Sejumlah pesawat milik maskapai Garuda Indonesia terparkir di areal Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu. (Antara/Lucky R./Rei/kye - pri)

Maskapai nasional Garuda Indonesia akhirnya buka suara terkait rencana pembelian 50 unit pesawat Boeing sebagai bagian dari kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 15 Juli 2025. 

Meski jumlah pesawat sudah diumumkan ke publik, manajemen Garuda menegaskan bahwa negosiasi detail, termasuk jenis pesawat, jadwal pengiriman, hingga sumber pembiayaan, masih terus berjalan.

Presiden Direktur Garuda Indonesia, Wamildan Tsani, menyebut tahun 2026 akan menjadi momen krusial bagi kebangkitan kinerja Garuda. Ia optimistis bahwa penambahan armada secara bertahap mulai tahun depan akan memperkuat posisi Garuda di tengah pasar aviasi yang makin kompetitif. 

"Kami menargetkan bisa mengoperasikan 100 pesawat sampai akhir 2025, dan pembelian Boeing ini adalah bagian dari strategi jangka panjang menuju armada 120 unit di tahun 2030," ujar Wamildan.

Rencana pembelian 50 unit pesawat Boeing yang sebagian besar disebut akan berjenis Boeing 777 muncul di tengah restrukturisasi besar-besaran Garuda pasca-krisis finansial yang menghantam maskapai ini sejak pandemi. 

Pada puncaknya di 2019, Garuda memiliki 144 armada, namun per Juni 2025 hanya tersisa 38 unit Boeing 737-800 yang aktif. Dengan kata lain, ekspansi armada ini bukan sekadar strategi bisnis, tapi langkah pemulihan eksistensi.

Dari sisi harga, Boeing 777 memiliki nilai katalog berkisar US$330 juta hingga US$425 juta per unit. Namun, untuk pemesanan besar seperti ini, diskon harga hingga puluhan persen lazim terjadi. 

Sebagai perbandingan, Emirates pernah mengamankan harga sekitar US$350 juta per unit untuk pesanan 40 pesawat Boeing 777X pada 2018. 

Artinya, bila mengikuti estimasi konservatif US$300 juta per unit, nilai total kesepakatan bisa menyentuh US$15 miliar—menjadikannya salah satu transaksi terbesar Garuda sepanjang sejarah.

Cahyadi Indrananto, Sekretaris Perusahaan Garuda Indonesia, mengonfirmasi bahwa pembicaraan dengan Boeing sudah berlangsung cukup lama. 

"Aspek waktu delivery dan jumlah pesawat masih menjadi bagian dari negosiasi. Ini adalah proses jangka panjang. Umumnya pembelian pesawat dalam skala besar dilakukan bertahap dalam beberapa tahun," ungkapnya kepada media.

Menariknya, rencana ekspansi ini datang beriringan dengan komitmen Indonesia untuk membeli produk-produk asal AS senilai lebih dari US$19 miliar dalam kesepakatan dagang terbaru. 

Selain pesawat, Indonesia juga akan mengimpor produk energi AS sebesar US$15 miliar dan produk pertanian senilai US$4,5 miliar. 

Sebagai imbal balik, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa produk ekspor Indonesia ke pasar AS akan dikenakan tarif baru sebesar 19% turun signifikan dari ancaman tarif 32% yang sempat dilontarkan April lalu.

Sementara itu, pembiayaan menjadi salah satu aspek krusial dari proyek ini. Garuda menyatakan tengah berdialog dengan sejumlah pemberi dana potensial. 

Salah satu pihak yang disebut-sebut sebagai kandidat kuat pendanaan adalah Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia yang sebelumnya telah menyuntikkan pinjaman pemegang saham sebesar Rp6,65 triliun untuk menopang likuiditas Garuda pasca-restrukturisasi. 

Namun hingga kini, belum ada konfirmasi resmi mengenai skema pembiayaan akhir yang akan digunakan untuk transaksi Boeing ini.

Presiden Prabowo Subianto juga sempat menyinggung soal pentingnya pembelian pesawat ini untuk membesarkan kembali Garuda Indonesia sebagai maskapai kebanggaan nasional. 

"Garuda harus menjadi lambang Indonesia. Untuk itu, kita butuh pesawat-pesawat baru," tegasnya dalam pernyataan publik.

 Ia juga memastikan bahwa kerja sama dengan Boeing tidak akan mengganggu hubungan komersial Indonesia dengan Airbus.

Langkah agresif Garuda ini mendapat sorotan dari sejumlah pengamat industri penerbangan. Analis aviasi dari INACA, Irfan Suryaputra, menilai pembelian dalam skala besar memang memberikan keuntungan negosiasi harga, tetapi tetap menyisakan tantangan besar dari sisi operasional dan keuangan. 

“Mengintegrasikan 50 pesawat baru dalam waktu kurang dari lima tahun bukan perkara ringan, apalagi dengan kondisi pasar yang masih fluktuatif dan tekanan finansial yang belum sepenuhnya pulih,” ujarnya.

Selain itu, Garuda juga berambisi menambah jumlah rute menjadi 100 dalam lima tahun mendatang. Saat ini, banyak rute internasional Garuda masih terbatas setelah mengalami pemangkasan besar pada masa restrukturisasi. 

Penambahan armada diharapkan bisa membuka kembali rute-rute strategis seperti Amsterdam, London, dan Tokyo secara reguler, serta menambah frekuensi untuk jalur domestik padat seperti Jakarta–Denpasar dan Jakarta–Makassar.

Namun tidak sedikit yang mengingatkan pentingnya kehati-hatian. Dengan tarif ekspor ke AS naik menjadi 19% dan tensi dagang global yang belum mereda, Garuda akan beroperasi di tengah lingkungan bisnis yang penuh ketidakpastian. 

Ditambah lagi, kebijakan perdagangan Trump yang kerap berubah cepat menjadi variabel tersendiri yang harus diperhitungkan dalam perencanaan jangka panjang.