PBB mengecam serangan udara AS ke fasilitas nuklir Iran dan menyebutnya sebagai "eskalasi berbahaya". Apa makna pernyataan ini dan bagaimana dampaknya terhadap perdamaian global? (Xinhua/Li Rui)

Pada 22 Juni 2025, dunia menyaksikan babak baru dari ketegangan di Timur Tengah ketika Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran. Serangan itu segera menuai reaksi keras dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, yang menyebut langkah AS sebagai "eskalasi berbahaya" dan memperingatkan potensi kehancuran global.

Serangan AS terhadap situs nuklir Fordo, Natanz, dan Isfahan terjadi kurang dari dua minggu setelah Iran diserang oleh Israel pada 13 Juni. 

Konflik antara dua negara tersebut telah lama membayangi kawasan Timur Tengah, namun keterlibatan langsung AS dalam menyerang fasilitas nuklir Iran memunculkan kekhawatiran bahwa krisis ini bisa berkembang jauh lebih besar dari sebelumnya.

“Ini adalah ancaman langsung bagi perdamaian dan keamanan internasional,” tegas Guterres dalam pernyataan resminya yang dikutip oleh Reuters. 

Ia memperingatkan bahwa konflik bisa "kehilangan kendali" dengan konsekuensi bencana bagi warga sipil dan kestabilan global.


Ketika Serangan Tak Membawa Solusi

Laporan dari BBC dan The Guardian menyebutkan bahwa Iran menyangkal telah mengalami kerusakan besar di situs-situs nuklirnya, dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan tidak ada peningkatan radiasi yang terdeteksi. 

Dengan kata lain, hasil serangan tampaknya tidak mengubah kemampuan nuklir Iran secara signifikan.

Namun reaksi balasan justru muncul dari pihak Iran dan sekutunya. Lebih dari 400 roket dilaporkan ditembakkan ke wilayah Israel, menyebabkan setidaknya 24 warga sipil tewas. 

Serangan tersebut memicu kepanikan dan ketegangan baru di antara negara-negara tetangga yang khawatir akan terciptanya konflik regional berskala besar.

“Saya harus mengungsi ke penampungan semalaman. Anak-anak saya ketakutan,” ujar Miriam, seorang guru sekolah dasar di Tel Aviv, kepada media lokal. “Kami tidak tahu ini akan berakhir di mana.”


Reaksi Dunia: Polarisasi yang Tajam

Serangan AS tak hanya mengguncang kawasan, tapi juga menciptakan perpecahan dalam opini global. 

Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, bahkan menyebut Presiden AS “datang sebagai pembawa perdamaian, tapi justru memulai perang baru.” 

Sementara Pakistan—negara Muslim bersenjata nuklir dan sekutu lama AS—menyebut tindakan tersebut "melanggar semua norma hukum internasional".

Namun ada pula negara-negara sekutu AS yang menunjukkan dukungan terbuka. Perdana Menteri Inggris menyatakan bahwa langkah AS “dapat dimengerti” mengingat ancaman dari program nuklir Iran. 

Hal ini menunjukkan betapa tajamnya perbedaan pandangan global terhadap konflik ini.


Apa Kata Para Pakar?

Menurut Dr. Lina Mahdavi, analis geopolitik di Universitas Oxford, serangan ini bisa memperparah ketidakstabilan kawasan dan memperbesar potensi keterlibatan militer dari aktor lain seperti Rusia atau Cina.

“Serangan ini mungkin tak menghentikan ambisi nuklir Iran, tapi bisa mempercepatnya. Saat Iran merasa diserang, mereka akan terdorong untuk memperkuat program mereka sebagai langkah defensif,” ujar Mahdavi kepada BBC World Service.

Pakar lain, Profesor Ahmad Tabrizi dari Universitas Teheran, menyebut bahwa “diplomasi bukan hanya opsi, tapi satu-satunya jalan keluar” untuk mencegah konflik penuh antarnegara besar.


Ke Mana Arah Krisis Ini?

Meski saat ini belum ada tanda-tanda intervensi langsung dari negara-negara besar seperti Rusia atau Cina, risiko meluasnya konflik tetap tinggi. 

Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar sidang darurat dalam beberapa hari mendatang, sementara berbagai negara menyerukan penghentian kekerasan dan kembalinya diplomasi.

Guterres dalam pernyataannya menutup dengan pesan yang gamblang namun mendesak: “Saya memanggil semua negara untuk menahan diri, menurunkan tensi, dan menjunjung tinggi Piagam PBB.”

Namun di tengah retorika politik dan diplomasi internasional, yang paling terancam tetaplah warga sipil. 

Mereka yang tinggal di wilayah konflik, dari Teheran hingga Tel Aviv, kini harus menghadapi hari-hari penuh kecemasan—tanpa kepastian kapan badai ini akan reda.