Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada empat hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) setelah pengadilan tersebut mengeluarkan surat penangkapan terhadap pejabat tinggi Israel. (AP Photo/Peter Dejong)

Pada Kamis, 5 Juni 2025, Pemerintah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), memperkeruh hubungan antara AS, Israel, dan lembaga hukum internasional tersebut. Keempat hakim yang disanksi adalah Solomy Balungi Bossa dari Uganda, Luz del Carmen Ibanez Carranza dari Peru, Reine Adelaide Sophie Alapini Gansou dari Benin, dan Beti Hohler dari Slovenia. 

Menurut Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, sanksi ini merupakan tanggapan terhadap "tindakan tidak sah dan tidak berdasar" ICC terhadap AS dan sekutu utamanya, Israel.

Langkah ini merupakan lanjutan dari respons AS atas penyelidikan ICC terkait dugaan kejahatan perang di Gaza. Pada November 2024, ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. 

Mereka dituduh melakukan kejahatan perang, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata dalam konflik. Keputusan ini menuai reaksi keras dari Israel, yang menolak yurisdiksi ICC karena bukan penandatangan Statuta Roma—landasan hukum berdirinya ICC. 

AS, yang juga bukan anggota Statuta Roma, menyatakan dukungan terhadap posisi Israel dan menilai langkah ICC sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Sanksi ini diberlakukan berdasarkan Perintah Eksekutif 14203, yang membatasi akses para hakim tersebut ke sistem keuangan AS dan menyulitkan aktivitas transaksi internasional mereka. 

Sebelumnya, pada Februari 2025, AS juga telah menjatuhkan sanksi terhadap ICC dan jaksa utamanya, Karim Khan, yang saat ini sedang cuti menyusul penyelidikan PBB atas tuduhan pelecehan seksual. 

ICC menyatakan penyesalannya atas sanksi tersebut dan menilai langkah AS melemahkan independensi lembaga peradilan serta mengganggu upaya menegakkan hukum internasional. 

Dalam pernyataan resminya, ICC menegaskan komitmennya untuk terus menjalankan tugas sesuai dengan mandat Statuta Roma, yang kini telah diratifikasi oleh 123 negara. Karena tidak memiliki kekuatan kepolisian sendiri, ICC sangat bergantung pada kerja sama negara anggota untuk menangkap dan menyerahkan tersangka.

Uni Eropa turut mengecam sanksi ini. Presiden Dewan Eropa, Antonio Costa, menyebut ICC sebagai “pilar keadilan internasional” dan menegaskan dukungan penuh terhadap pengadilan tersebut. 

Pernyataan ini memperjelas perbedaan pandangan antara AS dan Eropa, terutama dalam isu kedaulatan negara versus tanggung jawab global atas kejahatan berat. Di sisi lain, Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menuduh ICC menjadi alat politik yang digunakan oleh musuh-musuh Israel.

Langkah AS ini memicu perdebatan sengit di berbagai forum internasional. AS dan Israel berargumen bahwa ICC tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki warga negara mereka karena tidak terikat pada Statuta Roma. 

Sebaliknya, para pendukung ICC menilai pengadilan tetap memiliki mandat untuk mengusut kejahatan berat, tanpa memandang keanggotaan negara dalam Statuta Roma.

Perdebatan ini juga ramai di media sosial, terutama di platform X, di mana opini publik terpecah. Sebagian mendukung sanksi sebagai bentuk perlindungan terhadap kedaulatan nasional, sementara yang lain menganggapnya sebagai upaya untuk menghindari akuntabilitas internasional. 

Kontroversi ini tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga berimbas pada hubungan diplomatik dan kerja sama global dalam menanggulangi kejahatan kemanusiaan.

Sanksi terhadap hakim-hakim ICC mempertegas tantangan yang dihadapi lembaga ini dalam menegakkan keadilan global. Dengan negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan China tidak mengakui yurisdiksinya, ICC harus bergantung pada dukungan dari negara anggota yang lebih kecil. 

Meskipun demikian, dukungan dari Uni Eropa dan 123 negara penandatangan Statuta Roma menunjukkan bahwa ICC masih memiliki legitimasi kuat di mata banyak negara.

Bagi korban kejahatan perang, khususnya di Gaza, situasi ini menjadi pukulan berat. ICC menyatakan bahwa sanksi terhadap para hakim bukan hanya menyerang individu, tetapi juga mengancam hak korban untuk memperoleh keadilan. 

Ketegangan ini kemungkinan besar akan terus menjadi sorotan, terutama di tengah meningkatnya perhatian global terhadap konflik di Timur Tengah.

Sanksi AS terhadap empat hakim ICC mencerminkan dinamika rumit antara kedaulatan negara dan supremasi hukum internasional. Di satu sisi, AS ingin melindungi sekutunya dan mempertegas batas yurisdiksi lembaga internasional. 

Di sisi lain, ICC dan para pendukungnya berjuang mempertahankan independensi serta misi global untuk menegakkan keadilan atas kejahatan berat. Ketegangan ini tak hanya berdampak pada ranah hukum, tetapi juga menimbulkan implikasi geopolitik yang luas dan berjangka panjang.