Indonesia Airlines, maskapai asal Singapura, belum bisa beroperasi di RI. Sertifikat belum terverifikasi dan modal tipis jadi sorotan regulator. (UssFeed)

Rencana kehadiran Indonesia Airlines sebagai pemain baru di industri penerbangan Tanah Air terancam mandek. Maskapai yang berbasis di Singapura itu belum bisa beroperasi secara komersial di Indonesia karena status sertifikat standarnya masih belum terverifikasi. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan soal kelayakan dan keseriusan perusahaan yang mengklaim akan membawa layanan premium berjadwal ke 48 kota di 30 negara dalam lima tahun pertama operasinya.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Lukman F. Laisa, menegaskan bahwa seluruh tahapan perizinan belum rampung. “Status belum terverifikasi berarti proses belum selesai. Belum ada kepastian operasional sampai seluruh tahapan dipenuhi sesuai ketentuan,” ujarnya saat ditemui di Jakarta. 

Ia juga menekankan bahwa keberadaan sertifikat yang sudah dipegang maskapai tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menjalankan usaha penerbangan.

Indonesia Airlines sejatinya sudah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar angkutan udara niaga berjadwal. 

Namun dokumen itu belum sah karena belum terverifikasi melalui sistem Online Single Submission (OSS) dan Sistem Informasi Perizinan Terpadu Angkutan Udara (SIPTAU). 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5/2021 yang diperbarui PP No. 28/2025, maskapai wajib memenuhi sejumlah syarat tambahan sebelum melanjutkan proses Air Operator Certificate (AOC). 

Persyaratan tersebut antara lain kepemilikan minimal satu pesawat dan penguasaan dua pesawat lainnya, serta penyerahan rencana usaha lengkap berisi proyeksi keuangan dan rute lima tahun ke depan.

Iskandar, pengusaha asal Aceh yang menjadi CEO sekaligus pendiri, mengklaim maskapainya siap menghadirkan layanan premium dengan 20 armada, termasuk Airbus A350-900 dan Boeing 787-9. 

“Kami mempersembahkan maskapai penerbangan komersial berjadwal dengan layanan premium di bawah merek INDONESIA AIRLINES (INA),” katanya dalam pernyataan resmi. 

Namun klaim itu memicu keraguan, terutama setelah laporan keuangan yang beredar menunjukkan modal disetor perusahaan hanya sekitar Rp326 juta—angka yang dinilai mustahil menopang operasional pesawat berbadan lebar yang membutuhkan dana operasional hingga ratusan miliar rupiah per unit per tahun.

Pengamat penerbangan menilai rencana agresif Indonesia Airlines lebih banyak “gimmick” ketimbang rencana bisnis realistis. Gatot Raharjo, analis independen sektor transportasi udara, menyebut rencana mengoperasikan 20 armada jarak jauh dengan modal sangat terbatas sulit dijalankan. 

“Biaya perawatan pesawat wide-body seperti A350 atau B787 itu sangat tinggi, bahkan maskapai mapan pun harus menyiapkan modal besar. Tanpa kepastian pendanaan, sulit membayangkan mereka bisa bertahan,” ujarnya.

Selain masalah finansial, penggunaan nama “Indonesia Airlines” juga menuai sorotan. Beberapa pakar menilai pemakaian nama negara oleh perusahaan berbasis di luar negeri berpotensi menimbulkan polemik, baik secara hukum maupun etika. 

Dalam konteks regulasi, maskapai asing yang ingin masuk pasar Indonesia harus terlebih dahulu mengajukan izin rute melalui Ditjen Perhubungan Udara sebelum memasarkan layanan.

Kemenhub menegaskan pihaknya tidak akan memberikan toleransi terkait aspek keselamatan dan kepatuhan hukum. 

“Kami terbuka terhadap inisiatif pendirian maskapai baru, tetapi setiap prosesnya harus dilalui sesuai ketentuan. Transparansi informasi juga penting untuk menjaga kepercayaan publik dan iklim investasi yang sehat,” kata Lukman. 

Ia menegaskan bahwa tahapan perizinan bukan sekadar formalitas administratif, tetapi menyangkut aspek keselamatan dan kelayakan finansial yang langsung berdampak pada penumpang.

Indonesia Airlines sendiri berencana fokus pada rute internasional, mengikuti tren pertumbuhan penumpang luar negeri yang naik 19% pada 2024, berbanding terbalik dengan pasar domestik yang turun 0,6%. 

Namun, tanpa AOC dan verifikasi dokumen, maskapai dilarang menjual tiket maupun melakukan penerbangan komersial. Setiap pelanggaran bisa berujung sanksi berat, mulai dari pencabutan izin usaha hingga denda miliaran rupiah sesuai ketentuan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan.

Dengan kondisi perizinan yang tersendat, banyak pihak menilai ambisi Indonesia Airlines masih jauh dari kenyataan. Tanpa modal yang memadai, kepatuhan penuh terhadap regulasi, dan proses sertifikasi yang ketat, maskapai ini berisiko sekadar menjadi proyek di atas kertas. 

Sementara Kemenhub memastikan proses evaluasi akan terus berjalan, publik dan investor masih menunggu: apakah Indonesia Airlines benar-benar akan lepas landas, atau justru terhenti sebelum mencapai landasan.