Presiden Indonesia Prabowo Subianto menyatakan bahwa Belanda diduga telah mengambil kekayaan Indonesia senilai USD31 triliun selama lebih dari tiga abad penjajahan. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato pembukaan pameran pertahanan Indo Defence 2025 di Jakarta, Rabu (11/6).
Angka tersebut, menurut Prabowo, berasal dari sebuah penelitian terbaru yang dirilis beberapa pekan lalu, meskipun sumber rinciannya belum diungkap ke publik.
"Ada satu riset beberapa minggu lalu yang menceritakan kepada kita bahwa selama Belanda menjajah kita, mereka telah mengambil kekayaan senilai USD31 triliun dalam ukuran uang saat ini," ujar Prabowo.
Ia membandingkan besaran tersebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini, yang berkisar USD1,5 triliun. "Ini setara dengan 18 kali total produksi bangsa kita sekarang, atau sekitar 140 tahun anggaran negara kita," tambahnya.
Skala eksploitasi kolonial yang masif
Pernyataan Presiden menyoroti besarnya eksploitasi ekonomi selama era kolonial Belanda, sejak kedatangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada akhir abad ke-16 hingga kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Selama periode tersebut, Belanda memonopoli perdagangan komoditas bernilai tinggi seperti rempah-rempah, kopi, tebu, dan karet—sumber daya yang menjadi tulang punggung kekayaan Eropa saat itu.
Sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa) pada abad ke-19 memaksa petani Indonesia menanam tanaman ekspor demi keuntungan penjajah, yang sering kali menyebabkan kelaparan dan kemiskinan, terutama di Pulau Jawa.
Namun, angka USD31 triliun itu memicu pertanyaan karena belum ada laporan publik yang merinci metodologi penghitungan tersebut.
Mengonversi kekayaan masa lalu ke nilai saat ini tidak sederhana. Hal itu mencakup faktor inflasi, nilai tukar, serta dampak ekonomi jangka panjang. Meski begitu, narasi bahwa Indonesia kehilangan sumber daya dalam skala besar selama penjajahan sudah menjadi bagian tak terbantahkan dari sejarah nasional.
Pelajaran sejarah: "kita tak akan lagi dijajah"
Dalam pidatonya, Prabowo juga menyentil karakter terbuka masyarakat Indonesia yang menurutnya dimanfaatkan oleh penjajah.
"Kita sangat menghormati tamu, sampai-sampai ada yang ratusan tahun tidak mau pergi. Akhirnya, kita terpaksa bertempur," ucapnya dengan nada satir.
Presiden menegaskan bahwa Indonesia tidak akan lagi tunduk pada tekanan asing. "Kita punya ajaran dari leluhur: lebih baik mati daripada dijajah kembali. Indonesia adalah bangsa merdeka yang tidak akan tunduk pada tekanan asing," katanya.
Pernyataan ini dilontarkan di hadapan para pejabat militer dan delegasi asing dalam forum Indo Defence 2025. Dengan latar pameran pertahanan, pidato Prabowo bukan hanya ditujukan ke dalam negeri, tapi juga dunia internasional.
Ia ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat, mandiri, dan tak mudah dipengaruhi kekuatan luar.
Hilirisasi dan arah kebijakan
Pemerintah kini tengah mendorong hilirisasi sumber daya alam seperti nikel, bauksit, dan tembaga. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk koreksi atas pola ekspor mentah yang telah berlangsung sejak masa kolonial.
Dengan menyoroti masa lalu, Presiden tampaknya ingin menekankan pentingnya membangun masa depan yang lebih mandiri dan berkeadilan.
Meskipun menarik perhatian publik, angka USD31 triliun belum disertai dokumen atau kajian terbuka yang menjelaskan metodologi penghitungan.
Sejumlah peneliti, seperti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), memang pernah membahas dampak jangka panjang kolonialisme Belanda terhadap ketimpangan ekonomi, terutama lewat industri gula di Jawa. Namun, tidak ada studi yang secara eksplisit menyebut angka setinggi itu.
Pernyataan ini memantik reaksi luas. Di media sosial, tagar #BelandaGantiRugi mencuat. Sebagian warganet mendukung wacana reparasi, sementara yang lain menilai pernyataan Presiden sebaiknya disertai bukti kuat.
Dari sisi akademik, para peneliti meminta agar pemerintah mempublikasikan riset yang dimaksud agar bisa dikaji secara objektif.
Bisakah Indonesia menuntut ganti rugi?
Wacana ganti rugi kolonial kini juga mengemuka di berbagai negara bekas jajahan. Pada 2023, Belanda sempat menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan masa lalu, meskipun belum disertai kompensasi finansial.
Namun, secara hukum internasional, menuntut reparasi atas peristiwa ratusan tahun lalu bukan perkara mudah. Pemerintah Indonesia tampaknya lebih memilih untuk mengambil pelajaran sejarah demi memperkuat kontrol atas kekayaan nasional saat ini.
Terlepas dari akurasi angka, pidato Prabowo menjadi penegasan akan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi dan tidak mengulangi ketergantungan masa lalu.
"Kita akan menghormati semua negara, bekerja sama dengan mereka, tapi kita juga harus memberi contoh bahwa kita bangsa yang berdaulat," tutup Presiden.
0Komentar