Peredaran rokok ilegal melonjak ke 46% pada 2024 akibat daya beli yang anjlok. Negara rugi Rp97,81 triliun dan target cukai Rp230 T di 2025 kini terancam. (Foto: Pixabay/Sipa)

Peredaran rokok ilegal di Indonesia makin mengkhawatirkan. Pada 2024, hampir setengah dari rokok yang beredar—tepatnya 46%—adalah rokok ilegal, naik drastis dari 28% pada 2021. Situasi ini bukan cuma persoalan hukum, tapi juga merugikan negara hingga Rp97,81 triliun dalam satu tahun.

Kondisi ini diperparah oleh tekanan daya beli masyarakat yang terus menurun. Banyak perokok yang akhirnya memilih beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai alias ilegal. 

Fenomena ini dikenal sebagai "downtrading". Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut fenomena ini sebagai konsekuensi dari krisis daya beli masyarakat bawah.

"Karena daya beli masyarakat menurun drastis, sementara kebutuhan untuk tetap merokok tetap ada, mereka beralih ke rokok dengan harga lebih rendah. Bahkan, banyak yang memilih rokok ilegal karena harganya bisa sampai 40% lebih murah," ujar Wijayanto saat diwawancara Kontan, Senin (16/6/2025).

Salah satu pemicu meningkatnya konsumsi rokok ilegal adalah kenaikan tarif Harga Jual Eceran (HJE) rokok legal. 

Kenaikan ini diatur dalam PMK No. 97/2024 dan mulai berlaku awal 2025. Tujuannya sebenarnya mulia—mengurangi konsumsi rokok demi alasan kesehatan. Namun efek sampingnya justru menciptakan celah bagi rokok ilegal untuk merajalela.

Menurut data Indodata Research Center, dari seluruh rokok ilegal yang beredar:

95,44% tidak berpita cukai (polos),

1,95% memakai pita cukai palsu,

sisanya campuran pita bekas atau salah peruntukan.

Dengan perbedaan harga yang sangat mencolok, rokok ilegal makin diminati, khususnya oleh masyarakat kelas bawah dan anak muda.

Kondisi ini menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Tahun 2025, Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp230,09 triliun. 

Padahal, realisasi pada 2024 saja baru mencapai Rp216,9 triliun dari total cukai Rp226,4 triliun. Jika rokok ilegal terus menjamur, target ambisius ini jelas terancam gagal tercapai.

"Kalau penegakan hukum terhadap rokok ilegal tidak ditingkatkan, bisa jadi target CHT 2025 akan meleset jauh. Ini kerugian besar untuk APBN," ujar seorang pejabat senior di Kemenkeu yang enggan disebutkan namanya.

Pemerintah bukannya diam. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mulai membentuk satuan tugas khusus untuk membasmi peredaran rokok ilegal. Operasi semacam “Operasi Gurita 2025” digelar di berbagai daerah.

Hasilnya, seperti di Semarang, aparat berhasil menyita 584.000 batang rokok ilegal senilai Rp867 juta. Sementara di Serang, Banten, pada Januari 2025, petugas menyita lebih dari 511.000 bungkus rokok ilegal senilai Rp13 miliar.

Namun banyak pengamat menilai, apa yang tertangkap di permukaan hanyalah sebagian kecil dari jaringan besar perdagangan gelap rokok di Indonesia.

Ironisnya, rokok masih menjadi salah satu pengeluaran utama rumah tangga miskin di Indonesia. 

Data Komite Nasional Pengendalian Tembakau mencatat, pengeluaran rokok rumah tangga miskin mencapai 11%—jauh di atas belanja lauk-pauk yang hanya 3,5%.

Kondisi ini menimbulkan efek domino, bukan hanya pada penerimaan negara, tapi juga kesehatan publik. 

Prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun bahkan naik dari 18,3% (2016) jadi 19,2% (2019), menurut Global Youth Tobacco Survey.

Apa Selanjutnya?

Pemerintah jelas perlu bertindak lebih cepat dan lebih tajam. Satgas rokok ilegal mungkin bisa membantu, tetapi jika akar masalah seperti daya beli, distribusi rokok murah, dan lemahnya pengawasan di daerah tidak diatasi, maka rokok ilegal akan terus jadi "barang rakyat".

"Perlu pendekatan komprehensif. Bukan hanya razia, tapi juga edukasi, reformasi kebijakan harga rokok, dan perlindungan ekonomi masyarakat miskin," tutup Wijayanto.

Rokok murah memang menyelamatkan kantong perokok jangka pendek, tapi dalam jangka panjang, bisa menjadi bumerang bagi ekonomi dan generasi muda Indonesia.