Konflik antara Druze dan suku Badui di Suriah selatan memicu serangan Israel. Mengapa negara Yahudi itu membela minoritas Muslim dalam perang sektarian? (Getty Images)

Konflik bersenjata antara komunitas Druze dan suku Badui Arab di Suriah Selatan meletus lagi. Namun kali ini, ada yang berbeda. Untuk pertama kalinya sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Israel secara terbuka melancarkan serangan udara ke wilayah Suriah bukan untuk menyerang Iran atau Hizbullah seperti biasanya, melainkan untuk membela sekte minoritas Muslim: Druze.

Tanggal 15 Juli 2025, jet-jet tempur Israel meluncurkan rudal ke kota Sweida, tepat saat pasukan keamanan Suriah bergerak masuk ke wilayah konflik antara Druze dan kelompok bersenjata dari suku Badui Sunni. 

Pemerintah Suriah menyebut serangan ini sebagai "agresi terang-terangan". Tapi Israel bersikukuh bahwa mereka hanya melindungi saudara-saudara Druze mereka di Suriah, yang terancam dalam konflik sektarian brutal.

“Israel berkomitmen mencegah bahaya untuk komunitas Druze di Suriah karena aliansi persaudaraan yang erat dengan warga Druze kami di Israel,” demikian pernyataan resmi pemerintah Israel dikutip Times of Israel. Pernyataan yang mengundang lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Kenapa negara Yahudi seperti Israel begitu sigap membela komunitas Muslim di Suriah? Apa istimewanya Druze, dan mengapa mereka menjadi pusat perhatian dalam gejolak geopolitik kawasan?


Api Lama yang Tak Pernah Padam

Konflik antara komunitas Druze dan suku Badui Arab bukan hal baru. Namun ketegangan kali ini dipicu oleh satu insiden krusial: penculikan seorang pedagang Druze oleh kelompok bersenjata Badui di sebuah pos pemeriksaan pada 13 Juli. 

Pembalasan pun menyusul cepat mulai dari penculikan balik, pertempuran bersenjata, hingga pembantaian di desa-desa.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, lebih dari 50 orang tewas, mayoritas adalah warga sipil. Sejak itu, angka korban terus bertambah. 

Organisasi pemantau konflik lokal memperkirakan lebih dari 300 orang telah tewas hingga pertengahan Juli, termasuk anggota milisi Druze, pasukan keamanan Suriah, dan masyarakat sipil dari kedua belah pihak.

Provinsi Sweida atau yang dikenal juga sebagai Jabal al-Duruz sejak lama menjadi rumah bagi lebih dari 700.000 warga Druze, menjadikannya kantong komunitas terbesar di dunia. 

Di sisi lain, suku Badui Sunni mendominasi wilayah padang pasir yang mengelilingi Sweida, dengan sejarah panjang persaingan atas tanah, air, dan kekuasaan lokal.

Kekosongan keamanan pasca-runtuhnya Assad pada Desember 2024 memperparah ketegangan itu. Pemerintah baru di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa, yang disebut-sebut dekat dengan kelompok Islamis Sunni, gagal membangun otoritas di kawasan selatan. Wilayah-wilayah seperti Sweida pun jatuh ke tangan milisi lokal.

“Kami tidak percaya lagi pada Damaskus. Mereka tidak pernah benar-benar melindungi kami, bahkan sekarang mereka mendukung kelompok takfiri (ekstremis),” ujar Majid al-Atrash, komandan milisi lokal Druze, kepada stasiun berita Orient News.


Siapa Druze dan Mengapa Mereka Unik?

Druze adalah kelompok etnoreligius yang muncul pada abad ke-11 di Mesir, berakar dari Syiah Ismailiyah namun berkembang menjadi kepercayaan tersendiri yang sangat tertutup. Mereka tidak menerima mualaf, tidak mengizinkan anggotanya keluar dari agama, dan memiliki kitab suci sendiri yang dirahasiakan dari publik.

Para tetua dan pelayat menghadiri pemakaman Guevara Ibrahim, 11 tahun, pada 29 Juli 2024. Ia terbunuh dalam serangan di kota Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.  (Jalaa Marey/AFP)

Saat ini, populasi Druze di dunia diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa. Komunitas terbesar berada di Suriah (sekitar 700.000), disusul Lebanon (300.000), Israel (150.000), dan Yordania. 

Tapi yang membuat mereka berbeda bukan cuma ajaran agamanya yang eksklusif, tapi juga bagaimana mereka bersikap secara politik.

“Di tiap negara tempat mereka tinggal, komunitas Druze punya pendekatan politik berbeda. Di Suriah dan Lebanon, mereka cenderung pro-Palestina dan anti-Zionis. Tapi di Israel, mereka adalah sekutu militer yang loyal,” kata Dr. Amal Saadeh, pakar minoritas Timur Tengah di Universitas Haifa.

Di Israel, Druze adalah satu-satunya kelompok Arab yang menjalani wajib militer. Mereka bahkan punya satuan tempur sendiri di Pasukan Pertahanan Israel (IDF), dan banyak yang mencapai pangkat tinggi. Sejak 1948, mereka berperang di pihak Zionis dalam semua perang Arab-Israel.

Hubungan ini dikenal sebagai “Perjanjian Darah”, warisan dari kesepakatan tak tertulis antara para pemuka Druze dan elite Zionis. Namun loyalitas ini pernah retak ketika Israel memberlakukan Undang-Undang Negara Yahudi pada 2018, yang menetapkan negara itu hanya untuk bangsa Yahudi.

“Undang-undang itu menjadikan kami warga kelas dua, meski kami telah mengorbankan darah dan jiwa demi negara ini,” kata Mowafaq Tarif, pemuka spiritual Druze Israel saat memimpin demonstrasi besar-besaran pada 2018.

Israel Serang Suriah, Bukan untuk Iran?

Biasanya, serangan udara Israel ke Suriah menyasar pangkalan militer Iran atau Hizbullah di dekat Damaskus atau Dataran Tinggi Golan. Tapi serangan kali ini beda. Targetnya adalah pasukan keamanan Suriah sendiri, yang menurut Israel “berniat menyerang komunitas Druze”.

Jet tempur Israel dilaporkan menghantam kompleks militer di Damaskus, sehari setelah operasi di Sweida. Pemerintah Suriah menyebut serangan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara. (EPA)

Pada 16 Juli, sehari setelah serangan di Sweida, Israel kembali melancarkan serangan ke Damaskus, menargetkan kompleks Kementerian Pertahanan dan menewaskan sedikitnya 20 orang. Pemerintah Suriah menyebutnya sebagai “provokasi yang disengaja dan pelanggaran kedaulatan.”

Namun menurut juru bicara pemerintah Israel, ini bukan sekadar urusan Druze.

“Kami tidak akan membiarkan Suriah selatan jatuh ke tangan milisi ekstremis atau pemerintahan yang membahayakan stabilitas kawasan,” kata Brigadir Jenderal Daniel Hagari kepada Channel 12.

Dalam bahasa lain, Israel ingin mempertahankan zona penyangga di perbatasan Golan, memastikan tidak ada kelompok Islamis baik itu ISIS maupun milisi pro-Iran yang menguasai wilayah itu.

“Israel menggunakan isu Druze sebagai legitimasi moral untuk intervensi militer. Tapi tujuan utamanya tetap geopolitik: kendali atas Golan dan pengaruh atas pemerintahan baru Suriah,” ujar Hassan Nasr, analis keamanan regional di Al-Araby Al-Jadeed.


Solidaritas atau Manipulasi?

Tak semua pihak percaya bahwa Israel tulus dalam membantu Druze. Di Lebanon, tokoh oposisi Walid Jumblatt yang juga berasal dari komunitas Druze menyebut bantuan Israel sebagai “usaha memecah-belah komunitas Druze regional.”

“Israel ingin menciptakan sekat antara Druze Israel yang pro-Zionis dan Druze Suriah yang anti-Zionis. Ini adalah bentuk kolonialisme baru,” katanya dalam wawancara dengan LBCI.

Bahkan di kalangan Druze sendiri, muncul kekhawatiran bahwa konflik ini akan memperdalam polarisasi internal. Druze di Suriah melihat Druze Israel dengan curiga, sebaliknya Druze Israel mulai menganggap kerabat mereka di Suriah sebagai ancaman ideologis.

Ini bukan hanya soal loyalitas agama atau etnis, tapi soal posisi politik di tengah dinamika regional yang makin tidak stabil.


Damaskus Lemah, Dunia Bungkam

Sejak kejatuhan Assad, Suriah belum benar-benar pulih. Pemerintahan Presiden Ahmed al-Sharaa masih berjuang meredam konflik internal dan meraih legitimasi internasional. Namun respons terhadap serangan Israel dinilai lemah dan tanpa strategi jangka panjang.

Pemandangan udara menunjukkan seorang pria Suriah melambaikan bendera Suriah era kemerdekaan di Lapangan Umayyah di pusat Damaskus pada tanggal 11 Desember 2024 (AFP/BAKR ALKASEM)

“Rezim baru di Suriah masih terlalu lemah untuk melawan Israel secara militer. Bahkan mereka tidak bisa mengamankan kota-kota kecil seperti Sweida,” kata Dr. Lina Khatib dari Chatham House.

Sementara itu, reaksi dunia terbelah. Amerika Serikat menyatakan “keprihatinan mendalam” atas eskalasi di Suwayda tapi enggan menyalahkan Israel. Liga Arab mengecam keras serangan udara sebagai pelanggaran hukum internasional. 

PBB, melalui Sekjen Antonio Guterres, menyebut konflik ini sebagai “ancaman besar terhadap stabilitas kawasan.”

Namun hingga kini, belum ada upaya konkret internasional untuk menghentikan kekerasan atau menengahi konflik. Gencatan senjata yang diupayakan lewat jalur diplomatik belum membuahkan hasil.


Konflik yang Masih Akan Lama

Tanpa rekonsiliasi menyeluruh dan jaminan keamanan bagi minoritas seperti Druze, kekerasan sektarian di Suriah Selatan diprediksi akan terus berlangsung. Apalagi ketika kekuatan regional seperti Israel mulai terlibat langsung.

Pemerintahan al-Sharaa menghadapi dilema besar: jika terlalu lunak terhadap milisi Sunni, minoritas seperti Druze akan merasa dikhianati. Jika terlalu keras, ia akan kehilangan dukungan dari kekuatan Islamis yang membantunya naik ke tampuk kekuasaan.

Sementara itu, komunitas Druze berada di posisi paling genting: menjadi minoritas yang dibenci di negara sendiri, dan dijadikan pion dalam permainan geopolitik oleh negara tetangga.

Konflik di Sweida bukan sekadar perang suku atau konflik lokal. Ia adalah cermin dari betapa rapuhnya tatanan pascaperang Suriah, di mana garis etnis, agama, dan aliansi politik saling berpotongan. Dan dalam situasi seperti itu, tidak ada pihak yang benar-benar netral termasuk Israel.