Indonesia punya cadangan rare earth hingga 1,5 miliar ton. Potensi besar ini bisa jadi kekuatan diplomasi baru RI di tengah persaingan global teknologi dan energi. (Foto: Phawat/Adobestock)

Indonesia diprediksi punya potensi logam tanah jarang atau rare earth elements (REE) hingga 1,5 miliar ton. Tapi hingga pertengahan 2025, sebagian besar masih berupa “harta karun tidur” di bawah tanah—belum dikelola serius, belum jadi komoditas strategis, apalagi senjata diplomasi seperti yang dilakukan China.

Padahal, di tengah tensi geopolitik dan transisi energi global, REE bukan sekadar logam biasa. Unsur ini jadi bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik, turbin angin, radar militer, hingga panel surya. 

Ketika dunia makin berlomba go green, permintaan REE diperkirakan melonjak 2—3 kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

Pakar geopolitik energi sekaligus peneliti senior di LIPI, Dr. Suryo B. Santosa, menyebut REE sebagai “minyak baru” dalam era digital dan transisi energi.

“Negara yang punya dan bisa mengolah REE akan punya bargaining power sangat besar, bukan hanya ekonomi tapi juga diplomasi,” ujarnya, Kamis (20/6/2025).


Potensi Besar tapi Belum Dimanfaatkan

Data Badan Geologi Kementerian ESDM menyebut, wilayah Bangka Belitung menjadi pusat cadangan terbesar dengan 186.663 ton monasit dan 20.734 ton xenotim—dua jenis REE yang umum ditemukan dalam limbah penambangan timah.

Selain itu, potensi lain tersebar di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sumatra Utara, dan bahkan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. 

Total cadangan potensial disebut mencapai lebih dari 1,5 miliar ton REE dalam berbagai bentuk, termasuk laterit dan lumpur mineral.

Tapi ironisnya, mayoritas REE di Indonesia masih menjadi produk sampingan atau limbah—bukan komoditas inti. 

Proses pengolahan yang mahal, beracun, dan kompleks membuat Indonesia bergantung pada negara lain, terutama China, untuk teknologi ekstraksi dan pemurniannya.

“Selama tidak ada teknologi pengolahan di dalam negeri, kita akan terus menjadi pemasok mentah. Sama seperti masa lalu dengan minyak atau timah,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro.


China Jadi Role Model atau Pesaing?

China saat ini menguasai lebih dari 60% produksi REE dunia, dan memegang 44 juta ton cadangan global. Tak hanya sebagai produsen, Negeri Tirai Bambu juga menggunakan REE sebagai alat negosiasi dalam geopolitik. 

Pada 2010, China pernah membatasi ekspor REE ke Jepang di tengah konflik wilayah, yang membuat harga REE global melonjak hingga 300%.

“Itu jadi pelajaran penting. Negara pemilik REE bisa menentukan arah industri global,” ujar Komaidi.

Dengan situasi global saat ini, ketika negara-negara maju seperti AS, Jerman, dan Jepang berusaha mengurangi ketergantungan pada China, Indonesia sebenarnya punya posisi tawar strategis.

Jika dikelola dengan tepat, REE Indonesia bisa menjadi kartu truf dalam negosiasi dagang, transfer teknologi, atau bahkan pengaruh politik internasional.


Pemerintah Mulai Bergerak, Tapi Masih Lambat

Sejak 2013, Indonesia sebenarnya sudah mulai menawarkan kerja sama pengembangan REE dalam forum ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMin), termasuk dengan Jepang, Korea Selatan, dan China. Namun hingga 2025, belum ada proyek besar yang terealisasi penuh.

Pemerintah baru mulai menyusun regulasi agar REE masuk sebagai komoditas strategis. Menurut data Kementerian ESDM, sudah ada beberapa perusahaan yang mengajukan izin eksplorasi dan pembangunan fasilitas pemurnian REE, namun belum ada yang mencapai tahap produksi massal.

“Kami melihat ini sebagai critical mineral yang penting untuk transisi energi. Tapi kami juga tidak ingin terburu-buru tanpa kesiapan lingkungan dan teknologi,” ujar Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, dalam forum energi di Jakarta, Mei lalu.


Potensi Diplomasi Baru?

Jika cadangan REE benar-benar dimanfaatkan, Indonesia bisa mulai menggunakan logam tanah jarang ini sebagai bagian dari diplomasi mineral—serupa dengan strategi minyak dan gas di masa lalu.

Skenarionya, Indonesia bisa:

• Menawarkan akses REE dengan syarat transfer teknologi;

• Meminta investasi dalam pembangunan smelter REE;

• Memasukkan REE dalam negosiasi dagang dan industri kendaraan listrik;

• Membentuk strategic reserve seperti yang dilakukan AS dan Jepang.

Bahkan ada wacana membentuk lembaga khusus setara “Badan Strategis Mineral Kritis” untuk mengelola cadangan dan tata niaga REE.

“Kalau tidak punya institusi khusus, REE bisa jadi rebutan antar instansi atau bahkan disalahgunakan,” kata pengamat pertambangan dari UGM, Ahmad Maryudi.

Meski potensinya besar, jalan menuju kedaulatan REE tak mulus. Tantangan utama adalah:

• Teknologi mahal dan belum dikuasai;

• Limbah radioaktif dari pemurnian REE seperti thorium dan uranium;

• Modal besar, dengan estimasi pembangunan fasilitas pemurnian mencapai Rp 5–10 triliun;

• Minim SDM ahli dan riset domestik.

Tanpa perencanaan matang, Indonesia bisa jatuh ke jebakan "ekspor mentah", seperti yang terjadi pada bauksit atau nikel di masa lalu.

Apa Selanjutnya?

Pemerintah berencana merilis aturan komoditas strategis REE pada akhir 2025. Jika ini terealisasi, akan ada insentif fiskal, perlindungan investasi, dan dorongan pemrosesan di dalam negeri.

Sementara itu, beberapa BUMN dan swasta mulai mengincar proyek REE di Bangka, Kalimantan, dan Sumatra. 

Jika kerja sama dengan negara teknologi tinggi—seperti Jepang atau Korea Selatan—bisa dilakukan, REE Indonesia mungkin akan jadi “senjata baru” di arena diplomasi energi dunia.

“Kita sudah punya barangnya. Tinggal soal kemauan politik dan kesiapan teknologinya,” tutup Suryo Santosa.

Dengan kata lain: Indonesia duduk di tambang emas masa depan. Tapi apakah kita hanya akan menjadi penonton lagi?