China memberi sinyal kuat atas kesepakatan dagang Indonesia-AS yang dinilai bisa mengancam investasi dan rantai pasok China di kawasan Asia Tenggara. (Foto EPA Images)

Kesepakatan dagang bersejarah antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 15 Juli 2025 menuai reaksi global, terutama dari China yang selama ini menjadi mitra dagang utama bagi kedua negara. 

Perjanjian tersebut mencakup penurunan tarif impor AS terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19%, penghapusan seluruh tarif Indonesia untuk barang-barang asal AS, serta komitmen pembelian berskala besar yang nilainya mencapai puluhan miliar dolar.

Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “pembukaan penuh pasar Indonesia bagi Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam sejarah.” 

Namun, keberadaan klausul anti-transshipment dalam perjanjian ini langsung memicu perhatian China, yang menilai kebijakan itu sebagai pukulan terhadap strategi rantai pasok mereka di Asia Tenggara. Tak hanya berdampak ke Beijing, posisi Indonesia juga kini kian kompleks di tengah tarik-menarik dua kekuatan ekonomi dunia.


China: Diplomasi Lembut, Isyarat Tegas

Pemerintah China memberikan respons berhati-hati namun bermakna. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers di Beijing, menegaskan pentingnya dialog dan konsultasi yang setara dalam menyelesaikan sengketa dagang.

“Sikap kami selalu menekankan bahwa para pihak perlu menyelesaikan sengketa ekonomi dan perdagangan melalui dialog dan konsultasi yang setara,” kata Lin Jian, sehari setelah pengumuman kesepakatan Indonesia-AS.

Meski terdengar diplomatis, banyak pihak menilai pernyataan tersebut menyiratkan kritik terhadap kesepakatan yang dianggap berat sebelah dan mengesampingkan pendekatan multilateral yang selama ini dijunjung China dalam perdagangan global.

Lin juga menambahkan bahwa China berharap negara-negara bisa bersama-sama menciptakan iklim kerja sama ekonomi yang sehat dan kondusif. Di balik pernyataan tersebut, tersimpan peringatan agar Indonesia tidak larut dalam strategi geopolitik Amerika Serikat yang kembali agresif memainkan perang tarif.

Menurut Dr. Riza Noer Arfani, pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, sikap China merefleksikan kekhawatiran yang lebih luas. 

“Bagi China, ini bukan cuma soal tarif, tapi strategi AS untuk memutus keterkaitan ekonomi antara China dan ASEAN, terutama lewat Indonesia,” kata Riza. “Klausul anti-transshipment bisa dibilang jadi senjata baru AS dalam menekan daya saing ekspor China ke pasar mereka.”


Klausul Anti-Transshipment: Bumerang bagi Indonesia?

Kesepakatan dagang ini memiliki tiga poin utama: penurunan tarif impor AS untuk produk Indonesia dari 32% menjadi 19%, penghapusan seluruh tarif Indonesia untuk barang AS, dan komitmen pembelian besar dari Indonesia, termasuk energi senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing seri 777.

Suasana bongkar muat kapal kontainer di Terminal Multiguna Pelabuhan Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, Kamis (27/12). PT Pelabuhan Indonesia I melepas kargo ekspor perdana di terminal tersebut dengan kapal Wan Hai 505, membawa 180 TEUs kargo ekspor tujuan China. (JIBI/Bisnis/Abdullah Azzam)

Namun, yang paling disorot adalah klausul anti-transshipment. Ketentuan ini memungkinkan AS mengenakan tarif ganda untuk produk dari negara ketiga terutama China yang masuk ke AS melalui Indonesia. 

Dalam praktiknya, produk asal China yang diekspor ke AS via Indonesia akan terkena tarif hingga 49%, terdiri dari 19% tarif Indonesia ditambah 30% tarif asal China.

"Ini jelas membuat Indonesia kurang menarik sebagai lokasi relokasi pabrik-pabrik China," ujar Dr. Fithra Faisal, ekonom dari Universitas Indonesia. “Sebelumnya, banyak perusahaan China menjadikan Indonesia sebagai alternatif untuk menghindari tarif tinggi AS, terutama saat puncak perang dagang 2017–2021. Tapi dengan kebijakan ini, Vietnam yang hanya kena tarif 40% jadi lebih unggul.”

Tak hanya dari sisi geopolitik, pelaku usaha nasional pun ikut resah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut kebijakan ini bisa berdampak pada penurunan investasi langsung dari China hingga 25% dalam tiga tahun ke depan, terutama di sektor padat karya seperti elektronik dan tekstil.


China Tak Tinggal Diam

Sebagai langkah balasan, China memperkuat posisi ekonominya di Indonesia melalui beberapa strategi. Salah satunya adalah memperluas skema Local Currency Settlement (LCS) antara yuan dan rupiah yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Bank Indonesia mencatat transaksi LCS yuan-rupiah tumbuh 15% sepanjang 2024, menembus US$3,2 miliar.

Langkah kedua, China mendorong investasi skala besar di sektor strategis, termasuk pembangunan kawasan industri bersama senilai US$5 miliar di Batang, Jawa Tengah, dan Fujian, China. 

Kawasan ini akan difokuskan pada pengolahan nikel dan manufaktur kendaraan listrik (EV). “China paham betul bahwa Indonesia punya posisi dominan di industri nikel dunia. Mereka tidak akan melepas peluang begitu saja,” ujar Dr. Faisal.

Beijing mendorong percepatan integrasi ekonomi regional bersama ASEAN, termasuk Indonesia, untuk memperkuat stabilitas rantai pasok dan kerja sama digital melalui CAFTA 3.0. (Mike Hutchings/AFP/Getty Images)

Ketiga, China memanfaatkan berbagai forum multilateral seperti BRICS dan ASEAN untuk memperkuat pengaruhnya. Indonesia yang kini masuk dalam radar keanggotaan BRICS, mendapat perhatian khusus dari Beijing. Pada April 2025, Menlu China Wang Yi menyampaikan pentingnya mempercepat integrasi ekonomi kawasan dan menjaga rantai pasok bersama Indonesia. 

Selain itu, pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA 3.0) turut digenjot, dengan fokus pada sektor digital dan ekonomi hijau. Targetnya, nilai perdagangan bilateral mencapai US$1 triliun pada 2030.


Indonesia di Titik Kritis

Dari sisi Indonesia, kesepakatan dengan AS membawa manfaat jangka pendek. Kementerian Perdagangan memperkirakan, penurunan tarif AS dari 32% menjadi 19% dapat mendongkrak ekspor tekstil, alas kaki, dan produk perikanan hingga US$2 miliar per tahun.

Namun, di sisi lain, komitmen pembelian sebesar US$19,5 miliar dari AS berisiko memperlebar defisit perdagangan, yang pada 2024 sudah mencapai US$4,8 miliar. 

“Kesepakatan ini seperti pedang bermata dua,” ujar Dr. Arfani. “Di satu sisi kita dapat akses pasar yang lebih luas, tapi di sisi lain kita bisa makin tergantung pada AS. Sementara, investasi dari China berpotensi melambat karena hambatan transshipment.”

Kendati begitu, China masih mencatat posisi penting sebagai investor besar di Indonesia. Data BKPM menunjukkan China menempati posisi kedua sebagai investor asing terbesar pada 2024, dengan total nilai investasi US$7,4 miliar terutama di sektor nikel dan infrastruktur. 

Permintaan bahan baku industri yang terus meningkat membuat impor dari China diperkirakan tumbuh 10–12% pada 2026.


Indonesia Jadi Arena Baru Perang Dagang

Kesepakatan Indonesia-AS hadir di tengah masa gencatan perang dagang AS-China yang dijadwalkan berakhir pada 12 Agustus 2025. Dalam jeda ini, China menurunkan tarif untuk produk AS dari 125% ke 10%, sementara AS memangkas tarif produk China dari 145% ke 30% termasuk tarif tambahan 20% sebagai sanksi atas isu perdagangan fentanil.

Foto: Aktivitas bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (29/3/2021) (KOMPAS.com).                                      

Namun, kebijakan tarif sekunder untuk barang dari China yang masuk lewat negara ketiga seperti Indonesia menunjukkan bahwa perang dagang belum benar-benar reda.

“Indonesia harus sangat hati-hati. Kita berisiko jadi pion dalam benturan dua kekuatan besar ini,” kata Dr. Faisal. “Jika masa gencatan tarif ini tak diperpanjang setelah Agustus, tekanan bagi Indonesia untuk menentukan sikap akan makin besar.”


Jalan Tengah bagi Indonesia

Di tengah ketegangan ini, Indonesia perlu mengambil langkah hati-hati namun tegas. Diversifikasi mitra dagang ke negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China.

Negosiasi aturan asal barang (rules of origin) dalam perjanjian dagang juga perlu diperkuat, agar Indonesia tetap menarik bagi investor manufaktur. Di saat bersamaan, optimalisasi skema LCS bisa memberikan perlindungan terhadap fluktuasi nilai tukar dolar AS.

Bagi China, memperkuat kerja sama industri strategis dengan Indonesia khususnya di sektor EV dan nikel akan menjadi kunci. Tidak tertutup kemungkinan Beijing akan menawarkan paket investasi baru di bidang infrastruktur untuk menyaingi kesepakatan Boeing yang masuk lewat pintu AS.

“China punya stamina untuk investasi jangka panjang. Mereka tidak akan diam melihat AS menancapkan pengaruh ekonomi lebih dalam di Indonesia,” tutur Dr. Arfani.


Indonesia di Panggung Geopolitik Global

Kesepakatan dagang Indonesia-AS, serta respons strategis dari China, menempatkan Indonesia di persimpangan penting. Dengan peran kian sentral di ASEAN dan peluang masuk ke BRICS, Indonesia harus pandai menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan tekanan geopolitik global.

Seperti yang dikatakan Lin Jian, kerja sama ekonomi seharusnya menciptakan kondisi yang kondusif. 

Namun, pertanyaannya: kondusif untuk siapa? Di tengah dinamika global yang terus berubah, menjaga posisi netral dan fleksibel akan menjadi ujian besar bagi arah politik dan ekonomi Indonesia ke depan.