Pemerintah memangkas anggaran Program Makan Bergizi (MBG) 2025 dari Rp 171 triliun menjadi Rp 121 triliun. Meski target 82,9 juta penerima tetap, efisiensi ini menimbulkan kekhawatiran soal distribusi dan kualitas layanan, terutama di wilayah 3T. (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

Anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk 2025 diproyeksikan turun drastis dari rencana awal Rp 171 triliun menjadi Rp 121 triliun. Pengumuman ini disampaikan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, pada Rabu (25/6/2025). 

Penurunan anggaran ini memunculkan pertanyaan: apakah target 82,9 juta penerima manfaat tetap tercapai, dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat?

Awalnya, MBG dialokasikan Rp 71 triliun dalam APBN 2025, dengan rencana tambahan Rp 100 triliun untuk mempercepat jangkauan hingga 82,9 juta penerima manfaat, meliputi anak sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. 

Namun, BGN kini memperkirakan hanya perlu tambahan Rp 50 triliun, karena target penerima manfaat diperkirakan tercapai pada November 2025, lebih cepat dari proyeksi awal Desember 2025.

“Anggaran MBG yang sudah resmi Rp 71 triliun, kemudian dicadangkan Rp 100 triliun tambahan. Tapi dari proyeksi BGN, kemungkinan besar hanya akan membutuhkan tambahan Rp 50 triliun,” ujar Dadan kepada kumparan. 

Ia menambahkan, “Percepatan penambahan penerima manfaat akan selesai akhir November, sehingga kebutuhan anggaran lebih kecil.”

Penurunan ini juga didukung efisiensi operasional, seperti kolaborasi dengan UMKM, petani, dan pemerintah daerah, serta penggunaan Dana Desa (Rp 16-20 triliun) dan anggaran kementerian lain, seperti Kementerian Pertanian (Rp 700 miliar).

Meski anggaran dipangkas, pemerintah tetap menargetkan 82,9 juta penerima manfaat, naik signifikan dari 4,89 juta penerima per 12 Juni 2025 (5,89% dari target). 

Namun, pemangkasan anggaran berisiko memperlambat ekspansi ke daerah tertinggal, seperti NTT dan Papua, yang memiliki prevalensi stunting tinggi (21,5% pada 2023). 

Hingga kini, 1.716 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Ekonom senior Indef, Yusuf Wibisono, memperingatkan potensi ketimpangan. “Pemangkasan anggaran bisa mengurangi kualitas layanan di daerah 3T. 

Jika infrastruktur SPPG tidak merata, manfaat gizi dan ekonomi lokal tidak akan optimal,” katanya.

Selain itu, realisasi anggaran yang baru mencapai Rp 4,4 triliun per Juni 2025 menunjukkan tantangan dalam penyerapan dana. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, yang dapat memperburuk efisiensi program.

Diah Satyani Saminarsih, peneliti dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), menekankan pentingnya regulasi yang jelas. 

“Pemangkasan anggaran boleh saja, tapi tanpa standar keamanan pangan dan tata kelola yang kuat, MBG bisa gagal mencapai tujuan gizi. Evaluasi ketat harus dilakukan,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam acara BRI Microfinance Outlook 2025 (30/1), optimistis MBG tetap berdampak besar meski anggarannya direvisi. 

“Program ini bisa menciptakan multiplier effect luar biasa bagi UMKM di seluruh Indonesia, asalkan distribusinya tepat sasaran,” katanya.

Ke depan, BGN menargetkan 32.000 SPPG beroperasi penuh pada akhir 2025 untuk menjangkau 82,9 juta penerima. 

Namun, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut anggaran MBG bisa melonjak hingga Rp 300 triliun pada 2026 untuk memperluas cakupan ke wilayah 3T dan meningkatkan infrastruktur.

Pemerintah juga berencana memperkuat kolaborasi dengan TNI, BUMN, dan swasta untuk mempercepat distribusi. 

Presiden Prabowo Subianto memerintahkan efisiensi anggaran kementerian senilai Rp 306,7 triliun untuk mendukung MBG, menunjukkan komitmen kuat terhadap program ini.

MBG terbukti mendongkrak ekonomi lokal melalui keterlibatan UMKM dan petani sebagai pemasok pangan. 

Indef memperkirakan program ini dapat menambah PDB hingga Rp 4.510 triliun pada 2025 dengan anggaran awal Rp 71 triliun. 

Namun, jika anggaran terus dipangkas tanpa strategi distribusi yang matang, manfaat ekonomi ini bisa tergerus.

Untuk memastikan keberhasilan MBG, pemerintah perlu fokus pada pemerataan SPPG, memperkuat regulasi keamanan pangan, dan meningkatkan transparansi anggaran. 

Tanpa langkah konkret, pemangkasan anggaran berisiko mengurangi dampak program yang digadang-gadang sebagai pilar menuju Indonesia Emas 2045.

Dengan target ambisius dan tantangan nyata, MBG berada di persimpangan. Akankah efisiensi anggaran menjadi kunci sukses, atau justru menghambat cita-cita gizi nasional?