Tiga tahun sejak invasi, Rusia belum menang, Ukraina belum tumbang. Perang gesekan ini menjadi salah satu konflik paling mahal dan buntu di abad 21. (Ilustrasi: APLUSWIRE/Robin Santoso)

Lebih dari tiga tahun sejak Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada 24 Februari 2022, perang ini telah menjadi konflik bersenjata terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. 

Apa yang awalnya diperkirakan Moskow sebagai kemenangan kilat berubah menjadi perang gesekan yang lamban, mahal, dan penuh ketidakpastian.

Rusia, meski memiliki keunggulan militer secara kuantitas, gagal mencapai tujuan strategis seperti merebut Kyiv dan “demiliterisasi serta denazifikasi” Ukraina. 

Hingga pertengahan 2025, kerugian militer Rusia dilaporkan mencapai 1 juta personel dan 11.000 tank. 

Sementara itu, Ukraina kehilangan sekitar 18% wilayahnya, namun tetap menunjukkan ketahanan luar biasa berkat dukungan internasional senilai €267 miliar. 

Konflik ini tidak hanya menguras sumber daya kedua negara, tetapi juga mengguncang tatanan global, memengaruhi aliansi, stabilitas ekonomi, dan dinamika geopolitik jangka panjang.

Akar konflik ini dapat ditelusuri ke aneksasi Krimea oleh Rusia pada 2014, disusul dukungan terhadap kelompok separatis di Donbas. 

Peristiwa tersebut menandai dimulainya perang hibrida yang menggabungkan kekuatan militer, propaganda, dan serangan siber.

Pada 2022, invasi penuh diluncurkan dengan dalih melindungi Republik Rakyat Luhansk dan Donetsk serta mencegah ekspansi NATO ke timur. 

Namun, banyak pengamat, termasuk dari Council on Foreign Relations, menilai langkah ini sebagai upaya iredentis Rusia untuk memulihkan pengaruh geopolitik ala kekaisaran.

Serangan awal Rusia ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan di Kyiv melalui strategi blitzkrieg, namun perlawanan sengit dari Ukraina menggagalkan rencana tersebut. 

Sejak itu, perang berubah menjadi konflik gesekan yang penuh kebuntuan, dengan rata-rata kemajuan Rusia hanya 50 meter per hari di Kharkiv dan 135 meter di Donetsk, menurut laporan Center for Strategic and International Studies (CSIS). 

“Rusia terjebak dalam perang yang tidak bisa mereka menangkan dengan cepat,” ujar Dr. Samuel Charap, analis senior di RAND Corporation.


Kondisi Militer Kedua Negara di Medan Perang

Rusia: Keunggulan yang Mahal Dibayar
Meski memiliki pasukan dan peralatan yang lebih besar, militer Rusia menghadapi hambatan besar di lapangan. 

Sejak Januari 2024, Rusia hanya mampu merebut kurang dari 1% wilayah Ukraina, dengan hasil yang sangat tidak sebanding dengan biaya perang yang ditanggung.

Data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa dalam 18 bulan terakhir, Rusia kehilangan 1.865 tank, 3.098 kendaraan tempur infanteri, dan 1.149 kendaraan lapis baja. 

Sejak 2022, total kerugian tank diperkirakan mencapai 11.000 unit, memaksa Moskow mengerahkan tank T-62 era 1960-an. 

Angka korban jiwa Rusia diperkirakan menembus 1 juta orang pada pertengahan 2025 — lima kali lipat dari total korban perang Soviet pasca-Perang Dunia II.

Jenderal Oleksandr Syrskyi, panglima militer Ukraina, menyatakan bahwa “Rusia membayar harga sangat tinggi untuk setiap meter tanah yang mereka rebut.” 

Di sisi lain, logistik Rusia sering terhambat, dengan konvoi yang terjebak dan menjadi target empuk serangan Ukraina. 

Meskipun produksi pertahanan ditingkatkan, Menteri Keuangan Rusia mengakui adanya “kelelahan sumber daya” yang meliputi tenaga kerja hingga kapasitas industri.

Ukraina: Bertahan Lewat Inovasi dan Adaptasi
Di tengah keterbatasan personel dan amunisi, Angkatan Bersenjata Ukraina (UAF) mengganti strategi ofensif menjadi “gesekan defensif” — mempertahankan wilayah sambil menguras logistik dan moral lawan. Teknologi memainkan peran penting dalam transformasi ini.

Drone menjadi senjata penentu, menghancurkan 65% dari tank Rusia dan melemahkan Armada Laut Hitam melalui kapal permukaan tak berawak seperti Magura V5. 

Ukraina juga menerapkan konsep “netralisasi strategis” yang fokus pada pelumpuhan rantai pasok dan sistem koordinasi Rusia. 

“Kami tidak hanya bertahan; kami membuat Rusia tidak mampu menyerang secara efektif,” ujar Mykhailo Fedorov, Menteri Transformasi Digital Ukraina.

Senjata presisi seperti HIMARS dan sistem pertahanan udara Patriot dari Barat memberi Ukraina keunggulan kualitatif. 

Namun, ketergantungan tetap tinggi: sekitar 99% dari dukungan militer Ukraina berasal dari mitra asing.


Ekonomi Dua Negara yang Sama-Sama Tersiksa

Rusia: Ekonomi Perang yang Rapuh
Pada awalnya, Rusia mampu menahan gelombang sanksi dengan mengalihkan perdagangan ke Tiongkok dan India serta meningkatkan belanja militer hingga 8% dari PDB pada 2025. 

Namun, tekanan ekonomi mulai terlihat jelas: pertumbuhan PDB melambat ke 1,5%, inflasi mencapai 10%, dan suku bunga acuan melonjak hingga 21%.

Situasi ini memaksa pemerintah memangkas anggaran publik. “Ekonomi perang Rusia tampak kokoh di permukaan, tapi fondasinya rapuh,” kata Elina Ribakova, ekonom dari Kyiv School of Economics. 

Korupsi juga menjadi masalah serius, dengan laporan bahwa sebagian besar anggaran pertahanan diselewengkan oleh elite politik.

Ukraina: Pulih dengan Syarat
Ekonomi Ukraina terpukul keras, dengan PDB menyusut 29% pada 2022. Namun, pemulihan mulai terlihat: PDB tumbuh 5,5% pada 2023 dan 3% pada 2024. 

Lembaga negara seperti Bank Nasional dan Kementerian Keuangan menunjukkan ketahanan, sementara indeks persepsi korupsi membaik dari peringkat 142 ke 105 menurut Transparency International.

Namun, pemulihan ini sangat bergantung pada bantuan asing. Ukraina menerima sekitar $42 miliar per tahun — setara 20% dari PDB nasional. 

Biaya rekonstruksi pascaperang diperkirakan mencapai $486 miliar, atau dua setengah kali lipat PDB negara. “Tanpa bantuan Barat, ekonomi kami akan kolaps,” kata Perdana Menteri Denys Shmyhal.


Luka Sosial di Tengah Perang

Di Rusia, perang menciptakan tekanan sosial yang besar. Korban jiwa disembunyikan dari publik, sementara veteran yang kembali menghadapi krisis kesehatan mental, keterasingan, dan peningkatan angka kriminalitas. 

Pemerintah meningkatkan represi, membatasi kebebasan berpendapat, dan mengintensifkan “indoktrinasi patriotik.”

Sebaliknya, di Ukraina, solidaritas sipil menjadi kekuatan utama. Warga sipil, sukarelawan, dan militer membentuk jaringan pertahanan sosial yang kokoh. 

Namun, penderitaan kemanusiaan tetap besar: lebih dari 5 juta pengungsi internal, hampir 6 juta warga Ukraina berada di luar negeri, dan kejahatan perang Rusia menyebabkan korban sipil terus meningkat — termasuk 209 warga sipil tewas hanya pada April 2025. 

Krisis kesehatan mental, terutama pada anak-anak, dikhawatirkan akan menjadi krisis jangka panjang yang belum sepenuhnya teratasi.

Perang Rusia–Ukraina telah mempercepat transisi dunia menuju sistem multipolar dan memperlambat laju globalisasi. 

Negara-negara Eropa meningkatkan anggaran pertahanan, sementara pelajaran dari penggunaan drone, AI, dan peperangan asimetris mengubah doktrin militer masa depan.

Ancaman nuklir Rusia menjadi batas tak terlihat yang menahan eskalasi bantuan militer langsung dari Barat. 

“Kita berjalan di tali tipis,” ujar Jens Stoltenberg, mantan Sekretaris Jenderal NATO, “mendukung Ukraina tanpa memicu perang dunia.”


Akankah Ada Gencatan Senjata?

Dengan negosiasi yang terus mengalami jalan buntu, sebagian analis memprediksi perang akan berlanjut sebagai konflik beku dalam jangka panjang (35%), sementara 60% memproyeksikan kemungkinan tercapainya gencatan senjata bersyarat.

Salah satu proposal kontroversial datang dari pemerintahan Trump, yang mengusulkan penundaan keanggotaan NATO Ukraina selama 20 tahun dan pembekuan garis depan saat ini. 

Kyiv menolak usulan ini. “Gencatan senjata tanpa jaminan NATO bukanlah solusi; itu hanya penundaan perang berikutnya,” ujar Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba. 

Di sisi lain, rekonstruksi pascaperang diperkirakan membutuhkan keterlibatan global yang masif dengan pendekatan berbasis komunitas agar dana tepat sasaran.

Konflik Rusia–Ukraina adalah perang gesekan mahal dan melelahkan. Rusia gagal merebut kemenangan strategis, sementara Ukraina menolak runtuh melalui inovasi, ketahanan, dan dukungan Barat. 

Namun tanpa solusi diplomatik, konflik ini berpotensi berlarut hingga dekade berikutnya, meninggalkan luka fisik dan psikologis yang mendalam.

“Perang ini bukan hanya tentang Ukraina atau Rusia,” kata Dr. Charap, “tetapi tentang masa depan keamanan global.” 

Dengan biaya kemanusiaan dan ekonomi yang terus meningkat, dunia kini dihadapkan pada pertanyaan: apakah diplomasi atau kelelahan yang lebih dulu mengakhiri perang?

(ars)