![]() |
| Jumlah kelas menengah Indonesia turun drastis dari 57 juta ke 47 juta dalam lima tahun. Daya beli lesu, konsumsi stagnan, dan pajak terancam. (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto) |
Kelas menengah Indonesia, yang dulu dianggap sebagai motor penggerak ekonomi dan demokrasi, kini menghadapi realitas pahit. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan drastis jumlah kelas menengah dari 57,33 juta jiwa (21,45% populasi) pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa (17,13%) pada 2024, dengan 9,48 juta orang turun kelas ke kategori rentan miskin atau calon kelas menengah.
Penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan tekanan ekonomi yang kian berat, kebijakan yang tidak berpihak, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.
Sementara negara tetangga seperti Vietnam dan China berhasil memperluas kelas menengah mereka, Indonesia justru tertinggal, memicu pertanyaan: mengapa kelas menengah Indonesia tergerus?
Penurunan kelas menengah bukan hanya soal statistik. Ini menyangkut daya beli, konsumsi rumah tangga, hingga kontribusi pajak.
Kelas menengah dan calon kelas menengah selama ini menyumbang lebih dari 81% konsumsi nasional dan 77,6% penerimaan pajak.
Namun sejak 2018, pertumbuhan pengeluaran mereka stagnan. Dari yang sebelumnya tumbuh 7,01% per tahun (2014–2018), kini hanya 1,29% (2018–2023).
Belanja hiburan menurun, pembelian kendaraan anjlok, sementara pengeluaran untuk makanan, pendidikan, dan perumahan melonjak.
“Kalau kelas menengah makin tertekan, konsumsi akan mandek, pajak bisa turun, dan daya beli ambruk. Ini efek domino yang harus dicegah,” ujar Eko Listiyanto, Ekonom Senior INDEF kepada BBC News Indonesia.
Kebijakan Pajak Dinilai Tak Ramah Kelas Menengah
Kebijakan fiskal belakangan dianggap memperberat posisi kelas menengah. Kenaikan PPN dari 10% ke 11% sejak 2022 dan rencana naik lagi menjadi 12% pada 2025, ditambah iuran Tapera 2,5% mulai 2027, menambah tekanan keuangan.
Sementara kelompok miskin mendapat berbagai insentif dan bansos, kelas menengah justru seperti terjepit.
“Betapa kelas menengah ditarik pajaknya terus-menerus... tapi mereka menerima relatif kecil manfaat atau insentif dari pemerintah,” kata Media Wahyudi, Peneliti CELIOS.
Masalah struktural lain: 70% kelas menengah bekerja di sektor pertanian dan jasa dengan produktivitas rendah. Hanya 15% yang masuk ke sektor formal berproduktivitas tinggi.
Sebagai gambaran, UMK Yogyakarta pada 2024 hanya Rp2,49 juta, jauh dari kebutuhan rumah tangga yang mencapai Rp7,02 juta.
Di DKI Jakarta, UMP Rp5,07 juta pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rata-rata Rp14,88 juta per bulan.
Indonesia juga gagal menarik eksodus industri dari China pasca-pandemi, berbanding terbalik dengan Vietnam yang berhasil menyerap investasi dan menciptakan lapangan kerja formal baru.
Pinjaman Online dan Gaya Hidup Tekan Daya Beli
Krisis daya beli juga memicu lonjakan pinjaman online. Per Juni 2024, pinjaman macet mencapai Rp61,4 triliun. Mayoritas peminjam adalah kelompok usia produktif 19–54 tahun.
Menurut Prof Rossanto Dwi Handoyo dari Universitas Airlangga, “Pola konsumsi yang meningkat, terutama akses mudah ke pinjaman online, judi online, dan produk gaya hidup murah, semakin memperparah kondisi ini.”
Efek domino mulai terasa di sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi kelas menengah. Penjualan mobil LCGC merosot 41% secara tahunan hingga Mei 2025.
Perusahaan ritel dan F&B seperti Pizza Hut menutup gerai, sementara mal mengeluhkan sepinya pengunjung.
Sektor pariwisata dan properti juga stagnan. Kelas menengah mulai menghindari belanja non-esensial dan menunda pembelian rumah atau liburan.
Menurut Teuku Riefky, Direktur Riset CELIOS, “Yang paling berbahaya di perekonomian itu adalah pengangguran yang berpendidikan... Ketika kelas menengah stagnan atau tergeser ke bawah, stabilitas sosial dan politik bisa ikut terganggu.”
Pandemi Covid-19 memang meninggalkan luka jangka panjang. Hilangnya pekerjaan dan efisiensi industri pasca-pandemi memicu pengangguran, terutama di kalangan terdidik.
Dalam sejarah, kelas menengah kerap menjadi motor perubahan. Namun di Indonesia, menurut aktivis sosial M. Ikhsan Tualeka, kelas menengah justru memilih aman.
“Ada jurnalis yang tak kritis, mahasiswa yang mengikuti patron politik, bahkan aktivis yang ikut membungkam gerakan,” katanya.
Tualeka menekankan pentingnya kelas menengah tercerahkan yang bukan hanya jadi “pasar konsumsi” tapi kekuatan demokratis yang mendorong perubahan.
Saatnya Kebijakan Pro-Kelas Menengah, Bukan Cuma Bansos
Pemerintah tak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial. Dibutuhkan strategi jangka panjang untuk membalikkan tren penyusutan kelas menengah.
Langkah konkret yang direkomendasikan para ahli:
Kebijakan fiskal yang inklusif: insentif pajak untuk kelas menengah bawah, dan subsidi terarah di sektor pendidikan dan perumahan.
Ciptakan lapangan kerja formal: fokus pada industri padat karya dan manufaktur berorientasi ekspor seperti di Vietnam.
Penguatan daya beli: melalui PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), diskon tarif listrik, dan insentif KUR.
Literasi dan investasi keuangan: dorong kelas menengah berinvestasi di instrumen seperti reksa dana pendapatan tetap untuk mengurangi ketergantungan pada utang konsumtif.
“Kita sama-sama memahami bahwa penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tetapi juga untuk kelas menengah dan menuju kelas menengah,” tegas Amalia Adininggar Widyasanti, Plt. Kepala BPS.
Penurunan kelas menengah Indonesia bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga sosial dan politik. Jika tren ini terus dibiarkan, bukan hanya konsumsi dan penerimaan pajak yang terancam, tapi juga stabilitas nasional.
Saatnya pemerintah berpihak—bukan hanya kepada yang termiskin, tapi juga mereka yang selama ini menopang negara dari tengah: kelas menengah.

0Komentar