Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp10.000 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur nasional hingga 2029. Pemerintah hanya mampu menutup 40% dari kebutuhan tersebut, sisanya diharapkan datang dari sektor swasta dan mitra internasional. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam memastikan konektivitas dan pemerataan akses layanan dasar bagi lebih dari 270 juta penduduknya. Dalam gelaran International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 yang berlangsung di Jakarta pada 11–12 Juni, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur demi mendukung target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% per tahun di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Namun, besarnya kebutuhan dana menjadi tantangan utama. Untuk periode 2025–2029, dibutuhkan investasi sekitar US$625 miliar atau setara Rp10.000–10.302 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.000–16.475 per dolar AS). 

Angka ini mencerminkan kompleksitas geografis, sosial, dan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas.

Infrastruktur menjadi fondasi utama dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, mulai dari konektivitas antarwilayah hingga penyediaan layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan sanitasi. 

Hingga akhir 2024, akses air bersih telah menjangkau 90% populasi dan listrik mencapai 98%, namun kesenjangan antarwilayah—terutama di daerah terpencil—masih menjadi tantangan.

Pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, jaringan irigasi, dan pembangkit energi terbarukan menjadi prioritas untuk mendukung ketahanan pangan, energi, dan pengurangan ketimpangan.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari total kebutuhan investasi infrastruktur sebesar US$625 miliar, kapasitas pendanaan pemerintah melalui APBN dan APBD hanya mampu mencakup sekitar 40% atau sekitar US$250 miliar. 

Rekomendasi
Rinciannya, kontribusi APBN sebesar 23% (US$143,84 miliar) dan APBD 17% (US$106,31 miliar). Artinya, masih ada kesenjangan sebesar US$375 miliar atau 60% yang harus dipenuhi dari luar anggaran pemerintah, seperti melalui investasi sektor swasta, BUMN, dan mitra internasional.

Beberapa tantangan utama dalam pendanaan infrastruktur antara lain:

• Terbatasnya ruang fiskal: Beban belanja negara yang tinggi membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek-proyek besar.

• Tekanan global: Ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, dan risiko geopolitik meningkatkan risiko dan biaya investasi.

• Tata kelola proyek yang belum konsisten: Kurangnya dokumen proyek yang sesuai standar internasional membuat investor enggan terlibat.
advertisement

• Kapasitas swasta yang terbatas: Perusahaan domestik sering kekurangan dana dan keahlian teknis untuk terlibat dalam proyek berskala besar.

Isu perubahan iklim juga menjadi pertimbangan penting. Dengan suhu global yang terus naik, proyek infrastruktur kini dituntut untuk tahan terhadap risiko seperti banjir, gempa bumi, dan kenaikan permukaan laut. 

Ini memang menambah biaya pembangunan, tetapi sekaligus membuka peluang untuk mengadopsi pendekatan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Untuk menutup kesenjangan pendanaan, pemerintah mendorong kolaborasi yang lebih erat dengan sektor swasta dan mitra global. 

Kontribusi sektor swasta ditargetkan mencapai 30% (US$187,61 miliar), sama dengan kontribusi dari BUMN. Salah satu strategi utama adalah penguatan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). 

Hingga 2021, telah ada 28 proyek KPBU dengan nilai total US$17 miliar di sektor jalan tol, air minum, dan TIK.

Guna menarik minat investor, pemerintah juga memberikan insentif seperti:

• Viability Gap Fund (VGF): Dana bantuan untuk menutup kesenjangan kelayakan finansial proyek.
• Availability Payment: Skema pembayaran berkala dari pemerintah kepada operator proyek, terlepas dari volume penggunaan.

Beberapa proyek prioritas yang ditawarkan dalam ICI 2025 antara lain:

• Tol Gilimanuk–Mengwi (Rp25,4 triliun)

• Tol Pejagan–Cilacap (Rp27,59 triliun)

• Tol Sentul Selatan–Karawang Barat (Rp34,75 triliun)

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Manggar, Balikpapan (US$115,31 juta)

Mitra internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), serta Australia melalui Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT) juga berperan penting, tidak hanya dalam pendanaan, tetapi juga dalam aspek teknis dan penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG).

Platform SDG Indonesia One yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) telah berhasil menarik komitmen pembiayaan sebesar US$3,29 miliar dari 38 mitra, dengan US$399 juta telah disalurkan untuk mendukung 111 proyek.

Kehadiran delegasi dari 26 negara dalam ICI 2025 menunjukkan tingginya minat global terhadap potensi investasi infrastruktur di Indonesia.

Pemerintah juga memperkenalkan berbagai mekanisme pendanaan inovatif untuk menjawab tantangan pembiayaan:
advertisement

• Green Sukuk dan Obligasi Hijau: Telah diterbitkan senilai US$6,6 miliar di pasar global dan Rp78,7 triliun di dalam negeri, untuk mendanai proyek energi bersih, transportasi berkelanjutan, dan konservasi.

• Sekuritisasi aset infrastruktur: Aset yang telah beroperasi seperti jalan tol dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh dana tambahan.

• Limited Concession Scheme (LCS): Memberi hak kelola kepada swasta atas aset pemerintah atau BUMN untuk mendapatkan pendapatan jangka panjang.

• KIK dan DINFRA: Instrumen pasar modal yang ditujukan bagi investor institusi maupun ritel yang tertarik pada proyek infrastruktur.

Selain itu, pemerintah terus memperbaiki tata kelola melalui lembaga seperti BLU LMAN untuk mempercepat pembebasan lahan, dan PTSP untuk mempercepat perizinan proyek. Kebijakan One Map Policy juga membantu mengatasi konflik tata ruang yang selama ini menghambat investasi.

Lebih dari sekadar membangun jalan atau jembatan, pembangunan infrastruktur di Indonesia bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air, sekaligus mengurangi ketimpangan regional. 

Proyek-proyek seperti irigasi, pembangkit listrik tenaga surya dan air, serta pengelolaan sampah menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang mengedepankan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Keberhasilan agenda ini sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, konsistensi regulasi, dan kemampuan menarik investasi global. 

ICI 2025 menjadi panggung penting untuk memperkenalkan potensi besar Indonesia dalam pembangunan infrastruktur kepada dunia.

Dengan strategi yang tepat, tata kelola yang kuat, serta komitmen pada keberlanjutan dan inklusivitas, Indonesia memiliki peluang nyata untuk mewujudkan sistem infrastruktur modern yang menjembatani tantangan geografis dan mendorong pertumbuhan ekonomi merata ke seluruh penjuru negeri.

Aplus Insight