![]() |
Pemerintah usulkan rumah subsidi hanya 14 m². IAI menolak keras, menyebutnya tidak manusiawi dan melanggar standar hunian layak nasional. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Rencana pemerintah mengecilkan ukuran rumah subsidi jadi hanya 18 meter persegi menuai kritik tajam. Usulan ini dinilai tidak manusiawi dan bisa melanggar standar hunian layak, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengusulkan konsep ini sebagai solusi tingginya harga tanah di kota-kota besar.
Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan bahwa hunian mikro tersebut menyasar generasi muda yang ingin tinggal dekat pusat kota.
“Generasi sekarang menginginkan rumah yang dekat dengan pusat kota. Sementara itu, harga tanah di perkotaan sudah melambung tinggi,” ujar Maruarar dalam pernyataan resminya.
Bekerja sama dengan Lippo Group, pemerintah bahkan sudah membuat mockup rumah subsidi superkecil itu. Ada dua desain:
Luas tanah 25 m², luas bangunan 14 m².
Luas tanah 26,3 m², luas bangunan 23,4 m².
Namun, rumah seukuran setengah garasi mobil ini langsung jadi sorotan. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menilai ukuran tersebut tidak hanya melanggar standar teknis, tapi juga melecehkan martabat manusia.
“Secara fisik dan sosial, hunian 14 meter persegi untuk satu keluarga nyaris tidak memberi ruang gerak manusiawi, apalagi untuk tumbuh, berinteraksi, atau sekadar bernafas bersama,” tegas Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (17/6).
Lebih lanjut, Georgius menjelaskan bahwa secara ergonomis, ruang gerak minimal seseorang dalam posisi diam saja butuh sekitar 0,5 m². Jika dihuni satu keluarga, rumah sekecil itu jelas menyalahi prinsip hunian sehat.
Tak hanya dari sisi kenyamanan, usulan ini juga berpotensi menabrak aturan. Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, mengakui bahwa konsep rumah mungil ini bisa berbenturan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 yang mengatur luas efektif rumah subsidi minimal 54 m².
“Kita juga enggak mau aturan ini nanti bertentangan dengan PP yang ada,” kata Sri Haryati dalam acara di Lippo Mall Nusantara, Jakarta, Senin (16/6).
Secara nasional, Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2017 juga menetapkan luas minimal hunian layak untuk keluarga adalah 36 m², dengan ruang minimal per orang 7,2 m². Artinya, rumah subsidi yang hanya 14–18 m² berada jauh di bawah standar.
“Dalam ukuran 14 dan 18 meter persegi, ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial dan fisik menjadi begitu terbatas, bahkan tidak mencapai standar minimum hunian layak,” ujar Georgius.
Kritik terhadap rumah “kotak sepatu” ini juga datang dari media internasional. Dalam laporan Jakarta Globe berjudul “This Isn't Hong Kong, Indonesia's Shoebox Housing Plan Draws Outrage” yang terbit 18 Juni 2025, ukuran 18 m² disebut hanya setengah dari ukuran garasi mobil di AS.
Georgius bahkan menegaskan, “This isn’t Hong Kong”—menekankan bahwa standar kepadatan Hong Kong tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Tak hanya soal ruang, ada kekhawatiran soal dampak sosial jangka panjang. Ketimpangan spasial dinilai bisa memicu “kohesi sosial yang agresif”, karena warga tak lagi punya ruang untuk hidup, berinteraksi, apalagi berkembang.
“Ketika standar ruang hidup direndahkan demi mengejar angka, kita berisiko membangun kota yang rapat bangunan tapi kosong kemanusiaan,” ujar Georgius.
Sejauh ini, respons publik masih minim di media sosial seperti X, namun tekanan dari profesional arsitektur dan organisasi kemanusiaan bisa memaksa pemerintah meninjau ulang usulan tersebut.
Apa Selanjutnya?
Jika pemerintah ingin tetap mendorong konsep hunian mikro, perlu revisi regulasi seperti PP 12/2021 dan pendekatan desain yang memperhatikan aspek kenyamanan dan kesehatan penghuni.
Alternatif seperti pembangunan vertikal, insentif untuk pengembang ramah sosial, atau perluasan akses transportasi bisa menjadi solusi yang lebih beradab.
Namun satu hal jelas—rumah bukan sekadar bangunan murah. Ia adalah ruang untuk hidup, berkembang, dan bermimpi. Dan dalam ukuran 14 meter persegi, mimpi itu mungkin terlalu sesak untuk diwujudkan.
0Komentar