![]() |
Pemerintah Indonesia melobi agar tarif ekspor turunan bijih nikel ke Amerika Serikat (AS) diturunkan menjadi 0%, di tengah kebijakan tarif 19% yang diumumkan Donald Trump. (Bloomberg/Andrey Rudakov) |
Pemerintah Indonesia tengah melakukan lobi intensif agar produk turunan bijih nikel mendapat tarif 0% ke Amerika Serikat (AS). Upaya ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump pada 16 Juli 2025 mengumumkan penurunan tarif impor produk Indonesia dari 32% menjadi 19%, disertai akses penuh bagi produk AS ke pasar Indonesia tanpa tarif.
Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso, tim Indonesia saat ini aktif melobi di Washington D.C. agar turunan nikel, terutama baterai kendaraan listrik dan stainless steel, dikecualikan dari tarif 19%.
Selain nikel, lobi juga mencakup komoditas unggulan lain seperti crude palm oil (CPO), kopi, dan kakao yang dinilai krusial bagi pasar AS karena tidak bisa diproduksi secara lokal.
“Itu kita nego supaya tarif-nya nol persen. Banyak produknya sedang kita negokan mulai CPO, kopi, kakao sampai nikel ada daftar produknya cukup banyak,” ujar Susiwijono, menegaskan ruang negosiasi masih terbuka karena AS sangat bergantung pada pasokan Indonesia.
Kesepakatan dagang yang diumumkan Trump sendiri berisi empat pilar utama, termasuk penghapusan hambatan non-tarif, komitmen pembelian produk AS seperti energi senilai US$15 miliar dan pesawat Boeing, serta peningkatan investasi bilateral.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut akses penuh ke Indonesia sebagai “bagian terbesar dari kesepakatan,” sekaligus menyoroti potensi besar tembaga dan material lain asal Indonesia, termasuk tanah jarang.
“Kami tidak akan membayar tarif. Jadi mereka memberi kami akses ke Indonesia, yang tidak pernah kami miliki. Itu mungkin bagian terbesar dari kesepakatan itu,” kata Trump.
Meski tembaga juga disinggung, pemerintah Indonesia tidak melobi keringanan tarif untuk komoditas itu.
AS berencana menerapkan tarif 50% untuk impor tembaga olahan mulai 1 Agustus 2025, termasuk kabel, lembaran, tabung, dan pelat, namun Indonesia menilai dampaknya terbatas karena ekspor tembaga ke AS nyaris tidak ada.
“Selama ini memang tidak ada ekspornya ke Amerika Serikat,” kata Susiwijono.
Fokus pemerintah kini adalah memastikan turunan nikel dan produk strategis lain tidak terkena tarif 19%. Industri nikel Indonesia dinilai memiliki keunggulan kompetitif karena seluruh proses manufaktur dilakukan di dalam negeri, berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang banyak mengandalkan transhipment. Posisi ini disebut bisa menjadi argumen kuat untuk mendapatkan perlakuan tarif preferensial.
Jika lobi berhasil, ekspor baterai, stainless steel, dan produk hilir lainnya ke AS bisa melonjak tajam. Hal ini sekaligus diharapkan menarik investasi baru ke industri pengolahan mineral Indonesia yang tengah berkembang pesat.
Sebaliknya, jika negosiasi gagal, pemerintah membuka opsi mencari pasar alternatif seperti China dan Eropa untuk menyerap ekspor nikel.
Joint statement kesepakatan dagang Indonesia-AS saat ini sedang difinalisasi dan diperkirakan diumumkan dalam beberapa hari mendatang.
Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan bertemu langsung dengan Trump pada September-Oktober 2025 untuk memperkuat posisi negosiasi di level tertinggi. Pemerintah berharap keputusan soal tarif 0% dapat diketok sebelum kebijakan tarif tembaga AS berlaku pada awal Agustus.
“Masih ada ruang negosiasi di sana, ada beberapa produk kita yang sangat dibutuhkan AS,” kata Susiwijono, optimistis peluang tarif 0% tetap terbuka.
Pemerintah menargetkan keputusan final dapat tercapai sebelum pertemuan Prabowo dan Trump, agar ekspor produk hilir Indonesia bisa terdongkrak tanpa menunggu negosiasi putaran berikutnya.
0Komentar