![]() |
| Bom nuklir B61 milik AS kembali ditempatkan di Inggris. Rusia merespons dengan peringatan keras dan ancaman opsi serangan pendahuluan. (AP Photo) |
Penempatan kembali senjata nuklir Amerika Serikat di Inggris setelah 16 tahun memantik respons keras dari Rusia. Bom nuklir B61 yang diduga kini berada di Pangkalan Udara RAF Lakenheath, Inggris, menjadi sinyal terbaru peningkatan tensi militer antara NATO dan Moskow.
Situasi ini mencuat di tengah konflik Ukraina yang belum mereda dan kebijakan luar negeri AS di bawah Donald Trump yang semakin agresif terhadap Rusia.
Sejak 2008, pangkalan Lakenheath tidak lagi menyimpan senjata nuklir. Namun laporan terbaru menyebut bom B61 senjata gravitasi nuklir yang bisa dipasang pada jet tempur F-35A milik Inggris telah kembali masuk ke wilayah tersebut. Pemerintah AS dan Inggris belum memberikan konfirmasi terbuka, tapi Kremlin sudah bersuara lantang.
“Ini jelas eskalasi militer. Kami memantau secara saksama seluruh perkembangan situasi ini,” tegas Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, kepada media pada Selasa (22/7).
Dalam pernyataannya, Peskov menyebut bahwa penguatan militer NATO, terutama yang melibatkan senjata nuklir, adalah “jalur militerisasi yang berbahaya”.
Bukan sekadar retorika, Rusia juga merujuk pada doktrin nuklir nasionalnya yang diperbarui November 2024. Doktrin tersebut kini secara eksplisit memungkinkan penggunaan senjata nuklir apabila Rusia diserang oleh negara non-nuklir yang mendapat dukungan militer dari negara pemilik senjata nuklir.
Dengan kata lain, jika Ukraina negara non-nuklir menerima bantuan militer dari AS atau Inggris dalam bentuk serangan signifikan, maka Rusia punya dasar hukum untuk menggunakan senjata nuklir sebagai balasan.
Respons Rusia terhadap laporan penempatan nuklir AS ini bukan hal yang berdiri sendiri. Ini bagian dari dinamika yang lebih luas tekanan geopolitik yang meningkat, khususnya setelah Presiden AS Donald Trump mengeluarkan ultimatum 50 hari kepada Rusia untuk menghentikan agresi di Ukraina. Jika tidak, AS akan menjatuhkan tarif 100 persen atas seluruh produk ekspor Rusia.
"Rusia sudah sepakat berdamai, tapi kemudian mereka malah menyerang lagi. Kalau tidak ada kesepakatan dalam 50 hari, akan ada tarif 100 persen," kata Trump dalam pertemuan dengan Sekjen NATO, Mark Rutte, pada 14 Juli lalu.
Bagi Kremlin, itu adalah pukulan ganda tekanan militer lewat NATO dan tekanan ekonomi langsung dari Washington. Maka wajar jika Peskov menyatakan bahwa departemen terkait di Rusia tengah “merumuskan langkah-langkah untuk memastikan keamanan nasional”. Indikasinya mengarah pada potensi peningkatan kesiapan militer, bukan sekadar pengawasan pasif.
Sinyal yang lebih tajam bahkan datang dari Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Dewan Keamanan Nasional.
Dalam wawancara dengan kantor berita TASS, ia menyatakan bahwa Moskow “mungkin perlu mempertimbangkan serangan pendahuluan terhadap Barat” jika ketegangan meningkat tanpa kendali.
“Barat sudah tidak lagi menyembunyikan bahwa mereka berada dalam keadaan perang de facto dengan Rusia,” katanya.
Pernyataan Medvedev mencerminkan sikap elite Kremlin yang kian keras. Retorika soal "preemptive strike" bukan sekadar ancaman kosong, tapi bagian dari kalkulasi geopolitik yang kini mulai melibatkan skenario ekstrem.
Fakta bahwa NATO terus memperkuat kehadirannya di Eropa Timur, dan kini ditambah isu penempatan kembali bom B61 di Inggris, mempertebal asumsi Rusia bahwa Barat tengah membentuk perimeter strategis di sekelilingnya.
Bahkan jika belum ada bukti fisik keterlibatan senjata nuklir secara langsung dalam konflik Ukraina, sinyal ini sudah cukup untuk memicu respons ekstrem dari Moskow.
Dari sudut pandang Rusia, ini bukan sekadar soal militer, melainkan eksistensial. Moskow memandang upaya AS dan sekutunya sebagai bagian dari strategi “containment” atau pengepungan diplomatik-militer, serupa dengan yang pernah terjadi semasa Perang Dingin.
Yang membedakan adalah kali ini ada ketidakpastian dari sisi norma. Ketika batas antara ancaman militer konvensional dan nuklir semakin kabur akibat doktrin yang diperlonggar, maka risiko miskalkulasi semakin tinggi.
Sumber dari Washington menyatakan bahwa strategi AS saat ini adalah “strategi penahanan yang diperkuat”, dengan fokus pada deterensi nuklir agar Rusia tidak melangkah lebih jauh di Ukraina maupun wilayah Baltik. Tapi bagi Rusia, langkah itu justru bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Barat siap mengaktifkan konfrontasi penuh.
Situasi ini menjadi dilematis bagi negara-negara sekutu NATO lainnya, khususnya yang berada di jalur depan seperti Polandia, Latvia, dan Lituania. Mereka berada dalam posisi genting terjepit antara kebijakan penahanan AS dan kemungkinan dibalas oleh Rusia sebagai bagian dari target serangan strategis.
Pengamat pertahanan dari Center for Strategic Studies Moskow menyebut bahwa skenario penempatan senjata nuklir di Inggris akan membuka kembali “paradoks stabilitas-instabilitas”.
Artinya, semakin kuat penangkalan strategis dengan nuklir, semakin besar kemungkinan terjadi konflik konvensional berskala besar karena masing-masing pihak merasa aman dalam bayang-bayang senjata pemusnah massal.
Pada akhirnya, konflik ini bukan hanya tentang Ukraina, tetapi tentang bagaimana dunia mendefinisikan kembali batas-batas keamanan global di abad ke-21.
Dengan dua negara pemilik senjata nuklir terbesar di dunia kembali bersitegang, pertanyaan utamanya bukan lagi apakah akan terjadi benturan, melainkan sejauh mana masing-masing pihak akan mendorong batas sebelum dunia masuk ke jurang yang lebih dalam.

0Komentar