![]() |
Iran resmi tutup Selat Hormuz usai serangan AS. Dunia waspada: 20% pasokan minyak global terancam, harga melonjak tajam. (Foto: Atta Kanare/Getty Images) |
Iran akhirnya resmi menutup Selat Hormuz pada Senin, 23 Juni 2025, waktu setempat, menyusul eskalasi tajam konflik dengan Amerika Serikat. Penutupan jalur pelayaran strategis ini mengancam kelancaran distribusi 20% pasokan minyak global atau sekitar 20,3 juta barel per hari, memicu lonjakan harga dan ketidakpastian geopolitik yang membayangi pasar global.
Kementerian Pertahanan Iran mengonfirmasi perintah eksekusi penutupan keluar setelah mendapatkan restu dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, menjadikan keputusan parlemen pada 22 Juni lalu kini efektif berlaku.
Armada Laut Garda Revolusi dikerahkan untuk mengawal operasi penutupan dengan pengawasan ketat di seluruh wilayah selat.
Brent crude melonjak hingga 6,1% menjadi US$85,04 per barel hanya dalam dua jam setelah kabar penutupan resmi beredar.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga terkerek 5,7% menjadi US$82,33. Pasar global pun bergejolak, dengan indeks saham sektor energi menguat, sementara maskapai dan industri pengangkutan terpukul akibat ancaman lonjakan biaya bahan bakar.
Negara-negara Asia seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan, yang sangat tergantung pada jalur pasokan dari Teluk, menjadi pihak paling terdampak.
“China adalah pembeli utama minyak Iran dan Teluk. Gangguan ini bisa memicu perlambatan ekonomi kawasan jika tidak segera teratasi,” ujar Dr. Liu Ming, analis geopolitik dari Shanghai Institute of International Studies.
Langkah ini merupakan respons langsung terhadap serangan udara AS pada 20 Juni lalu ke tiga situs nuklir utama Iran — Natanz, Isfahan, dan Fordow.
Serangan yang menggunakan lebih dari 24 rudal Tomahawk dan enam bom bunker buster itu disebut Iran sebagai “agresi ilegal” dan pelanggaran terhadap Piagam PBB.
Presiden AS Donald Trump menyatakan tindakan tersebut “perlu untuk mencegah pengayaan uranium lebih lanjut” dan memperingatkan bahwa serangan tambahan bisa dilakukan jika Iran tetap melanjutkan program nuklirnya.
Namun, reaksi Iran justru memperkeras posisi, dengan penutupan Selat Hormuz sebagai langkah simbolik dan strategis.
Selain memicu krisis energi, penutupan selat juga berpotensi memicu konflik militer terbuka. Armada Kelima AS yang bermarkas di Bahrain kini berada dalam siaga penuh.
“Kami tidak akan membiarkan kebebasan navigasi internasional dikompromikan,” ujar Laksamana Muda Matthew E. Schaffer, komandan Armada Kelima, dalam konferensi pers bersama NATO.
Sementara itu, analis dari Eurasia Group memperingatkan bahwa situasi ini bisa menjadi titik awal konflik regional.
“Jika lalu lintas kapal tanker benar-benar dihentikan, ini bukan sekadar krisis minyak, tapi bisa menjadi perang proksi baru di Teluk,” ujar Cliff Kupchan, Chairman Eurasia Group.
Iran disebut telah menyiapkan berbagai skenario, mulai dari peletakan ranjau laut, penggunaan rudal anti-kapal seperti Ghader dan Nasir, hingga serangan drone dan kapal cepat kecil dalam taktik swarm. Namun para pakar menilai langkah ini juga bisa menjadi bumerang bagi Teheran.
“Jika selat ditutup total, Iran bisa kehilangan akses ekspor minyak ke China, satu-satunya mitra dagang besar yang masih bertahan. Ini berisiko jadi bunuh diri ekonomi,” jelas Prof. Reza Farzanegan, ekonom energi dari University of Marburg.
Upaya diplomasi masih berlangsung. Menlu AS Marco Rubio mengonfirmasi telah meminta China dan Qatar untuk mendesak Iran agar membuka kembali selat.
Namun, respons resmi Teheran menunjukkan mereka tidak akan mundur tanpa konsesi keamanan jangka panjang dari Barat.
Di tengah ketidakpastian ini, pelaku pasar kini memantau dua hal utama: berapa lama penutupan ini akan berlangsung dan apakah AS atau sekutu akan melancarkan tindakan militer langsung untuk memaksa pembukaan kembali.
“Jika krisis ini tidak mereda dalam 7–10 hari, kita bisa melihat harga minyak menembus US$100 per barel,” kata Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas di RBC Capital Markets.
Penutupan resmi Selat Hormuz menandai salah satu momen paling genting dalam geopolitik energi dekade ini.
Di saat dunia masih berjuang dengan pemulihan ekonomi dan transisi energi, krisis ini mengingatkan betapa rapuhnya ketergantungan global terhadap jalur energi tradisional.
“Ini bukan hanya soal Iran dan AS. Ini tentang bagaimana sistem global bisa runtuh karena satu titik sempit selebar 20 mil di Teluk Persia,” ujar Dr. Karim Sadjadpour dari Carnegie Endowment.
Pasar, pemerintah, dan masyarakat internasional kini hanya bisa menunggu: apakah ini awal dari krisis global berikutnya—atau bisa diredam sebelum meledak.
0Komentar