Pemberian insentif bagi perusahaan tambang kerap disebut sebagai strategi untuk mendorong hilirisasi. Namun, apakah benar negara mendapat untung? (Foto: Tom Fisk/Pexels)

Raja Ampat di Papua, yang dikenal sebagai surga bawah laut dan bagian dari geopark UNESCO, belakangan jadi sorotan karena adanya aktivitas penambangan nikel. Banyak pihak terkejut saat operasi tambang ini terungkap, apalagi mengingat kawasan ini merupakan destinasi wisata dunia yang sangat bergantung pada keindahan alamnya. 

Kasus ini memperlihatkan dilema lama yang terus berulang dalam pembangunan di Indonesia: bagaimana menjaga keseimbangan antara ambisi ekonomi dan pelestarian lingkungan serta hak masyarakat lokal?

Isu penambangan nikel di Raja Ampat mencuat ke publik pada awal Juni 2025. Greenpeace Indonesia bersama sejumlah kelompok pemuda Papua menyuarakan penolakan atas izin tambang di wilayah konservasi. 

Tekanan dari masyarakat membuat pemerintah membatalkan sebagian besar izin pada 10 Juni 2025. Namun, satu perusahaan, PT Gag Nikel, tetap diizinkan beroperasi di Pulau Gag karena dianggap berada di luar zona geopark. 

Keputusan ini memicu perdebatan: apakah pemerintah benar-benar tegas menjaga keberlanjutan, atau justru mengorbankannya demi investasi?

Nikel punya nilai strategis karena jadi bahan utama baterai kendaraan listrik. Sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia menggantungkan harapan besar pada sektor ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tembus 8% di tahun 2025. 

Tapi di Raja Ampat, penambangan justru mengancam ekosistem laut yang menopang pariwisata dan jadi sumber penghidupan utama warga lokal.

Penambangan nikel di wilayah Raja Ampat sudah menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. Sekitar 500 hektar hutan dan vegetasi asli telah dibabat untuk membuka lahan tambang. 

Akibatnya, limbah tanah mencemari laut dan mengancam terumbu karang—daya tarik utama wisatawan. Secara nasional, sejak 2001 hingga 2023, aktivitas tambang telah menyebabkan deforestasi seluas 721 ribu hektar, dan diprediksi akan bertambah 600 ribu hektar lagi pada 2025.

Kerusakan ini tak cuma jadi masalah lokal. Raja Ampat merupakan bagian dari Coral Triangle, kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. 

Jika ekosistem ini rusak, Indonesia bisa kehilangan peluang memperoleh insentif global, seperti dana konservasi hutan tropis—yang penting dalam mendukung komitmen iklim di forum internasional seperti G20.

Siapa yang Diuntungkan?

Dari sisi sosial, tambang nikel memang menjanjikan lapangan kerja. Tapi kenyataannya, keuntungan ekonomi sering tak sampai ke tangan masyarakat lokal. Warga adat di Raja Ampat yang menggantungkan hidup pada pariwisata dan perikanan justru merasa tersingkir. 

Investasi asing, terutama dari China, mendominasi sektor ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran soal ketimpangan penguasaan sumber daya.

Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa sektor mineral menyumbang Rp140,66 triliun pada 2024—atau 52% dari total penerimaan negara dari energi dan sumber daya alam. 

Tapi distribusi manfaatnya belum merata. Sebagian besar keuntungan justru dinikmati oleh segelintir pengusaha besar.

Insentif yang Penuh Risiko

Pemerintah Indonesia sudah menyusun aturan untuk mengelola sektor tambang. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025, misalnya, mendorong hilirisasi agar komoditas seperti nikel punya nilai tambah. 

Tapi implementasinya tidak semulus harapan. Pasal 150A dari Undang-Undang Cipta Kerja (2020) memberi pembebasan royalti bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi, termasuk nikel. 

Tujuannya untuk menarik investasi industri pengolahan. Namun, kebijakan ini dikritik karena bisa mengurangi pendapatan negara.

Insentif semacam ini juga rentan dimanfaatkan oleh perusahaan yang hanya mengejar untung tanpa tanggung jawab lingkungan. Banyak laporan menunjukkan bahwa hilirisasi belum berjalan efektif, bahkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah diwajibkan. 

Jika pengawasan longgar, negara bisa kehilangan potensi pendapatan, sementara kerusakan lingkungan dan beban sosial tetap harus ditanggung.

Pada Februari 2025, pemerintah juga mengubah Undang-Undang Minerba untuk memperluas akses tambang ke organisasi keagamaan dan usaha kecil. Tujuannya: mendemokratisasi sektor ini. 

Tapi banyak yang menilai langkah ini bisa membuka celah bagi pelanggaran lingkungan dan korupsi, apalagi jika pengawasan tidak diperkuat.

Menjaga Keseimbangan

Kasus tambang di Raja Ampat menunjukkan perlunya pembenahan serius dalam pengelolaan sumber daya alam. Berikut beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:

Moratorium Tambang di Wilayah Sensitif
Pemerintah harus mengevaluasi ulang semua izin tambang di kawasan bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat. Konservasi harus jadi bagian utama dalam strategi pembangunan nasional.

Penegakan Hukum yang Tegas
Proses Amdal harus diperketat dan benar-benar ditegakkan. Perusahaan yang melanggar harus diberi sanksi. Proses perizinan juga perlu lebih transparan untuk mencegah korupsi.

Diversifikasi Ekonomi Daerah
Investasi perlu diarahkan ke sektor yang lebih berkelanjutan, seperti pariwisata berbasis alam dan energi terbarukan, agar daerah tidak terlalu tergantung pada tambang.

Evaluasi Insentif Hilirisasi
Pemerintah harus meninjau ulang pembebasan royalti agar insentif tidak malah merugikan negara. Performa perusahaan penerima insentif juga harus diawasi ketat.

Libatkan Masyarakat Lokal
Setiap keputusan soal tambang harus melibatkan masyarakat adat dan warga sekitar. Mereka berhak ikut menentukan arah pembangunan di wilayahnya sendiri.

Tambang nikel di Raja Ampat mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia: mengejar pertumbuhan ekonomi sambil tetap menjaga lingkungan dan masyarakat. 

Target pertumbuhan 8% tidak bisa dicapai dengan mengorbankan alam dan kesejahteraan rakyat. Tanpa perubahan kebijakan yang serius, kita bisa kehilangan kekayaan alam yang tak ternilai, hanya demi keuntungan jangka pendek yang tidak merata.