Lebih dari 7 juta pemuda Indonesia menganggur. Jika tak ada reformasi besar di sektor kerja dan pendidikan, bonus demografi bisa jadi bencana. (Ilustrasi: Apluswire/Rst)

Meskipun pemerintah gencar mempromosikan visi “generasi emas”, fakta di lapangan menunjukkan lebih dari 7 juta pemuda Indonesia masih menganggur. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi yang mengkhawatirkan, dengan tingkat pengangguran pemuda dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Vietnam.

Tingkat pengangguran nasional memang hanya sekitar 5 persen, tetapi di balik angka itu tersembunyi fakta lain. sebagian besar pekerjaan yang tersedia tidak stabil, bergaji rendah, dan didominasi sektor informal, yang menyerap 56 persen pekerja muda. 

Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan besar: bisakah pemerintahan Prabowo Subianto membalik keadaan dan menjadikan bonus demografi sebagai keuntungan, atau justru Indonesia kehilangan generasi produktifnya?


Pekerjaan Layak Tidak Banyak, Jadi Orang Beralih ke Sektor Informal

Para ekonom menilai, masalah ini bukan semata akibat perlambatan ekonomi global. Struktur pasar tenaga kerja Indonesia menjadi salah satu biang keladi. 

Adinova Fauri, ekonom dari CSIS Indonesia, menegaskan “Pekerjaan yang layak juga tidak banyak tersedia, jadi orang beralih ke sektor informal yang produktivitas dan perlindungannya lebih rendah.”

Di satu sisi, Indonesia memiliki potensi besar dengan 44 juta anak muda usia produktif, hampir setara populasi Spanyol. Namun, potensi itu berubah menjadi beban ketika lapangan kerja berkualitas minim.

Tiga faktor utama kerap disebut para analis adalah yang Pertama, regulasi ketenagakerjaan yang kaku. Aturan perekrutan dan pemutusan hubungan kerja yang kompleks membuat perusahaan enggan membuka banyak posisi formal. 

Kedua, upah yang rendah, mendorong banyak lulusan berkualitas memilih menunggu kesempatan lebih baik, alih-alih menerima pekerjaan bergaji minim. 

Ketiga, kesenjangan keterampilan pendidikan formal dan pelatihan vokasi di Indonesia dinilai belum mampu mengikuti kebutuhan industri modern, terutama di sektor teknologi dan manufaktur.

Daerah di luar Jawa menghadapi tantangan lebih berat. Terbatasnya infrastruktur dan akses ke pusat industri menyebabkan kesempatan kerja formal semakin langka, mendorong arus urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. 

Namun, pasar kerja perkotaan pun sudah padat, memperburuk persaingan dan mendorong lebih banyak pemuda ke pekerjaan kasual atau sektor jasa informal.


Pesimisme Anak Muda

Kondisi pasar kerja yang stagnan memicu rasa frustrasi di kalangan pemuda. Survei Yusof Ishak Institute (ISEAS) menunjukkan, hanya 58 persen anak muda Indonesia yang optimistis terhadap rencana ekonomi pemerintah. Angka ini jauh tertinggal dari rata-rata 75 persen di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Di media sosial, keresahan ini berwujud dalam tren tagar “#KaburAjaDulu” dalam beberapa waktu yang lalu, yang mencerminkan keinginan sebagian anak muda untuk bekerja atau melanjutkan studi di luar negeri. Fenomena ini menjadi tanda meningkatnya brain drain, yang berpotensi mengurangi talenta dalam negeri dan melemahkan daya saing jangka panjang.

Seorang lulusan baru universitas di Bandung mengungkapkan alasannya memilih mencari pekerjaan ke luar negeri “Gajinya lebih layak, ada jaminan sosial, dan peluang kariernya jelas. Di sini, pilihan paling cepat hanya kerja serabutan atau kontrak pendek dengan gaji pas-pasan.”

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Jika semakin banyak anak muda berpendidikan meninggalkan Indonesia, bukan hanya pasar kerja domestik yang tertekan, tapi juga kualitas SDM yang tersisa bisa tertinggal dari negara pesaing.


Diplomasi Dagang, Stimulus, dan Taruhan Besar Prabowo

Menyadari tantangan ini, Presiden Prabowo Subianto menempatkan isu ketenagakerjaan sebagai prioritas. Pemerintah membentuk gugus tugas nasional untuk penciptaan lapangan kerja dan meluncurkan paket stimulus senilai 1,5 miliar dolar AS untuk menjaga daya beli dan mendorong investasi domestik.

Namun, langkah paling strategis adalah melalui diplomasi dagang. Pada Juli 2025, Indonesia mencapai kesepakatan perdagangan dengan Presiden AS Donald Trump yang memangkas tarif ekspor barang Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. 

Pemerintah berharap, penurunan tarif ini mendorong investasi di sektor manufaktur dan pertanian, sekaligus menyerap jutaan tenaga kerja baru.

Kesepakatan tersebut juga mencakup pemangkasan hambatan non-tarif, serta komitmen Indonesia untuk membeli berbagai produk AS, termasuk energi, pertanian, dan 50 pesawat Boeing. 

Pemerintah menyebutnya sebagai “era baru hubungan saling menguntungkan” yang dapat mendongkrak ekspor dan membuka peluang kerja.

Selain itu, Indonesia juga merampungkan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa. Perjanjian ini diharapkan membuka pasar ekspor baru, memberi ruang lebih besar bagi industri manufaktur lokal, dan memperluas peluang kerja.

Meski begitu, para ekonom mengingatkan, diplomasi dagang dan stimulus tidak cukup tanpa reformasi struktural di dalam negeri. 

Regulasi ketenagakerjaan yang terlalu protektif masih membuat perusahaan enggan merekrut secara masif. Upaya merevisi aturan ini kerap berhadapan dengan penolakan serikat pekerja yang khawatir hak-hak buruh tergerus.


Bonus Demografi atau Bom Waktu?

Ekonom Adinova Fauri menegaskan, “Kita tidak bisa hanya mengandalkan ekspor dan investasi. Tanpa reformasi pasar kerja dan pendidikan, bonus demografi bisa berubah jadi beban demografi.”

Kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi kunci. Tanpa tenaga kerja terampil, investasi baru berisiko hanya menciptakan pekerjaan di level rendah atau mengandalkan tenaga kerja asing untuk posisi penting. 

Pemerataan pembangunan juga mendesak. Tanpa memperkuat akses kerja di luar Jawa, urbanisasi berlebihan akan menambah tekanan pada pasar kerja kota besar.

Di sisi lain, tren brain drain melalui “#KaburAjaDulu” tidak bisa diabaikan. Jika semakin banyak talenta muda pergi, Indonesia berisiko kehilangan momentum untuk membangun basis SDM unggul.

Dengan lebih dari 7 juta pemuda menganggur, tekanan sosial meningkat. Pemerintah Prabowo menghadapi dilema besar dalam membuktikan janji penciptaan lapangan kerja, atau berhadapan dengan generasi yang kian kehilangan harapan.

Jadi apakah diplomasi dagang, stimulus fiskal, dan reformasi kebijakan cukup untuk menyelamatkan generasi mudanya? Atau, justru semakin banyak anak muda memilih mencari masa depan di luar negeri, meninggalkan janji bonus demografi sebagai mimpi yang tak terwujud?