Di saat mayoritas mata uang Asia menguat akibat meredanya sentimen global, rupiah justru tetap melemah. Konflik Israel-Iran dan kenaikan harga minyak menjadi beban tambahan bagi rupiah. (Foto: hukamanews.com/net)

Pasar valuta Asia menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan mayoritas mata uang bergerak ke zona hijau, mengikis sentimen risk-off yang melanda pasar sejak serangan Israel ke Iran pada Jumat lalu. Namun, rupiah Indonesia justru tetap tertekan, mencatat pelemahan tipis di pasar spot. 

Pergerakan ini mencerminkan tantangan unik yang dihadapi Indonesia di tengah ketidakpastian geopolitik global dan kenaikan harga minyak dunia.

Berdasarkan data Bloomberg, mayoritas mata uang Asia menguat pada tengah hari waktu Jakarta, setelah sempat terpukul pada pagi hari. 

Won Korea Selatan memimpin penguatan dengan kenaikan 0,22%, diikuti oleh dolar Taiwan, dolar Singapura, yuan offshore, rupee India, ringgit Malaysia, serta yen dan yuan Tiongkok. 

Sementara itu, rupiah, bersama dengan peso Filipina dan baht Thailand, masih berada di zona merah.

Rupiah di pasar spot tercatat berada di level Rp16.309 per dolar AS, melemah tipis 0,05% dibandingkan penutupan Jumat sebelumnya. Pagi tadi, rupiah sempat menyentuh level terendahnya di Rp16.314 per dolar AS. 

Data dari Trading Economics menunjukkan USD/IDR di sekitar 16.304 pada hari yang sama, dengan kenaikan harian 0,12%, mengkonfirmasi tekanan pada rupiah. 

Pelemahan ini kontras dengan penguatan mata uang Asia lainnya, yang mendapat manfaat dari sedikit melemahnya indeks dolar AS (DXY) di kisaran 98,1.


Dampak Konflik Israel-Iran

Eskalasi konflik antara Israel dan Iran menjadi pemicu utama ketidakpastian di pasar global. Serangan rudal yang saling balas antara kedua negara, yang menargetkan fasilitas strategis termasuk ladang minyak, telah mendorong harga minyak dunia melonjak. 

Harga minyak mentah Brent mendekati US$75 per barel, seperti dilaporkan Reuters, mencerminkan kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan minyak dari Timur Tengah.

Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan harga ini. Kementerian Keuangan RI, melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Deni Surjantoro, menyatakan bahwa konflik yang berkepanjangan dapat meningkatkan inflasi domestik, biaya subsidi energi, dan beban fiskal. 

“Dampak terhadap perekonomian Indonesia akan sangat bergantung pada seberapa panjang dan luas eskalasi konflik ini berlangsung,” ujar Deni kepada Bloomberg Technoz pada 16 Juni 2025.

Pernyataan Presiden AS Donald Trump pada Minggu, 15 Juni 2025, menambah dimensi baru pada situasi ini. 

Trump menyatakan keyakinannya bahwa Israel dan Iran dapat mencapai kesepakatan damai, meskipun ia mengakui bahwa kedua pihak mungkin perlu “bertarung habis-habisan” sebelum siap bernegosiasi.

“Saya pikir ada peluang bagus untuk tercapainya kesepakatan,” ujar Trump di Gedung Putih sebelum berangkat ke KTT G-7 di Kanada. 

Namun, Israel tetap mengisyaratkan tidak akan menghentikan operasi militernya untuk menargetkan kemampuan nuklir Iran, sementara Iran terus meningkatkan serangan baliknya.


Tekanan pada Surat Utang dan Pasar Saham

Sentimen risk-off global juga berdampak pada pasar keuangan domestik. Harga surat utang negara (SUN) Indonesia mengalami tekanan, dengan mayoritas tenor mencatat kenaikan imbal hasil. 

Berdasarkan data Bloomberg, yield SUN tenor 1 tahun naik 2,1 basis poin (bps) ke 6,191%, sementara tenor 5 tahun dan 10 tahun masing-masing naik 0,7 bps dan 2,9 bps. 

Kenaikan yield ini mengindikasikan penurunan harga SUN, terutama pada tenor panjang, sejalan dengan fluktuasi di pasar saham domestik. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,01% pada sesi pertama perdagangan, setelah sempat menguat di awal sesi.

Kementerian Keuangan RI menyoroti potensi risiko fiskal akibat kenaikan harga minyak. Lonjakan harga komoditas energi dapat memperburuk inflasi dan meningkatkan beban subsidi energi, yang pada akhirnya memengaruhi stabilitas fiskal. 

Selain itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah berpotensi mengganggu sentimen pasar keuangan global, yang dapat memperlemah posisi rupiah lebih lanjut. 

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan, terus memantau perkembangan ini untuk mengantisipasi dampaknya terhadap perekonomian.


Analisis dan Prospek

Berbeda dengan mata uang Asia lainnya seperti won Korea Selatan atau dolar Taiwan, rupiah menghadapi tekanan tambahan karena ketergantungan Indonesia pada impor minyak. 

Kenaikan harga minyak dunia memperbesar defisit transaksi berjalan dan menekan cadangan devisa, yang pada akhirnya melemahkan rupiah. 

Sementara pelemahan DXY memberikan ruang bagi penguatan mata uang Asia lainnya, rupiah tampaknya belum mampu memanfaatkan momentum ini.

Laporan dari ANTARA News pada 13 Juni 2025 menyebutkan bahwa Indonesia mengutuk serangan Israel ke Iran dan menyerukan kedua pihak untuk menahan diri, mencerminkan kekhawatiran akan dampak geopolitik terhadap ekonomi domestik. 

Sementara itu, prediksi dari VOI.id pada awal Juni 2025 memperingatkan potensi pelemahan rupiah hingga Rp16.370 per dolar AS jika ketegangan global meningkat, sebuah skenario yang kini tampak relevan.

Ke depan, pergerakan rupiah akan sangat bergantung pada perkembangan konflik Israel-Iran dan stabilitas harga minyak. Jika ketegangan mereda atau negosiasi damai menghasilkan kemajuan, tekanan pada rupiah mungkin berkurang. 

Namun, eskalasi lebih lanjut dapat memperburuk pelemahan rupiah dan menambah tantangan bagi perekonomian Indonesia.

Kenaikan harga minyak akibat konflik Israel-Iran, ditambah dengan sentimen risk-off global, menjadi faktor utama yang melemahkan rupiah dan menekan harga SUN serta pasar saham domestik.

Pemerintah Indonesia perlu terus memantau situasi ini sambil mengambil langkah-langkah untuk mengelola risiko fiskal dan menjaga stabilitas ekonomi. 

Prospek rupiah akan bergantung pada dinamika geopolitik dan kemampuan Indonesia untuk mengelola dampak kenaikan harga energi.