![]() |
Produksi minyak rakyat tembus 60.000 barel per hari. Pemerintah kini bersiap melegalkan tambang rakyat demi dorong lifting nasional. (Antara Foto/Wahdi Septian) |
Produksi minyak rakyat ilegal di Indonesia mencapai angka fantastis: 60.000 barel per hari. Jumlah ini setara lebih dari 10% dari total produksi minyak nasional yang hanya 580.000 barel per hari pada 2024. Aktivitas ini dilakukan oleh lebih dari 200.000 orang di berbagai daerah seperti Tuban, Bojonegoro, dan Jambi. Pemerintah kini tengah menyusun aturan untuk melegalkan aktivitas tersebut.
Penambangan minyak rakyat selama ini berlangsung tanpa izin, tapi sulit dihentikan. Mereka bukan hanya mengekstraksi minyak mentah, tapi juga mengolahnya menjadi solar, bensin, bahkan aspal dengan teknologi sederhana.
Sayangnya, hasil dari aktivitas ini sebagian besar tidak tercatat di negara dan mengalir ke pihak-pihak tak bertanggung jawab.
“Angka produksi ini sangat besar, tapi negara tidak mendapatkan apa-apa. Uangnya justru lari ke oknum,” kata Gatot Sugiharto, Ketua Umum DPP Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), saat diwawancarai awal Juni lalu.
Pemerintah pun mulai bergerak. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengakui potensi minyak rakyat dan menyebutkan akan ada regulasi baru untuk melegalkan sumur-sumur ilegal tersebut.
Dalam pernyataannya pada 26 Mei 2025, ia memperkirakan produksi dari sektor ini sekitar 15.000 hingga 20.000 barel per hari. Angka ini berbeda jauh dari estimasi APRI, yang mencapai 60.000 barel.
“Kasihan mereka dikejar-kejar aparat. Mending dilindungi dengan cara profesional,” ujar Bahlil di Kantor Kementerian ESDM.
Rencananya, operasi penambangan ini akan diawasi oleh Pertamina dan pemerintah daerah. Hasil produksi akan dijual melalui koperasi atau BUMD ke Pertamina.
Pemerintah juga menyiapkan masa transisi selama tiga hingga empat tahun agar pelaku bisa mematuhi aturan.
Namun, langkah legalisasi ini tak lepas dari risiko. Praktik ilegal selama ini rawan kecelakaan dan pencemaran lingkungan.
Salah satu contoh ekstrem terjadi pada Agustus 2024 di Sumatra, ketika 95 sumur ditutup usai ledakan fatal yang menewaskan beberapa warga, seperti dilaporkan Mongabay.
Selain soal keselamatan, perbedaan data juga menimbulkan pertanyaan. Mengapa pemerintah hanya menghitung 15.000–20.000 barel, sementara asosiasi menyebut 60.000?
“Bisa jadi karena sumur-sumur ini tidak tercatat resmi, atau karena metode pengukuran yang berbeda,” jelas Arif Nuryanto, analis energi dari Indonesian Petroleum Institute.
Pemerintah sendiri tengah berupaya meningkatkan ketahanan energi nasional. Dalam pernyataan pada Februari 2025, Bahlil menegaskan Indonesia akan menghentikan ekspor minyak mentah dan mengutamakan kebutuhan domestik. Target produksi ditetapkan mencapai 900.000–1 juta barel per hari pada 2028–2029.
Di sisi lain, konsumsi BBM di dalam negeri terus naik dan mencapai 1,6 juta barel per hari. Artinya, ada gap sekitar 1 juta barel yang sebagian besar dipenuhi dari impor.
Bahlil bahkan menyebut ketergantungan ini sebagai bentuk sabotase terhadap industri energi nasional.
Legalitas penambang rakyat bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek untuk menutup defisit produksi.
Tapi jika tidak diawasi dengan ketat, bisa jadi bumerang. Pemerintah kini dihadapkan pada dilema: melegalkan demi energi, tapi juga harus memastikan tidak terjadi aksi jorok yang merusak lingkungan dan merugikan negara.
0Komentar