasional. Kurikulum dinilai belum cukup adaptif terhadap kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.
Dunia usaha dan dunia pendidikan masih berjalan sendiri-sendiri. Bahkan, banyak kampus belum punya peta jalan keterhubungan dengan sektor industri.
Tak hanya menyasar pemerintah dan kampus, Bahlil juga mendorong mahasiswa untuk berani menciptakan lapangan kerja sendiri. Ia mengingatkan bahwa peluang di sektor formal semakin terbatas, dan tidak semua lulusan bisa jadi pegawai negeri atau bekerja di BUMN.
Ia menegaskan, mindset lulusan harus berubah. “Jangan semua mau jadi ASN atau kerja di BUMN. Kalau setiap tahun hanya 1 juta lowongan, tapi yang cari kerja 7 juta, berarti 6 juta harus kreatif cari jalan lain,” ujarnya.
Pernyataan Bahlil bukan hal baru. Ia sudah sejak 2022 mengingatkan tentang bahaya laten pengangguran terdidik. Namun kali ini, nada bicaranya lebih mendesak, seolah menggambarkan situasi darurat di dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Apalagi dengan tekanan global, ancaman disrupsi teknologi, dan perubahan struktur ekonomi yang menuntut keterampilan baru setiap tahunnya.
Di tengah wacana reshuffle kabinet, perombakan kebijakan energi, dan kontroversi perizinan tambang yang turut membayangi posisinya, Bahlil justru memperkuat narasi soal hilirisasi dan pembangunan industri. Baginya, ini bukan hanya soal politik atau jabatan, tetapi soal masa depan ekonomi bangsa.
Langkah konkret pun terus dijalankan. Pemerintah, lewat Kementerian ESDM dan lintas kementerian, kini memfokuskan program pembangunan industri daerah berbasis potensi sumber daya alam lokal.
Jika berhasil, program ini tidak hanya menekan angka pengangguran, tapi juga mengurangi ketimpangan antarwilayah.
Yang pasti, peringatan Bahlil soal kampus menjadi “pabrik pengangguran intelektual” bukan sekadar alarm sosial. Ini adalah ajakan serius untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional.
0Komentar