Mordechai Vanunu membocorkan detail rahasia program nuklir Israel pada 1986. Kisahnya mengguncang dunia dan menimbulkan debat panjang soal keamanan dan hak asasi manusia. (Foto: REUTERS/Gil Cohrn Magen

Mordechai Vanunu, mantan teknisi nuklir Israel, membocorkan program rahasia senjata nuklir negaranya pada tahun 1986 dari London, yang kemudian membuatnya diculik, diadili secara rahasia, dan dipenjara selama 18 tahun—sebuah kasus yang masih menggema hingga kini.

Kasus Vanunu membuka tabir kebijakan ambiguitas nuklir Israel, menciptakan perdebatan global tentang batas kekuasaan negara, hak asasi manusia, dan transparansi dalam isu senjata pemusnah massal.

Pada tahun 1986, Mordechai Vanunu menyerahkan kepada harian The Sunday Times Inggris puluhan foto rahasia dan keterangan teknis mengenai fasilitas nuklir Israel di Dimona, tempat ia bekerja sebagai teknisi.

Berdasarkan temuannya, media tersebut menyimpulkan bahwa Israel memiliki kemampuan memproduksi sekitar 12 hulu ledak nuklir per tahun serta perangkat termonuklir—kemampuan yang jauh melampaui spekulasi internasional saat itu.

"Saya merasa memiliki kewajiban moral untuk memperingatkan dunia tentang bahaya yang sangat besar," kata Vanunu dalam wawancara yang ia berikan setelah bocoran itu dipublikasikan.

Israel, yang selama ini menerapkan kebijakan kebijakan ambiguitas—tidak mengakui atau menyangkal kepemilikan senjata nuklir—tidak secara resmi membantah atau membenarkan laporan itu. 

Namun, pemerintah segera menuduh Vanunu melakukan pengkhianatan dan spionase.


Diculik oleh Mossad dan Diadili dalam Diam

Tidak lama setelah publikasi tersebut, Vanunu terperangkap dalam operasi yang disebut sebagai “honey trap” oleh badan intelijen Israel, Mossad. 


Ia diajak ke Roma oleh agen Mossad yang menyamar sebagai wanita bernama Cheryl Ben Tov, lalu diculik dan diam-diam dibawa kembali ke Israel dengan kapal militer.

Ia diadili secara tertutup di Pengadilan Distrik Yerusalem pada 1987. Seluruh proses hukum—termasuk dakwaan, bukti, dan pembelaan—dirahasiakan atas nama keamanan nasional.

Vanunu dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, termasuk lebih dari 11 tahun di sel isolasi. 

Organisasi seperti Amnesty International mengecam kondisi penahanannya sebagai “perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.”

“Hukuman ini tidak hanya untuk Vanunu, tetapi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berniat membocorkan rahasia negara,” ujar analis keamanan Israel, seperti dikutip oleh Haaretz.


Latar Belakang dan Motivasi Pribadi

Vanunu bukan mata-mata. Ia tidak menjual informasi tersebut, dan tidak memiliki hubungan dengan pemerintah asing. Ia selalu menyatakan bahwa motivasinya bersifat moral dan ideologis.


Lahir di Maroko dan bermigrasi ke Israel, Vanunu mengaku mengalami diskriminasi sebagai Yahudi Sefardi dalam masyarakat yang didominasi Yahudi Ashkenazi. 

Saat menjadi mahasiswa, ia aktif dalam gerakan pro-Palestina dan menentang kebijakan militer Israel.

“Dia adalah seorang idealis, bukan pengkhianat,” ujar Felice Cohen-Joppa, aktivis perdamaian yang mendukung kampanye pembebasan Vanunu.


Hukuman Berlanjut Meski Telah Bebas

Setelah menjalani seluruh masa hukumannya dan dibebaskan pada tahun 2004, Vanunu tidak benar-benar merasakan kebebasan.

Hingga hari ini, ia dikenai pembatasan hukum yang diperbarui setiap tahun. Ia dilarang meninggalkan Israel, berbicara dengan orang asing tanpa izin, dan semua komunikasinya dipantau.

Meski informasi yang ia bocorkan kini dianggap usang, pemerintah Israel masih menganggapnya sebagai “ancaman keamanan nasional.” 

Ia telah beberapa kali ditangkap kembali karena dianggap melanggar syarat-syarat pembebasannya, seperti berbicara kepada wartawan atau berpindah kota tanpa izin.

Pengacaranya menyebut pembatasan itu sebagai “hukuman seumur hidup yang disamarkan.”


Sorotan Internasional dan Seruan HAM

Amnesty International menyebut Vanunu sebagai “tahanan hati nurani” dan menyerukan penghapusan semua pembatasan terhadap dirinya. 


Mereka menyatakan bahwa kebebasan berbicara dan bergerak Vanunu telah dilanggar secara sistematis.

“Tidak ada alasan keamanan yang sah untuk terus mengekang kebebasan Vanunu dua dekade setelah pembocoran,” kata organisasi itu dalam pernyataan resminya pada 2020.

Sementara itu, para aktivis hak asasi manusia dan akademisi mempertanyakan keseimbangan antara kebutuhan negara untuk menjaga rahasia dan hak individu atas kebebasan sipil.

Meski Israel tidak pernah secara resmi mengakui kepemilikan senjata nuklir, informasi yang dibocorkan Vanunu telah mengubah persepsi global. 

Banyak analis percaya bahwa pengungkapan itu memperkuat strategi pencegahan Israel, meski negara itu tak perlu mengubah posisi resminya.

Namun kasus ini juga membuka wacana baru: sejauh mana sebuah negara demokratis dapat mengekang warganya demi menjaga keamanan nasional?

“Ini bukan hanya soal Israel dan Vanunu, tetapi soal hak publik untuk tahu dan batas kekuasaan negara,” ujar Dr. Avner Cohen, pakar etika nuklir dari Middlebury Institute.

Hingga kini, Mordechai Vanunu masih hidup di Yerusalem, dalam pembatasan, dan tanpa kebebasan berbicara penuh.

Kasusnya terus menimbulkan perdebatan: apakah ia pahlawan transparansi atau pengkhianat? Apakah keamanan nasional membenarkan pengorbanan hak asasi manusia?