Militer Israel mencegat kapal Handala yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza. Sebanyak 21 aktivis dan jurnalis internasional ditahan di laut internasional. (Anadolu)

Militer Israel mencegat kapal bantuan Handala yang membawa logistik ke Jalur Gaza. Kapal ini diorganisir oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC) dan mengangkut 21 aktivis dan jurnalis dari 12 negara, termasuk Australia, Prancis, Norwegia, Inggris, hingga Amerika Serikat.

Kapal dicegat di perairan internasional, sekitar 40–70 mil laut dari Gaza, menurut pernyataan resmi FFC. Sementara Israel bersikeras bahwa Handala memasuki zona maritim Gaza secara ilegal dan membahayakan keamanan. 

Insiden ini langsung memantik gelombang kecaman internasional, termasuk dari anggota parlemen Eropa dan tokoh politik Prancis.

Handala dilaporkan membawa bantuan berupa susu formula bayi, popok, makanan, dan obat-obatan seluruhnya tergolong logistik non-militer. Meski begitu, kapal dialihkan ke pelabuhan Israel dan seluruh penumpangnya kini dalam tahanan otoritas setempat. 

Kementerian Luar Negeri Israel menyebut aksi tersebut sebagai langkah untuk “mencegah pelanggaran hukum dan menghindari gangguan distribusi bantuan resmi.”

“Upaya menembus blokade secara sepihak sangat berbahaya dan melanggar hukum,” ujar juru bicara Kemenlu Israel dalam pernyataan resminya.

Namun, versi FFC berbeda. Koordinator FFC, Ann Wright, menyebut penahanan itu sebagai bentuk “pembajakan laut” oleh Israel dan pelanggaran terhadap hukum maritim internasional. “Israel tidak punya kewenangan hukum untuk menahan warga sipil internasional di perairan internasional,” tegasnya.

Sebelum dicegat, pasukan Israel disebut-sebut sempat memutus komunikasi dan mematikan kamera di kapal taktik yang juga terjadi pada insiden kapal Madleen bulan Juni lalu, yang saat itu membawa 12 aktivis termasuk Greta Thunberg.

Australia sudah mengonfirmasi bahwa dua warganya termasuk dalam rombongan Handala. Pemerintah setempat menyatakan telah menawarkan bantuan konsuler. Sementara tokoh sayap kiri Prancis, Jean-Luc Mélenchon, menyebut tindakan Israel sebagai bentuk “penculikan terhadap warga sipil.”

FFC menyebut insiden ini adalah kali ketiga kapal mereka dicegat oleh Israel sepanjang 2025. Sebelumnya, kapal Conscience dibom oleh drone di perairan Eropa, sementara kapal Madleen dicegat pada Juni, sekitar 185 km barat Gaza.

PBB dan sejumlah LSM internasional menolak sistem distribusi bantuan baru yang didukung Israel dan AS, yang disebut melalui jalur Gaza Humanitarian Foundation. Mereka menilai sistem ini melanggar prinsip netralitas, imparsialitas, dan independensi dalam bantuan kemanusiaan.

Sejak 2 Maret 2025, Israel menghentikan total pengiriman bantuan ke Gaza dan baru mulai membuka kembali koridor bantuan terbatas setelah tekanan internasional meningkat. Hingga akhir Juli ini, lebih dari 59.676 orang tewas di Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.

Di tengah krisis pangan yang terus memburuk, FFC menyebut bahwa pembatasan Israel telah menyebabkan lebih dari 127 kematian akibat gizi buruk, khususnya pada anak-anak. Aktivis dalam kapal Handala mengaku siap melakukan mogok makan jika terus ditahan tanpa alasan hukum yang jelas.

“Ini bukan sekadar soal satu kapal. Ini soal akses kemanusiaan yang terus dibungkam,” ujar seorang aktivis asal Norwegia dalam video yang beredar sebelum kapal disergap.

Israel menegaskan bahwa setiap bantuan harus melalui jalur yang telah ditetapkan demi mencegah penyelundupan senjata oleh Hamas. Blokade laut terhadap Gaza sendiri sudah berlaku sejak 2007, ketika Hamas mengambil alih wilayah tersebut dari Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah.

Namun dengan meningkatnya upaya internasional untuk menembus blokade dan membongkar narasi “bantuan resmi versi Israel”, tensi diplomatik tampaknya belum akan mereda. Handala mungkin hanya satu kapal kecil, tapi muatannya penuh pesan: Gaza belum dilupakan.