![]() |
Menko Pembangunan Infrastruktur AHY siapkan Perpres baru untuk tangani truk ODOL. Kerugian jalan capai Rp41 triliun, pungli sopir tembus Rp150 juta setahun. (BPTJ) |
Muatan over dimension and overload (ODOL) kembali jadi sorotan. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), membeberkan kerugian masif yang ditimbulkan praktik angkutan ODOL terhadap infrastruktur dan keselamatan jalan raya di Indonesia.
Menurut AHY, truk-truk bermuatan berlebih ini menyumbang hingga 10,5% kecelakaan lalu lintas secara nasional menjadikannya penyebab kedua terbesar setelah sepeda motor.
“Kendaraan ODOL ini bukan cuma ancaman keselamatan, tapi juga beban besar untuk negara,” tegas AHY dalam pernyataan resminya, Rabu (17/7).
Data terbaru mencatat 200 kasus kecelakaan akibat truk ODOL sepanjang 2023, sementara dalam periode 2017–2021, angkanya mencapai 349 kasus. Rata-rata, kecelakaan lalu lintas di Indonesia merenggut 2 hingga 3 nyawa per jam, dan truk ODOL menjadi salah satu kontributor utamanya.
Namun yang lebih mengejutkan, kerugian ekonomi akibat kerusakan jalan dan jembatan karena ODOL mencapai Rp41–43,47 triliun per tahun.
“Kerusakan jalan akibat itu semua membuat pemerintah harus menggelontorkan puluhan triliun setiap tahunnya,” ujar AHY.
Usia pakai jalan nasional pun ikut terkikis. Jika semestinya bertahan 10 hingga 11 tahun, jalan yang dilalui truk ODOL hanya mampu bertahan sekitar tiga tahun.
Ditambah, saat ini 63% truk di jalanan masih masuk kategori ODOL, dengan penyebaran tertinggi di Tol Trans Sumatra dan Trans Jawa, masing-masing di atas 50%.
AHY menyebut praktik ini tak bisa dilepaskan dari persoalan laten lainnya: pungutan liar (pungli). Berdasarkan temuan pemerintah, seorang sopir truk bisa menghabiskan antara Rp100 hingga 150 juta per tahun hanya untuk “setoran” di jalanan.
“Itu angka yang gila. Supir truk bisa mengeluarkan hingga Rp150 juta untuk pungli dalam setahun,” ungkap AHY.
Besarnya biaya pungli ini turut mendongkrak ongkos logistik secara nasional. Berdasarkan estimasi, pungli menyumbang sekitar 15 hingga 35 persen dari total ongkos angkut.
AHY pun menyatakan pihaknya kini berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan untuk menindak tegas oknum pungli, termasuk dari internal kepolisian sendiri.
Namun pembenahan tak hanya soal penindakan. Pemerintah, kata AHY, juga berkomitmen meningkatkan kesejahteraan sopir truk. Sebab, akar masalah ODOL juga berangkat dari tekanan kerja dan sistem upah yang tak berpihak kepada pengemudi.
“Mereka (sopir) hanya menjalankan tugas penuh risiko, tapi kesejahteraannya terbatas. Jangan hanya fokus pada penindakan, tapi juga jamin hidup layak,” tegasnya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekitar 70% sopir truk bekerja secara informal, dengan sistem upah berdasarkan jarak dan muatan. Mayoritas tak memiliki jaminan kesehatan maupun perlindungan ketenagakerjaan, apalagi hak atas jam kerja yang layak.
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, bila terbukti sopir menerima upah di bawah UMR, perusahaan akan ditegur secara administratif.
Menjawab tantangan ini, AHY tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Logistik Nasional. Ada tiga fokus utama dalam rancangan aturan ini:
• Pengawasan dan penindakan praktik ODOL.
• Standarisasi kerja sopir, termasuk upah layak dan jaminan sosial.
• Deregulasi peraturan angkutan barang agar lebih efisien dan adil.
Meski demikian, pemerintah menyadari bahwa menyelesaikan masalah ODOL tak bisa hanya lewat pendekatan represif.
Salah satu opsi strategis yang tengah diuji coba adalah pengalihan moda angkutan barang ke jalur kereta api dan laut. Proyek percontohan sudah dimulai di Sukabumi, meskipun secara keekonomian skema ini belum sepenuhnya menguntungkan.
Di sisi lain, regulasi tentang ODOL sebenarnya sudah ada. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Permenhub No. 18 Tahun 2021 mengatur secara jelas larangan dan pengawasan muatan berlebih.
Namun dalam praktiknya, penerapan Zero ODOL yang seharusnya efektif mulai 2023 terus tertunda, utamanya karena tekanan dari pelaku usaha yang khawatir pada dampaknya terhadap biaya logistik. Target baru pelaksanaan penuh kini diundur ke rentang 2026–2027.
Presiden Prabowo Subianto juga telah menegaskan bahwa isu kesejahteraan sopir menjadi bagian integral dalam kebijakan logistik nasional yang sedang digodok.
Pemerintah tak hanya ingin menciptakan sistem logistik yang efisien dan aman, tapi juga yang adil bagi para pekerja di balik kemudi.
Pakar transportasi dari ITB, Djoko Setijowarno, menyebut pendekatan baru ini sebagai “keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keselamatan”.
“Kalau hanya menindak ODOL tanpa menyentuh akar masalahnya seperti pungli dan upah, maka efek jera tidak akan terjadi,” kata Djoko.
Kini, bola ada di tangan pemerintah: apakah bisa menjinakkan truk ODOL dengan kebijakan menyeluruh yang berpihak pada keselamatan dan keadilan, atau justru kembali terjebak dalam pola lama—tegas di atas kertas, longgar di lapangan.
0Komentar