![]() |
Thailand menutup total perbatasan darat dengan Kamboja di tengah memanasnya konflik sengketa wilayah dan tuduhan penipuan daring lintas negara. (AI GENERATED) |
Thailand resmi menutup seluruh perlintasan daratnya dengan Kamboja sejak Senin malam, 23 Juni 2025. Penutupan ini dilakukan di tujuh provinsi perbatasan dan berlaku untuk hampir semua pelintas, termasuk wisatawan, pedagang, hingga pengangkut logistik.
Kebijakan ekstrem ini menandai babak baru dalam memanasnya hubungan bilateral dua negara ASEAN tersebut, yang kini diwarnai isu sengketa wilayah dan tuduhan kejahatan transnasional.
Langkah itu telah menyebabkan ribuan wisatawan terlantar, dan menghentikan perdagangan lintas batas yang selama ini menopang ekonomi lokal di kedua sisi.
Data awal dari Otoritas Perdagangan Perbatasan Thailand menyebutkan bahwa penutupan ini telah menghentikan setidaknya US$12 juta per hari nilai transaksi lintas batas.
Sengketa Wilayah dan Tuduhan Penipuan
Ketegangan mencuat pasca insiden baku tembak pada 28 Mei 2025 di wilayah sengketa Segitiga Zamrud yang menewaskan seorang tentara Kamboja.
Sengketa ini mencakup empat titik krusial, termasuk tiga kompleks candi kuno yang secara historis diperebutkan sejak era kolonialisme Prancis.
Kamboja mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 15 Juni 2025. Namun, Thailand menolak opsi hukum internasional dan hanya ingin menyelesaikan masalah secara bilateral.
Penolakan ini dituding memperkeruh suasana dan menunjukkan ketidakpercayaan Bangkok pada jalur hukum internasional.
“Penolakan Thailand terhadap ICJ bisa dibaca sebagai sinyal bahwa mereka ingin tetap memegang kendali penuh dalam negosiasi. Tapi ini berisiko memicu eskalasi,” ujar Dr. Chalita Kongsakul, analis hubungan internasional di Chulalongkorn University.
Ketegangan diperparah oleh tuduhan dari Bangkok bahwa Kamboja menjadi pusat operasi penipuan daring global, termasuk scam asmara, investasi fiktif, dan judi online.
Laporan PBB pada April 2025 menyebutkan bahwa lebih dari 12.000 kasus penipuan daring yang melibatkan warga Asia Tenggara ditelusuri berasal dari kawasan industri gelap di Kamboja.
Ekonomi Lokal Lumpuh, Wisata Mandek
Penutupan perbatasan berdampak langsung ke sektor perdagangan dan pariwisata. Thailand tidak hanya melarang pelintas sipil, tapi juga membatasi ekspor barang yang dianggap dapat menunjang operasi pusat penipuan daring—termasuk komputer, suku cadang, dan bahkan pasokan gas serta internet.
Di sisi lain, Kamboja segera membalas dengan menghentikan impor bahan bakar, buah, dan sayuran dari Thailand, serta menutup dua pos tambahan di Provinsi Oddar Meanchey.
Bahkan, Presiden Senat Kamboja, Hun Sen, mengancam akan memulangkan tenaga kerja Kamboja dari Thailand jika pembatasan tak dicabut.
“Jika pasokan logistik terganggu lebih dari dua pekan, kita akan melihat kenaikan harga pangan lokal di wilayah perbatasan hingga 20-30%,” kata Pravit Achakul, ekonom senior dari Thailand Development Research Institute (TDRI).
Politik Dalam Negeri Thailand Berguncang
Penutupan ini juga menjadi pemicu krisis politik internal di Thailand. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra tengah berada dalam tekanan usai rekaman telepon pribadinya dengan Hun Sen bocor ke publik.
Dalam rekaman itu, Paetongtarn diduga menyebut seorang komandan militer sebagai “lawan” dan terkesan menyepelekan peran militer.
Akibatnya, Partai Bhumjaithai keluar dari koalisi, dan ribuan demonstran turun ke jalan menuntut pengunduran dirinya.
Kelompok nasionalis menuduh Paetongtarn “terlalu lunak terhadap Kamboja”, menuding adanya konflik kepentingan terkait kedekatan keluarga Shinawatra dengan elite Kamboja.
“Ini bukan sekadar soal wilayah. Ini soal legitimasi politik di dalam negeri dan bagaimana pemerintah menghadapi tekanan dari militer dan nasionalis,” ujar Prof. Suwat Theerasak, pengamat politik dari Thammasat University.
Militer Thailand menyebut penutupan ini sebagai bagian dari strategi pemberantasan kejahatan transnasional.
Dalam tiga hari pertama penutupan, angka kasus penipuan daring dan perdagangan manusia dilaporkan turun 31,45%, menurut laporan Kementerian Dalam Negeri.
Namun, analis memperingatkan bahwa penutupan total dan pembalasan ekonomi bisa memperburuk keadaan.
“Kita berisiko menghadapi ‘ASEAN Split’. Jika dua negara ini terus bentrok, akan sangat sulit untuk menjaga integrasi ekonomi kawasan,” kata Yusof Ibrahim, pengamat geopolitik Asia Tenggara dari Universitas Malaya.
Ke Mana Arah Konflik Ini?
Pertemuan bilateral di Phnom Penh pertengahan Juni lalu gagal membawa terobosan berarti. Bangkok belum menunjukkan kesediaan membawa isu ke pengadilan internasional, dan Kamboja bersikeras tidak akan duduk dalam forum bilateral tanpa pengawasan multilateral.
Beberapa pengamat menyerukan agar ASEAN turun tangan sebagai mediator, seperti yang dilakukan dalam krisis Laut Cina Selatan. Namun, belum ada inisiatif konkret dari Sekretariat ASEAN sejauh ini.
Jika situasi terus memburuk, stabilitas kawasan Mekong bisa terganggu, termasuk proyek lintas batas seperti pembangunan jalur logistik dan koridor ekonomi digital.
Penutupan perbatasan Thailand-Kamboja adalah puncak dari krisis diplomatik yang kompleks—kombinasi dari luka sejarah, konflik kepentingan ekonomi, dan ketidakstabilan politik domestik.
Jika tak ditangani dengan pendekatan diplomatik yang matang, konflik ini bisa menjadi preseden buruk bagi solidaritas ASEAN di tengah tantangan geopolitik global.
“Masalah ini bukan hanya milik Thailand dan Kamboja. Ini ujian bagi ASEAN sebagai komunitas regional yang stabil,” tutup Dr. Chalita Kongsakul.
0Komentar