Presiden Donald Trump melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran tanpa izin resmi Kongres AS. Aksi ini memicu kemarahan Partai Demokrat yang menyebutnya inkonstitusional dan membuka pintu pemakzulan. (Foto: Bloomberg)

Amerika Serikat resmi melancarkan serangan udara besar-besaran ke fasilitas nuklir Iran pada Sabtu malam, 22 Juni 2025. Operasi militer yang dijuluki "Operation Midnight Hammer" ini langsung memicu gejolak panas di dalam negeri, terutama di Kongres AS. 

Fraksi Republik menyambut langkah Presiden Donald Trump sebagai “langkah berani demi keamanan global,” sementara Partai Demokrat menyebutnya “tindakan inkonstitusional yang berisiko memicu perang besar di Timur Tengah.”

Serangan ini menyasar tiga situs utama: Natanz, Fordow, dan Isfahan, dengan kombinasi bom bunker-buster GBU-57A/B dan lebih dari 24 rudal jelajah Tomahawk. 

Fasilitas konversi uranium di Isfahan disebut mengalami kerusakan parah, sementara gambar satelit menunjukkan asap mengepul dari Fordow.

Presiden Trump menyatakan di Truth Social bahwa operasi tersebut "sangat sukses" dan "menghancurkan kapasitas pengayaan Iran secara total." Namun, pernyataan itu tak membuat tenang para anggota Kongres dari Partai Demokrat.

Senator Tim Kaine menyebut serangan ini sebagai “perang Timur Tengah ketiga yang bodoh,” dan berjanji akan memaksakan pemungutan suara di Senat untuk membatasi kewenangan perang Presiden.

“Tidak ada otorisasi kongres, tidak ada strategi jangka panjang, dan tak ada pengarahan. Ini bukan cara demokrasi bekerja,” ujar Kaine di hadapan media Capitol Hill.

Senada, Senator Bernie Sanders menyebut serangan ini sebagai “sangat tidak konstitusional.” Sementara Rep. Sean Casten dan Rep. Alexandria Ocasio-Cortez menyebut tindakan Trump bisa masuk kategori pelanggaran yang dapat dimakzulkan.

Sebaliknya, pimpinan Republik seperti Ketua DPR Mike Johnson dan Pemimpin Mayoritas Senat John Thune memberi dukungan penuh. 

Johnson menyebut keputusan Trump "sepenuhnya sah berdasarkan Pasal II Konstitusi AS," dengan alasan waktu untuk Kongres bertindak terlalu lambat untuk merespons ancaman Iran.

“Ini tentang mencegah Iran punya senjata nuklir. Kami tidak bisa menunggu hingga terlambat,” kata Johnson dalam unggahan di X.

Namun tak semua anggota GOP ikut padu. Thomas Massie, anggota DPR dari Kentucky yang dikenal libertarian, menyebut aksi Trump “tidak konstitusional” dan mengancam akan memaksa pemungutan suara pembatasan wewenang perang di DPR.

Tak hanya jadi isu politik, serangan ini juga langsung berdampak ke sektor energi dan keamanan global. Harga minyak dunia melonjak tajam tak lama setelah kabar serangan menyebar.

Minyak mentah AS (WTI) naik 3,6% menjadi US$76,47/barel

Brent ikut naik 3,2% ke US$74,59/barel

Di sisi lain, Departemen Luar Negeri AS langsung mengeluarkan peringatan kewaspadaan global, sementara pasukan AS di Irak dan Suriah dinaikkan ke status siaga tinggi, mengantisipasi potensi serangan balasan dari Iran atau proksi regionalnya.

Menurut analis kebijakan luar negeri dari Brookings Institution, Dr. Hannah Sheridan, yang diwawancarai CNBC International, langkah Trump berisiko “memicu krisis konstitusi dan memperburuk konflik regional.”

“Tidak hanya soal legalitas, ini soal proses dan akuntabilitas. Jika presiden bisa meluncurkan bom 30.000 pon tanpa konsultasi Kongres, kita sudah masuk zona bahaya demokrasi,” ujarnya.

Sementara itu, analis geopolitik dari Rand Corporation, Michael Abrams, memperingatkan soal efek domino.

“Ini bukan hanya soal Iran. Hizbullah, Suriah, bahkan Rusia bisa ikut merespons. Dan itu membuat kalkulasi konflik semakin rumit,” jelas Abrams.

Dengan polarisasi tajam, Kongres dijadwalkan akan menggelar sidang tertutup dan kemungkinan pemungutan suara dalam waktu dekat. 

DPR dan Senat tengah menimbang RUU pembatasan kewenangan perang Presiden, dipimpin oleh Rep. Massie dan Sen. Kaine.

Dari sisi Gedung Putih, Trump menunjukkan sikap tak bergeming. Ia menyebut bahwa serangan tambahan mungkin dilakukan jika Iran tak menghentikan program nuklirnya.

Sementara itu, Iran sudah mengajukan protes resmi ke PBB, dan Sekjen PBB António Guterres memperingatkan bahwa langkah AS “berpotensi memicu eskalasi berbahaya di kawasan.”

AS kini bukan hanya menghadapi risiko konflik dengan Iran, tapi juga konflik internal soal kewenangan perang.