![]() |
Australia sukses memanfaatkan teknologi seperti satelit dan traktor otonom dalam pertanian, sementara Indonesia masih tertinggal dari sisi produktivitas dan ekspor. (Foto: ABC News/Jess Davis) |
Australia kembali mencatat pencapaian besar di sektor pertanian. Pada tahun 2023-24, nilai ekspor pertanian negeri kanguru itu tembus AUD 72 miliar atau setara Rp 770 triliun, dengan 70% hasil produksinya diekspor ke lebih dari 190 negara.
Di sisi lain, Indonesia—meski punya populasi petani terbesar di ASEAN—masih menghadapi tantangan klasik: rendahnya produktivitas dan ketergantungan pada cuaca.
Dengan lebih dari 87.000 petani aktif, Australia bukan hanya negara agraris, tapi kekuatan ekspor global di sektor ini. Komoditas seperti gandum, daging sapi, kapas, dan anggur menjadi andalan utama.
Menurut laporan resmi Kementerian Pertanian Australia (DAFF), nilai ekspor sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (AFF) total mencapai AUD 75,6 miliar pada 2023-24.
“Sekitar 70% dari produksi pertanian kami dikirim ke pasar global, terutama China, ASEAN, dan Jepang,” tulis laporan Snapshot of Australian Agriculture 2025.
Dari total itu, gandum menyumbang AUD 16,7 miliar, diikuti daging sapi AUD 10,7 miliar, dan kapas AUD 4,9 miliar. Hebatnya, semua ini dilakukan oleh mayoritas petani keluarga, bukan konglomerasi besar.
RI Masih Ketinggalan di Produktivitas & Teknologi
Bandingkan dengan Indonesia. Data BPS menyebutkan kontribusi sektor pertanian ke PDB Indonesia pada 2023 sebesar 12,4%, tapi ekspor pertanian RI hanya US$ 5,16 miliar (Rp 83 triliun).
Artinya, ekspor pertanian Australia hampir 10 kali lipat lebih besar dari Indonesia, meski luas lahan RI lebih kecil.
Pakar pertanian dari IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa, menyebut akar masalahnya terletak pada produktivitas dan adopsi teknologi.
“Produktivitas padi kita stagnan di angka 5 ton per hektare selama 20 tahun. Sementara Australia sudah pakai teknologi satelit, drone, dan traktor otonom. Kita masih bergantung pada hujan dan pupuk subsidi,” ujarnya.
Teknologi Tinggi Jadi Kunci
Australia tidak main-main dalam mengadopsi teknologi pertanian. Petani di sana menggunakan:
• Satelit untuk pemantauan kelembapan tanah dan manajemen irigasi.
• Drone untuk menyemprot pestisida dan memantau kesehatan tanaman.
• Traktor otonom untuk menanam dan memanen secara presisi.
Menurut Productivity Commission Australia, efisiensi pertanian naik signifikan sejak adopsi digital farming dilakukan satu dekade terakhir.
“Dengan teknologi ini, satu orang petani bisa mengelola ribuan hektare lahan dengan akurasi tinggi,” ujar analis pertanian dari National Farmers' Federation (NFF), Peter Nixon.
Daya Saing Ekspor RI Tertekan
Ketertinggalan Indonesia bukan sekadar persoalan teknologi, tapi juga menyangkut daya saing global. Biaya produksi tinggi, ketergantungan pada impor pupuk dan benih, serta minimnya akses petani terhadap pasar ekspor menjadi hambatan utama.
Akibatnya, ekspor komoditas unggulan RI seperti sawit, kopi, dan karet terus ditekan oleh negara pesaing, termasuk Australia.
“Tanpa reformasi struktural dan akselerasi modernisasi pertanian, kita akan semakin tergilas dalam persaingan global,” tegas Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Apa Langkah Selanjutnya?
Pemerintah RI sebenarnya sudah meluncurkan program Food Estate dan Smart Farming 4.0, tapi pelaksanaannya masih terbatas dan belum menyentuh akar masalah, seperti reformasi distribusi pupuk, akses modal petani, dan konektivitas ke pasar ekspor.
Jika ingin mengejar ketertinggalan, pakar menyarankan tiga langkah strategis:
• Adopsi teknologi berbasis data di tingkat petani kecil.
• Perluasan skala usaha pertanian, bukan lagi skala rumah tangga.
• Peningkatan kapasitas ekspor dan diplomasi dagang.
“Petani kita harus dilatih bukan hanya jadi penggarap lahan, tapi juga pebisnis global. Kalau Australia bisa, kenapa kita tidak?” tutup Prof. Dwi Andreas.
Australia menunjukkan bahwa pertanian bukan sekadar soal tanah dan cuaca, tapi soal efisiensi, data, dan orientasi ekspor. Sementara Indonesia masih berkutat di masalah klasik, Australia melesat dengan teknologi. Perbedaan ini akan menentukan siapa yang jadi pemasok pangan dunia di masa depan.
0Komentar