Pertumbuhan ekonomi China 5,2% pada Q2 2025 menyimpan masalah struktural: deflasi, krisis kas, dan gelombang PHK di sektor industri. (Foto: REUTERS)

Ekonomi China tumbuh 5,2% pada kuartal kedua 2025 melebihi ekspektasi pasar dan menegaskan posisi Negeri Tirai Bambu sebagai salah satu kekuatan utama dunia di tengah gempuran tarif Amerika Serikat (AS) dan ketegangan perdagangan global.

Angka ini dirilis oleh Biro Statistik Nasional China (NBS) pada Juli 2025, memperlihatkan ketangguhan ekonomi yang masih didominasi sektor ekspor dan manufaktur.
 

Namun, di balik angka pertumbuhan yang mengesankan, sejumlah indikator menunjukkan retakan yang semakin nyata. 

Lonjakan keterlambatan pembayaran, tekanan deflasi di tingkat produsen, dan pengetatan likuiditas di berbagai sektor strategis menjadi sinyal bahwa ekonomi China sedang berjalan di atas fondasi yang rapuh. 

Dampaknya bukan hanya dirasakan oleh korporasi raksasa milik negara (SOE), tetapi juga menyentuh lapisan bawah: para pekerja di pabrik dan kawasan industri.


Ketangguhan yang Mulai Diuji

Mesin ekonomi China memang belum mati. Pertumbuhan 5,2% pada kuartal II/2025 menunjukkan bahwa sektor ekspor dan industri pengolahan tetap menjadi tulang punggung perekonomian, bahkan ketika tekanan eksternal makin intens. 

Volume ekspor masih naik 3,8% (yoy) hingga Mei 2025, menurut NBS, meski diliputi oleh tarif tinggi dari Washington dan ketegangan geopolitik kawasan.

Namun, data lapangan memperlihatkan dinamika yang tidak secerah headline. Keterlambatan pembayaran barometer penting bagi kesehatan rantai pasok dan arus kas perusahaan melonjak tajam. 

Laporan China Federation of Logistics and Purchasing (CFLP) menunjukkan sektor komputer dan elektronik mengalami tunggakan pembayaran hingga 16,6% per Mei 2025. Industri otomotif tak kalah parah, dengan kenaikan 11,2%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9%.
 

Bahkan sektor utilitas yang relatif stabil pun mengalami tekanan berat. Tunggakan pembayaran di sektor air melonjak 17,1%, sementara gas naik 11,1%. Likuiditas ketat di sektor ini mengancam rantai pasok energi nasional.

“Pertumbuhan China memang solid, tapi tekanan kas di sektor utilitas dan teknologi bisa menjadi bom waktu,” ujar Dr. Li Wei, ekonom senior di People’s Bank of China (PBOC) kepada South China Morning Post, Juli 2025.


Utilitas dan Manufaktur di Ambang Krisis

Sektor energi dan utilitas, yang menjadi tulang punggung industri berat China, mulai goyah. Guangzhou Energy Co., misalnya, mengalami kenaikan tunggakan pembayaran industri sebesar 20% pada kuartal II/2025.
   
Untuk menjaga operasional, pemerintah menyuntikkan dana darurat 2 miliar yuan pada April lalu—langkah yang mencerminkan betapa seriusnya krisis ini.

Kondisi serupa juga terjadi di sektor manufaktur. Perusahaan teknologi seperti Shenzhen TechCom mencatat kenaikan piutang tak tertagih hingga 18%. 

Konsekuensinya, kapasitas produksi dipangkas 10% dan ribuan pekerja dirumahkan. Di sektor otomotif, China Auto Supply Co. (CASC) mengalami kombinasi tekanan: tunggakan naik 12%, permintaan ekspor ke AS turun 5%. Hasilnya, perusahaan terpaksa melakukan restrukturisasi utang dan memangkas 5% tenaga kerja.

“Deflasi dan ketegangan perdagangan memaksa perusahaan menekan margin, dan itu berdampak langsung ke pekerja,” kata Prof. Zhang Ming dari Universitas Tsinghua dalam Forum Ekonomi Beijing, Juni 2025.

Deflasi semakin menekan profitabilitas korporasi. Indeks Harga Produsen (PPI) tercatat -1,3% (yoy) pada Juni 2025 penurunan beruntun yang menjadi cermin tekanan harga di tingkat pabrik.


Perang Tarif dan Persaingan Regional yang Ketat

Sejak 2023, tarif AS terhadap produk China terus meningkat. Di sisi lain, pembatasan teknologi dan gangguan rantai pasok mempersempit ruang gerak pelaku industri ekspor. 

Menghadapi tekanan tarif dan pembatasan teknologi dari AS, China mulai mengalihkan fokus ekspornya ke kawasan ASEAN, Afrika, dan Uni Eropa. (Liputan6/Angga Yuniar)

Akibatnya, China memperluas pasar ekspornya lewat program Global Partnership Initiative yang diluncurkan Kementerian Perdagangan pada Mei 2025. Fokus utama diarahkan ke ASEAN, Afrika, dan Uni Eropa.

Namun, efek dari diversifikasi ini masih terbatas. AS tetap menyumbang 17% dari total ekspor China pada 2024, menjadikannya pasar vital yang sulit tergantikan dalam waktu singkat.

“Persaingan ekspor makin ketat. China harus berhadapan dengan Vietnam dan India yang menawarkan ongkos produksi lebih murah,” ujar John Kapoor, analis senior IMF Asia Timur dalam laporan Asia Pacific Outlook 2025.

Di tengah tekanan tersebut, perusahaan China terpaksa memotong harga untuk mempertahankan volume, yang berdampak langsung ke tekanan margin dan deflasi.

Rasio utang korporasi terhadap PDB China juga mengkhawatirkan, menembus 172% pada awal 2025. Sebagian besar beban utang ditanggung sektor utilitas dan manufaktur—sektor yang kini justru menghadapi krisis arus kas.


Pekerja Jadi Korban Utama

Tekanan ekonomi ini paling terasa di tingkat akar rumput. Di Shenzhen, ribuan buruh pabrik melaporkan pemotongan jam kerja hingga 20% sepanjang paruh pertama 2025. Di sektor otomotif, pemangkasan tenaga kerja oleh CASC memicu aksi unjuk rasa skala kecil di beberapa kota industri.

“Yang menanggung beban utama dari efisiensi biaya perusahaan adalah para pekerja,” kata Prof. Zhang Ming. “Kalau tidak diimbangi perlindungan sosial, ketimpangan bisa melebar dan memicu instabilitas.”

Gelombang PHK dan pemotongan jam kerja telah menjadi realita baru di sektor padat karya. Bagi jutaan pekerja migran domestik—yang menjadi tulang punggung manufaktur China—ancaman ketidakpastian ekonomi semakin nyata.


Pemerintah Tancap Gas, Tapi Efektivitas Diragukan

Pemerintah China bergerak cepat. Pada Maret 2025, Kementerian Keuangan menggulirkan stimulus fiskal sebesar 500 miliar yuan, difokuskan pada sektor utilitas dan infrastruktur energi. Langkah ini diharapkan memperkuat likuiditas dan menahan laju penurunan produksi.

Selain itu, Komisi Pengawasan dan Administrasi Aset Milik Negara (SASAC) meluncurkan reformasi SOE pada Juni 2025. Fokus utamanya adalah efisiensi manajemen, restrukturisasi utang, dan pengurangan ketergantungan terhadap subsidi.

Namun, banyak pihak skeptis terhadap efektivitas kebijakan ini.

“Stimulus jangka pendek hanya mengulur waktu. Tanpa reformasi struktural yang menyentuh akar persoalan—utang dan ketergantungan ekspor—masalah akan terus berulang,” tegas Dr. Li Wei.

Reformasi SOE juga menghadapi tantangan internal: banyak perusahaan negara masih memiliki struktur birokratis yang tidak responsif terhadap perubahan pasar.


Model Ekonomi China Mulai Kedaluwarsa?

Pertumbuhan 5,2% boleh jadi menjadi headline yang menenangkan pasar. Namun realitas di balik angka menunjukkan bahwa China sedang memasuki masa transisi ekonomi yang menantang. 

Sektor manufaktur China kembali masuk zona kontraksi pada Mei–Juni, menandakan tekanan dari permintaan global yang melemah. Sementara itu, sektor jasa masih tumbuh namun mulai kehilangan momentum. (Flickr)

Ketergantungan terhadap ekspor murah dan industri padat karya mulai mencapai batas efektivitasnya. Di sisi lain, upaya menggeser fokus ke konsumsi domestik dan sektor jasa membutuhkan waktu dan reformasi mendalam.
 
“Transisi dari model ekspor ke ekonomi berbasis konsumsi adalah proses bertahap. Tanpa manajemen utang yang baik, potensi krisis akan selalu menghantui,” kata John Kapoor dari IMF.

Untuk sementara, sektor manufaktur dan utilitas akan tetap jadi titik tekan. Dan selama tekanan ini belum mereda, pekerja tetap menjadi pihak yang paling terdampak. Gelombang protes, keresahan sosial, hingga turunnya konsumsi domestik bisa menjadi konsekuensi lanjutan yang harus diwaspadai pemerintah China.

China kembali menunjukkan kemampuannya mencetak angka pertumbuhan tinggi di tengah tekanan global. Tapi narasi “ketangguhan ekonomi” kini harus diimbangi dengan kewaspadaan terhadap risiko struktural yang sedang membayangi.

Di balik gemerlap angka PDB, tersimpan persoalan laten: deflasi, krisis kas di sektor strategis, dan gejolak sosial akibat pemangkasan tenaga kerja. Jika tidak segera diantisipasi, semua ini bisa meletus menjadi krisis yang lebih besar.

Dalam konteks global, pelambatan China juga bisa berdampak luas, dari rantai pasok manufaktur global hingga dinamika harga komoditas.