Jerman mempercepat modernisasi bunker dan infrastruktur pertahanan sipil sebagai antisipasi terhadap meningkatnya ketegangan militer dengan Rusia. (Foto: Apluswire)

Ketegangan geopolitik di Eropa terus meningkat sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, dan Jerman, sebagai salah satu negara kunci di jantung Eropa, kini mengambil langkah drastis untuk memperkuat pertahanan sipilnya. Pemerintah di Berlin mempercepat rencana modernisasi dan ekspansi bunker bawah tanah sebagai bagian dari upaya sistemik menghadapi kemungkinan terburuk—yakni skenario konflik bersenjata di wilayah Eropa. 

Ralph Tiesler, kepala Kantor Federal Perlindungan Sipil dan Bantuan Bencana (BBK), mengungkapkan bahwa infrastruktur bawah tanah seperti garasi, terowongan metro, dan ruang bawah tanah umum akan diubah menjadi tempat penampungan darurat yang mampu menampung hingga satu juta orang. 

Langkah ini bukan hanya teknis dan logistik, tetapi juga simbolis: sebuah isyarat bahwa Jerman tidak lagi menganggap perdamaian di kawasan ini sebagai sesuatu yang bisa dianggap pasti.

Saat ini, Jerman hanya memiliki sekitar 580 bunker operasional dengan kapasitas 480.000 orang—kurang dari satu persen dari total populasi yang mencapai lebih dari 83 juta jiwa. Banyak dari bunker tersebut merupakan peninggalan era Perang Dingin, dengan kondisi yang sudah jauh dari memadai. 

Untuk mengejar ketertinggalan ini, pemerintah mengadopsi pendekatan pragmatis: alih-alih membangun bunker baru dari nol, yang membutuhkan waktu dan biaya besar, Berlin memilih untuk mengonversi ruang bawah tanah yang sudah ada menjadi fasilitas darurat. 

Hampir setiap ruang bawah tanah, menurut Tiesler, bisa disulap menjadi tempat perlindungan yang layak dengan investasi yang lebih efisien.

Anggaran yang digelontorkan untuk proyek ini tidak kecil—sekitar €30 miliar selama satu dekade ke depan. Sebanyak €10 miliar di antaranya ditargetkan untuk digunakan sebelum 2029, tahun yang oleh pemerintah disebut sebagai tenggat untuk mencapai kesiapan penuh. 

Rencana nasional yang lebih rinci dijadwalkan akan diumumkan menjelang akhir musim panas 2025. Di luar pembangunan bunker, Jerman juga memperkuat berbagai aspek pertahanan sipil lainnya. 

Jumlah sirene peringatan akan digandakan, aplikasi darurat diperbarui, rumah sakit disiapkan untuk menangani lonjakan pasien, dan wacana pengembalian layanan sipil wajib kembali mencuat untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di sektor krusial.

Semua ini terjadi seiring dengan ambisi pemerintah di bawah Kanselir Friedrich Merz yang ingin menjadikan Bundeswehr sebagai militer terkuat di Eropa. 

Dengan rencana pengeluaran pertahanan mencapai €90 miliar pada 2028 dan total investasi hingga setengah triliun euro dalam satu dekade, Jerman dengan jelas sedang merombak kebijakan keamanan nasionalnya secara mendalam. Namun, jalan menuju kekuatan militer yang lebih besar tidaklah mulus. 

Bundeswehr masih menghadapi kekurangan personel dan berbagai kendala struktural. Saat ini, jumlah prajurit aktif hanya sekitar 181.000 orang, jauh dari target 203.000 pada 2031. Laporan dari Bundestag juga menyoroti ketidaksesuaian anggaran yang dapat menghambat realisasi ambisi tersebut.

Dari sisi politik luar negeri, respons Rusia terhadap rencana Jerman sangat keras. Moskow menuduh Berlin menyebarkan narasi ancaman palsu demi membenarkan ekspansi militer. 

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, bahkan memperingatkan bahwa dukungan militer Jerman terhadap Ukraina bisa membawa negara itu ke arah “kehancuran.” 

Di mata publik Rusia, Jerman kini dianggap sebagai negara paling tidak bersahabat, bahkan melebihi Amerika Serikat, menurut survei terbaru Levada Center. Perubahan persepsi ini menjadi cerminan betapa dalamnya jurang politik dan diplomatik antara kedua negara.

Namun Jerman tidak sendiri dalam tren ini. Negara-negara Eropa lainnya juga melakukan hal serupa. Polandia, misalnya, merencanakan pengeluaran pertahanan hampir 5% dari PDB-nya pada 2025. 

Sementara itu, Finlandia menjadi contoh utama bagaimana sistem pertahanan sipil bisa dibangun secara menyeluruh dan efektif. Dengan 50.000 bunker yang mampu menampung sekitar 85% dari populasinya, Finlandia memberi inspirasi bagi banyak negara Eropa, termasuk Jerman, meskipun skalanya tentu sangat berbeda.

Rencana Jerman bukan tanpa risiko. Selain tekanan keuangan yang besar, peningkatan wacana soal perang bisa menimbulkan kepanikan atau kelelahan psikologis di kalangan masyarakat. 

Meskipun Tiesler menegaskan bahwa ini adalah langkah kesiapsiagaan dan bukan tanda bahaya langsung, narasi ini tetap mempengaruhi suasana kebatinan publik. 

Koordinasi lintas sektor juga akan menjadi tantangan tersendiri, terutama karena banyak infrastruktur yang akan digunakan merupakan milik pemerintah daerah atau swasta.

Di tengah segala kerumitan ini, satu hal menjadi jelas: Jerman tidak lagi bisa mengandalkan asumsi stabilitas yang selama ini menjadi fondasi Eropa pasca-Perang Dingin. 

Modernisasi bunker bukan hanya soal logistik perlindungan, melainkan pernyataan politik bahwa negara ini sedang bersiap menghadapi era ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Harapannya, tentu saja, semua langkah ini tidak akan pernah diuji dalam realitas peperangan. Tetapi jika krisis benar-benar datang, Jerman tampaknya tidak ingin berada dalam posisi yang tidak siap.