![]() |
Harga minyak dunia naik tajam setelah AS menyerang Iran. Potensi gangguan pasokan bisa dorong harga tembus US$130 per barel, pasar global waspada. (Foto: BAKAMLA) |
Harga minyak dunia berpotensi melonjak tajam usai Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (22/6/2025). Aksi militer ini menambah panas konflik yang sebelumnya sudah memanas antara Israel dan Iran sejak pertengahan Juni lalu.
Data dari Trading Economics mencatat harga minyak Brent ditutup di level US$77,01 per barel pada Jumat (20/6), melonjak 11% sejak pecahnya konflik pada 13 Juni.
Sementara minyak WTI naik hampir 10% ke posisi US$73,84 per barel. Analis memperkirakan kenaikan lanjutan antara US$3–US$5 per barel dalam waktu dekat.
Bahkan dalam skenario ekstrem seperti penutupan Selat Hormuz, harga bisa melonjak hingga US$130 per barel, menurut laporan JP Morgan dan Goldman Sachs.
“Pasar sudah mulai memasukkan premi risiko geopolitik ke dalam harga. Bahkan tanpa balasan langsung dari Iran, sentimen pasar tetap cemas,” ujar Jorge Leon, analis geopolitik di Rystad Energy dan mantan pejabat OPEC, dikutip dari Reuters.
AS Serang Iran, Selat Hormuz Terancam
Serangan udara oleh AS dilakukan setelah Israel lebih dulu menggempur fasilitas nuklir Iran. Iran merespons dengan menghujani Tel Aviv dengan rudal.
Kini, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur strategis tempat sepertiga ekspor minyak global melintas.
Langkah ini bisa menjadi game changer. Jika ditutup, pasokan minyak global akan terganggu parah, dan harga bisa melambung gila-gilaan.
“Selat Hormuz adalah nadi utama energi dunia. Jika itu sampai ditutup, bukan hanya harga minyak yang akan terguncang, ekonomi global pun ikut terkena imbas,” ungkap Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank.
Siapa yang Bakal Kena Dampaknya?
Konsumen: Kenaikan harga minyak hampir pasti akan mendorong kenaikan harga BBM di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Industri: Sektor transportasi, logistik, dan manufaktur bisa terkena efek domino dari lonjakan harga energi.
Pemerintah: Lonjakan harga minyak bisa memperberat beban subsidi, memperlebar defisit anggaran, atau bahkan memicu inflasi.
Menurut Investopedia, lonjakan harga minyak yang ekstrem juga bisa menekan pasar saham dan menunda pemangkasan suku bunga oleh The Fed, karena inflasi bisa kembali naik.
Di balik layar, tensi geopolitik makin rumit. AS disebut telah memanggil China untuk menahan Iran agar tidak menutup Selat Hormuz, menurut laporan CNBC. Pasalnya, China adalah importir terbesar minyak dari Teluk dan akan dirugikan jika jalur itu terhambat.
OPEC Bisa Jadi Penyelamat Sementara
Untuk saat ini, kondisi pasokan masih stabil. OPEC memiliki cadangan produksi yang bisa digunakan jika pasokan terganggu. Namun, pasar tetap waspada.
“Kondisi pasar memang relatif tenang karena pasokan masih aman. Tapi jika ada gangguan fisik pasokan, harga bisa melonjak sangat cepat,” jelas Giovanni Staunovo, analis di UBS, kepada CNN Business.
Iran belum memberikan respons militer langsung ke AS, tetapi para pejabatnya menyebut “semua opsi masih terbuka”, termasuk eskalasi yang lebih luas. Jika ketegangan berlanjut atau Selat Hormuz benar-benar ditutup, harga minyak bisa makin liar.
Pakar memperkirakan dalam beberapa hari ke depan, pergerakan harga minyak akan sangat ditentukan oleh:
Balasan Iran: Jika Iran menyerang balik atau menutup jalur minyak, harga bisa meledak.
Sikap China dan Rusia: Dua negara ini punya pengaruh besar terhadap arah konflik dan pasokan.
Langkah OPEC: Jika OPEC memutuskan menambah pasokan, lonjakan harga bisa diredam.
Harga minyak dunia sedang dalam tren naik tajam akibat eskalasi militer antara AS dan Iran. Jika situasi terus memanas, dan apalagi jika Selat Hormuz ditutup, dunia bisa menghadapi ledakan harga energi yang memicu inflasi global, gejolak pasar, dan tekanan keuangan bagi banyak negara.
Waspadai efek dana panas asing dan dampak berantai ke dompet masyarakat. Satu langkah salah di Timur Tengah, harga BBM bisa ikut melesat di SPBU terdekat.
0Komentar