Taksi terbang EHang 216-s sukses uji coba berpenumpang di Tangerang pada 25 Juni 2025. Ini jadi langkah awal menuju transportasi udara masa depan di IKN, dengan target komersial 2029. (Foto: Ist/Dedy H)

Indonesia resmi menorehkan sejarah baru di sektor transportasi udara. Pada 25 Juni 2025, taksi terbang otonom EHang 216-s berhasil melakukan uji terbang berpenumpang di Phantom Ground Park, PIK 2, Tangerang, Banten. 

Keberhasilan ini menjadi langkah besar menuju era mobilitas udara cerdas, dengan target operasional komersial di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 2029.

Uji coba tersebut dihadiri oleh sejumlah figur penting, termasuk Ketua MPR RI sekaligus Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI), Bambang Soesatyo, serta publik figur Raffi Ahmad yang menjadi penumpang pertama.

EHang 216-s merupakan taksi terbang listrik tanpa pilot (electric vertical take-off and landing/eVTOL) buatan Tiongkok. Pesawat ini memiliki spesifikasi sebagai berikut:

Tinggi: 1,77 meter

Lebar: 5,61 meter

Kapasitas muat: 220 kg

Jarak terbang maksimal: 35 km

Durasi terbang: 21 menit

Kecepatan maksimum: 130 km/jam

Dari sisi efisiensi, ongkos operasional EHang disebut hanya sekitar Rp500 ribu per pengisian daya, jauh di bawah biaya operasional helikopter yang bisa mencapai Rp50 juta untuk 30 menit terbang.

Executive Chairman Prestige Aviation Rudy Salim mengatakan, uji coba ini penting untuk membuktikan kesiapan teknologi dan membangun kepercayaan publik dan regulator. 

“Kami tidak hanya mendatangkan teknologi, tapi juga menyiapkan ekosistem agar mobilitas udara ini benar-benar bisa diimplementasikan di Indonesia,” ujarnya.

Proyek taksi terbang menjadi bagian dari transformasi sistem transportasi di IKN—kota baru yang dirancang sebagai smart city hijau. 

Pemerintah menargetkan EHang dan jenis taksi terbang lain seperti OPPAV dari Hyundai Motors bisa beroperasi penuh secara komersial pada 2029.

Proyek ini terbagi ke dalam tiga fase:

Fase I (2024–2025): Uji konsep, termasuk uji terbang di Kalimantan Timur

Fase II (2026–2028): Implementasi operasional dan pembangunan pusat R&D

Fase III (2029): Komersialisasi dan produksi lokal bersama PT Dirgantara Indonesia

Menurut laporan The Jakarta Post dan Asia News Network, perubahan target dari 2028 ke 2029 terjadi karena kompleksitas pengembangan, terutama dalam hal regulasi dan kesiapan infrastruktur.

Untuk mendukung adopsi taksi terbang secara legal, Kementerian Perhubungan tengah merevisi UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009. 

Regulasi baru ini akan mencakup standar desain, operasional, hingga persyaratan personel dan infrastruktur.

"Ini bukan sekadar soal alatnya, tapi juga keselamatan, SOP, dan sistem pendukung yang harus kita siapkan sejak awal," ungkap Sokhib Al Rohman, Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan, dalam keterangannya, Selasa (25/6/2025). 

Ia juga menegaskan pentingnya kerja sama dengan pihak internasional, seperti Administrasi Penerbangan Sipil China, untuk validasi sertifikat tipe.

Dengan potensi waktu tempuh lebih singkat dan emisi nol, taksi terbang dinilai cocok untuk menjawab tantangan kemacetan dan transportasi lintas daerah terpencil, terutama di kawasan Kalimantan yang topografinya sulit dijangkau kendaraan konvensional.

Bambang Soesatyo menilai teknologi ini bukan hanya mendukung efisiensi, tapi juga memiliki nilai strategis untuk pengembangan ekonomi dan pariwisata. 

“Bayangkan turis dari luar negeri bisa langsung naik taksi terbang dari bandara ke hotel di kawasan ekowisata. Ini bukan mimpi, tapi visi masa depan yang sedang kita bangun,” ujarnya.

Uji coba sukses EHang 216-s membuka jalan menuju integrasi mobilitas udara cerdas di Indonesia. 

Meski masih memerlukan waktu dan regulasi yang matang, Indonesia tengah melangkah mantap menuju transformasi transportasi. Pertanyaannya kini bukan lagi "bisa atau tidak", melainkan "seberapa cepat kita siap?"

“Kami tidak akan menunggu teknologi dari luar masuk begitu saja. Kita harus menjadi bagian dari ekosistem global ini, bukan hanya sebagai pasar, tapi juga produsen,” tegas Rudy Salim.