Konflik yang memanas di Timur Tengah berpotensi mengguncang perekonomian global, memicu lonjakan harga minyak dan inflasi. Peringatan ini disampaikan China melalui Kementerian Luar Negerinya pada 24 Juni 2025, menyusul serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran.
Ketegangan meningkat setelah Iran membalas dengan serangan terhadap target-target Israel, sementara Israel melanjutkan operasi militernya, termasuk menyerang fasilitas nuklir Fordow dan instalasi penting di Teheran.
China, sebagai importir minyak terbesar dunia, menyoroti risiko gangguan di Selat Hormuz, jalur vital yang mengangkut 20% perdagangan minyak global, yang dapat mengacaukelancaran distribusi energi dan barang.
Eskalasi konflik ini dipicu oleh serangan AS terhadap Iran, yang direspons dengan serangan balasan Iran ke Israel. Situasi semakin diperparah oleh operasi militer Israel yang menargetkan infrastruktur strategis Iran.
Ketidakstabilan di kawasan Teluk, yang menyumbang sebagian besar pasokan minyak dunia, menjadi ancaman serius.
China, yang mengimpor sekitar 40% minyak mentahnya dari Timur Tengah, sangat rentan terhadap gangguan di Selat Hormuz.
Ancaman Iran untuk menutup jalur ini, sebagaimana diungkapkan melalui pernyataan resmi di media, dapat memicu krisis energi global.
Dampak dari konflik ini tidak hanya terbatas pada pasar energi. Lonjakan harga minyak berpotensi memicu inflasi global, mengganggu rantai pasok, dan melemahkan stabilitas keuangan dunia.
Bagi China, ketidakpastian ini dapat memperburuk tantangan ekonomi domestik, seperti krisis properti dan ketegangan perdagangan dengan AS.
Negara-negara lain, termasuk importir minyak besar seperti India dan Jepang, juga akan terdampak oleh kenaikan harga energi.
Selain itu, sektor logistik dan perdagangan global, yang bergantung pada kelancaran jalur Teluk, berisiko menghadapi disrupsi signifikan.
Para analis memperingatkan bahwa krisis ini bisa memicu resesi global jika tidak segera diatasi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Gu Jiaqun, menegaskan urgensi solusi diplomatik.
"China mendesak semua pihak untuk menghindari eskalasi yang berulang dan mencegah penyebaran perang. Sangat penting untuk kembali ke jalur solusi politik," ujarnya, dikutip dari Daily Times pada 24 Juni 2025.
Sementara itu, William Figueroa, pakar hubungan China-Iran dari The Washington Post, menyatakan, "China tidak mendapat manfaat dari konflik yang lebih luas. Stabilitas Timur Tengah adalah kunci bagi kepentingan ekonomi Beijing."
Rusia juga turut angkat suara, dengan Presiden Vladimir Putin menyebut serangan terhadap Teheran sebagai "agresi yang tidak dapat dibenarkan" dan menegaskan dukungan untuk Iran.
Ke depan, China mendorong komunitas internasional untuk memperkuat diplomasi guna meredakan ketegangan.
Beijing telah mengusulkan resolusi PBB untuk gencatan senjata bersama Rusia dan Pakistan, menunjukkan peran aktifnya dalam mediasi.
Para ahli menyarankan agar negara-negara besar, termasuk AS dan anggota Uni Eropa, terlibat dalam dialog multilateral untuk mencegah konflik terbuka.
Jika ketegangan terus meningkat, harga minyak yang melonjak dan gangguan rantai pasok bisa memicu krisis ekonomi yang lebih dalam. Langkah konkret seperti negosiasi damai dan penguatan keamanan di jalur perdagangan menjadi krusial untuk menjaga stabilitas global.
0Komentar