![]() |
Kehadiran militer Amerika Serikat di Timur Tengah menunjukkan strategi kekuasaan regional dan upaya menahan pengaruh Iran serta menjaga stabilitas kawasan. (Foto: Alamy) |
Serangan udara Amerika Serikat ke tiga fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025 bukan sekadar operasi militer biasa. Operasi bertajuk Midnight Hammer itu menyibak fakta bahwa AS telah membangun kekuatan militer raksasa di Timur Tengah dalam skala yang belum pernah terjadi sejak Perang Teluk.
Dengan 50.000 pasukan aktif, ratusan pesawat tempur, kapal induk, dan bom penghancur bunker seberat 13 ton, kawasan ini kini menjadi medan strategis paling sensitif di dunia.
Laporan dari Pentagon dan berbagai sumber independen mengonfirmasi bahwa AS menggunakan tujuh pesawat B-2 Spirit dalam operasi itu, didukung lebih dari 125 pesawat lainnya, termasuk F-16, F-22, dan F-35.
Fordow, Natanz, dan Isfahan—tiga lokasi yang selama ini jadi simbol kemandirian nuklir Iran—dihantam dengan bom bunker-buster GBU-57 dan puluhan rudal Tomahawk dari kapal selam.
Gambar satelit menunjukkan kerusakan masif, dengan Fordow menampakkan enam kawah besar.
Namun, kekuatan yang dipertontonkan AS tak muncul begitu saja. Sepekan sebelum serangan, Pentagon telah mengerahkan dua kapal induk—USS Nimitz dan USS Carl Vinson—ke kawasan Teluk dan Laut Arab.
Di Pangkalan Diego Garcia di Samudra Hindia, B-52H Stratofortress siap terbang dengan daya jelajah interkontinental. Belasan pesawat tanker KC-135 dan KC-46 juga disiagakan untuk mendukung operasi udara jarak jauh.
Tak hanya itu, AS juga mengandalkan jaringan delapan pangkalan utama di Bahrain, Qatar, Kuwait, Irak, Yordania, UEA, Arab Saudi, dan Mesir.
Di sanalah sekitar 40.000–50.000 pasukan siap digerakkan dalam tempo cepat. Sistem pertahanan udara Patriot dan radar canggih AN/TPY-2 juga sudah sejak April lalu dikirim melalui 73 penerbangan C-17 Globemaster III, menurut laporan Newsweek.
“Ini adalah bentuk postur militer terkuat AS di kawasan sejak invasi Irak 2003,” kata David Albright, Presiden Institute for Science and International Security (ISIS).
Ia menambahkan bahwa pengerahan ini bukan hanya pencegahan, tapi kemungkinan besar bagian dari strategi konfrontasi terbuka dengan Iran.
Dampaknya sudah terasa. Iran membalas dengan rudal balistik ke arah Israel, memicu koordinasi pertahanan antara sistem Iron Dome Israel dan Patriot milik AS.
Sementara itu, Pentagon memindahkan sebagian aset militernya dari pangkalan besar di Qatar ke lokasi-lokasi yang dianggap lebih aman dari serangan rudal Iran.
“Risiko eskalasi saat ini sangat tinggi,” kata N.R. Jenzen-Jones, analis senjata dari Armament Research Services (ARES). “Iran bisa membalas bukan hanya secara militer, tapi juga lewat serangan siber atau sabotase terhadap infrastruktur energi regional.”
Presiden Donald Trump, dalam pernyataan publiknya, menyebut serangan ini sebagai "sinyal tegas bahwa AS tidak akan mentolerir ancaman nuklir dari rezim Iran."
Namun, IAEA belum mengonfirmasi adanya kerusakan reaktor aktif atau kontaminasi radioaktif.
Artinya, serangan ini tampaknya sengaja diarahkan untuk melumpuhkan fasilitas tanpa menimbulkan krisis radiasi global.
Ke depan, pengamat menilai AS akan terus mempertahankan kehadiran militer besar di kawasan, terutama untuk menjamin keamanan mitra strategis seperti Israel, Arab Saudi, dan UEA.
Tapi biaya politik dan keamanan dari pengerahan ini masih belum jelas. “Setiap langkah setelah ini harus dipikirkan matang, karena satu serangan balasan yang salah arah bisa menyulut perang regional,” ujar Michael Knights, analis pertahanan dari The Washington Institute.
Dengan kekuatan udara dominan, persenjataan strategis, dan dukungan logistik lintas benua, AS kini menempatkan dirinya bukan hanya sebagai pemain, tapi juga wasit dalam konflik Timur Tengah.
Pertanyaannya, seberapa lama postur ini bisa dipertahankan tanpa memicu ledakan geopolitik yang lebih luas?
0Komentar