Lima negara dengan kekayaan tambang melimpah justru mengalami kehancuran ekonomi, konflik sosial, dan krisis politik. (Foto: Dok. MI)

Kekayaan alam seperti nikel, kobalt, fosfat, hingga minyak sering dianggap sebagai anugerah yang dapat mengangkat perekonomian suatu negara. Namun, jika dikelola tanpa kebijaksanaan, sumber daya ini justru bisa menjadi kutukan. Banyak negara yang kaya akan tambang kini menghadapi kehancuran lingkungan, krisis sosial, dan ketimpangan ekonomi akibat eksploitasi berlebihan. 

Berikut adalah kisah lima negara yang terpuruk akibat pengelolaan tambang yang buruk, serta pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman mereka.


Republik Demokratik Kongo

Republik Demokratik Kongo (DRK) adalah salah satu negara terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam, dengan cadangan kobalt, tembaga, dan berlian yang melimpah. 

Kobalt, bahan utama baterai ponsel dan kendaraan listrik, menjadikan DRK sebagai pemasok utama dunia. Namun, di balik kilau kekayaan ini, rakyatnya justru hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Penambangan besar-besaran di DRK telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, seperti deforestasi dan pencemaran air. 

Komunitas lokal kehilangan tanah mereka, sementara pekerja tambang menghadapi risiko kesehatan akibat paparan bahan kimia berbahaya. 

Lebih buruk lagi, hasil tambang sering kali hanya menguntungkan segelintir elit dan perusahaan asing, sementara jutaan warga hidup di bawah garis kemiskinan. 

Konflik bersenjata yang didorong oleh perebutan kendali tambang juga memperburuk situasi, menjadikan DRK contoh nyata dari “kutukan sumber daya”.


Venezuela

Venezuela pernah menjadi salah satu negara terkaya di Amerika Latin berkat cadangan minyak terbesar di dunia. Namun, ketergantungan ekstrem pada minyak, ditambah dengan korupsi dan penurunan harga minyak global, telah meruntuhkan perekonomiannya. 

Antara 2013 dan 2023, standar hidup di Venezuela anjlok hingga 72%, dengan hiperinflasi yang membuat harga barang melonjak tak terkendali.

Selain minyak, penambangan emas ilegal di wilayah seperti Amazonas telah memperparah kerusakan lingkungan, dengan merkuri mencemari sungai dan hutan. Komunitas adat, seperti suku Yanomami, kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. 

Kekerasan oleh kelompok bersenjata yang mengendalikan tambang emas juga merajalela, sementara pemerintah justru mendorong eksploitasi tambang baru di wilayah sengketa Essequibo, memicu ketegangan geopolitik. 

Alih-alih membawa kesejahteraan, kekayaan alam Venezuela memperkuat ketidakstabilan dan otoritarianisme.


Nauru

Pada 1970-an, Nauru adalah negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia berkat ekspor fosfat. Pulau kecil di Oseania ini menikmati kemakmuran dari penambangan fosfat yang dimulai sejak era kolonial pada 1907. 

Namun, setelah kemerdekaan pada 1968, eksploitasi besar-besaran membuat 80% daratan Nauru menjadi gurun tandus. Vegetasi hilang, tanah subur lenyap, dan biodiversitas hancur.

Ketika cadangan fosfat habis pada awal 2000-an, ekonomi Nauru runtuh. Pemerintahan yang korup dan tidak kompeten memperburuk situasi, dengan dana publik disia-siakan untuk gaya hidup mewah para elit. 

Kini, Nauru bergantung pada bantuan asing, dan budaya tradisionalnya terkikis akibat fokus pada tambang. Kisah Nauru adalah peringatan keras tentang bahaya ketergantungan pada satu sumber daya tanpa perencanaan jangka panjang.


Angola

Angola kaya akan berlian dan minyak, namun kekayaan ini lebih sering memicu konflik daripada kesejahteraan. Penambangan berlian, terutama di wilayah Lunda-Norte, telah menyebabkan kerusakan lingkungan seperti erosi tanah dan pencemaran air. 

Sekitar 1,3 juta penambang liar, banyak di antaranya warga asing, terlibat dalam aktivitas ilegal yang merugikan negara dan merusak ekosistem.

Komunitas lokal kehilangan tanah dan rasa aman, sementara kekerasan terkait tambang terus meningkat. Meskipun sektor tambang menyumbang pendapatan besar bagi Angola, manfaatnya tidak merata. 

Lemahnya pengawasan dan korupsi membuat hasil tambang sering kali tidak sampai ke rakyat, menjadikan Angola contoh bagaimana kekayaan alam bisa memperburuk ketimpangan sosial.


Zimbabwe

Zimbabwe memiliki ladang berlian Marange yang kaya, namun rakyatnya hampir tidak merasakan manfaatnya. Sejak 2010, ekspor berlian bernilai lebih dari 2,5 miliar dolar AS, tetapi hanya sekitar 300 juta dolar yang masuk ke kas negara. 

Sisanya diduga mengalir ke jaringan elit penguasa dan lembaga represif, memperkuat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Penambangan, baik skala besar maupun artisanal, telah menyebabkan pencemaran air, erosi tanah, dan kehancuran ekosistem. 

Pekerja tambang menghadapi kondisi kerja yang berbahaya, sering kali tanpa perlengkapan pelindung, sementara komunitas lokal tergusur dari tanah mereka. 

Kekerasan oleh geng kriminal dan kolusi dengan aparat negara semakin memperburuk situasi, menjadikan Zimbabwe bukti bahwa kekayaan tambang bisa menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik.



Kisah kelima negara ini menunjukkan bahwa kekayaan alam tidak otomatis membawa kemakmuran. Tanpa pengelolaan yang bijak, tambang justru dapat menghancurkan lingkungan, memicu konflik sosial, dan memperdalam ketimpangan ekonomi. 

Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah “kutukan sumber daya” meliputi:

1. Regulasi yang Kuat: Pemerintah perlu menerapkan aturan ketat untuk meminimalkan dampak lingkungan dan memastikan praktik tambang yang bertanggung jawab.

2. Transparansi dan Akuntabilitas: Pendapatan dari tambang harus dikelola secara transparan, dengan pengawasan ketat untuk mencegah korupsi.

3. Pemberdayaan Komunitas Lokal: Masyarakat di sekitar tambang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan mendapatkan manfaat langsung dari hasil tambang.

4. Diversifikasi Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada satu komoditas dapat mencegah keruntuhan ekonomi saat sumber daya habis atau harga global jatuh.

5. Investasi dalam Keberlanjutan: Dana dari tambang harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan demi kesejahteraan jangka panjang.

Kekayaan alam seharusnya menjadi berkah, bukan kutukan. Pengalaman DRK, Venezuela, Nauru, Angola, dan Zimbabwe menunjukkan bahwa tanpa pengelolaan yang bijak, sumber daya alam hanya akan meninggalkan kerusakan dan penderitaan. 

Dengan regulasi yang tepat, transparansi, dan komitmen untuk keberlanjutan, negara-negara kaya tambang dapat mengubah potensi mereka menjadi fondasi kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan.