Rusia mengerahkan lebih dari 110.000 pasukan ke Ukraina timur, menjadikan pertempuran di Pokrovsky sebagai salah satu eskalasi militer terbesar sejak invasi 2022. (REUTERS)

Konflik di Ukraina timur memasuki babak paling berdarahnya. Lebih dari 110.000 tentara Rusia kini mengepung Pokrovsky, memicu pertempuran yang bisa jadi paling intens sejak invasi 2022. Apa tujuannya, dan mampukah Ukraina bertahan?

Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi mengerahkan lebih dari 110.000 pasukan ke kawasan timur Ukraina, dengan konsentrasi utama di kota strategis Pokrovsky, Donetsk. 

Ini menjadi salah satu mobilisasi militer terbesar sejak invasi skala penuh dimulai pada Februari 2022.

Menurut laporan Institute for the Study of War (ISW) tertanggal 26 Juni 2025, jumlah pasukan Rusia di wilayah ini melonjak drastis dari 70.000 pada Desember 2024 menjadi lebih dari 110.000 dalam waktu enam bulan terakhir. 

Setiap hari terjadi lebih dari 50 bentrokan bersenjata, menjadikan Pokrovsky sebagai medan tempur paling brutal saat ini.

“Kami menghadapi tekanan luar biasa. Tapi kami tidak menyerah,” tegas Panglima Tertinggi Ukraina, Oleksandr Syrskyi.

Meski telah merebut beberapa desa seperti Malynivka, Novoserhiivka, dan Zirka, laju pasukan Rusia terbilang lambat dan penuh korban. 

ISW memperkirakan kerugian personel Rusia mencapai 15.000–21.000 hanya dalam bulan Januari 2025.

Di sisi lain, pertahanan Ukraina mulai menunjukkan titik-titik keruntuhan, terutama di garis perbatasan Donetsk dan Dnipropetrovsk. 

Analis intelijen sumber terbuka DeepState menggambarkan situasi ini sebagai "pertahanan Ukraina yang runtuh cepat" di beberapa lokasi.

Namun, kendati agresif, ambisi Rusia untuk menguasai Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson diprediksi memakan waktu bertahun-tahun. Biaya manusia dan logistik yang tinggi menjadi penghambat utama.

“Ini bukan perang blitzkrieg. Ini perang stamina,” tulis ISW dalam laporannya.

Ketangguhan Ukraina tak datang tanpa strategi. Negara ini mengandalkan inovasi militer yang pesat, terutama dalam pengembangan drone dan industri senjata lokal.

Presiden Volodymyr Zelensky menyatakan pada akhir 2024 bahwa Ukraina mampu memproduksi hingga 4 juta drone per tahun. Sebanyak 96% drone yang digunakan di akhir 2024 telah diproduksi di dalam negeri.

Berdasarkan laporan Euronews (11 Maret 2025), saat ini 35% kebutuhan senjata Ukraina dipenuhi oleh produksi lokal, naik tajam dari hanya 10% pada 2022. 

Bahkan, industri senjata domestik diperkirakan mampu menghasilkan nilai ekspor lebih dari US$35 miliar, meskipun baru US$12 miliar yang terealisasi secara kontraktual hingga pertengahan 2025 (Foreign Policy, 26 Juni 2025).

Tak hanya produksi, strategi militer juga berubah. Ukraina kini mengadopsi pertahanan kecil, tersembunyi, dan disesuaikan dengan medan, menghindari deteksi drone Rusia.

“Ini adalah pertarungan intelektual. Kami menyesuaikan taktik setiap hari,” kata Menteri Pertahanan Ukraina, Rustem Umerov.

Dalam Konferensi Ekonomi Internasional di St. Petersburg, 20 Juni 2025, Putin kembali mengulang narasi nasionalistiknya.

“Saya menganggap rakyat Rusia dan Ukraina adalah satu bangsa. Dalam pengertian ini, seluruh Ukraina adalah milik kita,” ujar Putin, dikutip CNN Internasional.

Pernyataan ini menuai kecaman luas dari komunitas internasional. Selain itu, syarat-syarat damai yang diajukan Rusia—penghentian ekspansi NATO dan pencabutan sanksi—ditolak mentah-mentah oleh Kyiv. 

Putin memang menyatakan kesiapan untuk pembicaraan damai baru pada 27 Juni, namun tuntutannya masih dianggap tidak rasional oleh Barat dan Ukraina.

Perang ini tidak lagi didominasi tank dan jet tempur. Kini, drone adalah aktor utama. Rusia menggunakan hingga 500 drone Shahed buatan Iran dalam satu malam, didampingi rudal balistik dan jelajah. Dalam satu malam pada akhir Juni, Rusia meluncurkan 477 drone dan 60 rudal.

Ukraina membalas dengan drone FPV murah—di bawah US$500—yang efektif melumpuhkan tank dan kendaraan lapis baja. 

Menurut laporan Atlantic Council, 60–70% kerusakan pada peralatan Rusia di awal 2025 disebabkan oleh drone.

Serangan udara Ukraina bahkan berhasil menghantam pangkalan udara Rusia di Krimea dalam operasi “Spiderweb”, menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur militer Moskow.

Meski mendapat suntikan dari minyak dan pengeluaran militer, ekonomi Rusia berada di ambang stagnasi. 

PDB tumbuh 3,6% pada 2023 dan 4% pada 2024, namun diperkirakan mulai mengalami kontraksi akibat biaya perang dan tekanan sanksi.

Menteri Ekonomi Rusia Maxim Reshetnikov memperingatkan bahwa ekonomi negeri itu “dalam risiko ketidakstabilan”. 

CSIS menyebut kondisi ini sebagai "dari puncak gula ke mabuk berat", menggambarkan ketidakberlanjutan sistem saat ini.

Perang Ukraina-Rusia pada pertengahan 2025 mencapai titik kritis. Di satu sisi, Rusia terus mengerahkan pasukan besar dan melaju perlahan tapi brutal. 

Di sisi lain, Ukraina memperlihatkan ketangguhan luar biasa dengan strategi dan inovasi senjata dalam negeri.

Namun satu hal jelas: konflik ini jauh dari selesai. Dengan kerugian besar di kedua belah pihak, ketegangan geopolitik memuncak, dan diplomasi masih menemui jalan buntu—perang di Ukraina tampaknya akan terus menjadi ujian besar bagi dunia internasional.

(ars)